Saturday, December 05, 2009

Dua Jam bersama Nicolaas Jouwe


Pada pagi gerimis dan dingin di Belanda, Selasa 1 Desember, saya ditemani fotografer yang juga mahasiswa S3 Astronomi Amsterdam, Tri Astraatmadja, naik kereta dari Amsterdam menuju rumah tokoh Nieuw Guinea Raad Nicolaas Jouwe di Delft. Tepat jam 11 kami tiba di stasiun Delft dan dijemput oleh anak lelakinya, Nico Jouwe, Jr. Tokoh Papua 1960-an ini tinggal di sebuah pemukiman tua dan sederhana yang sebentar lagi akan dirubuhkan. Setelah itu, mengingat usianya yang sudah 85 tahun, dia pasti harus segera masuk rumah jompo (zorg thuis).

Hubungan saya dengan keluarga Jouwe dimulai pada awal 2009. Waktu itu, Nancy, anak perempuan Jouwe, menelpon saya. Dia meminta pendapat saya tentang undangan Presiden SBY. Saya katakan waktu itu bahwa undangan ini perlu direspons secara positif sebagai tanda perubahan kebijakan politik Papua yang lebih persuasif. Selain itu, keluarga Jouwe mesti paham bahwa dengan kunjungan itu, pemerintah Indonesia berharap Nicolaas Jouwe secara politik dan moral menerima Papua sebagai bagian dari Indonesia.

Faktanya, pada pertengahan Maret 2009 Nicolaas Jouwe yang ditemani oleh dua anaknya, Nancy dan Nico, memutuskan memenuhi undangan Presiden SBY. Pada 17 Maret 2009 rombongan keluarga Jouwe mendarat di Jayapura, Papua. Ini menandai kepulangan Jouwe setelah hampir 50 tahun meninggalkan kampung halamannya. Dia mencium tanah beraspal bandara udara Sentani sebagai tanda sujud syukur. Nicolaas tua terharu karena rindunya pada kampung halamannya terobati. Sementara itu sejumlah pemuda dan mahasiswa berdemonstrasi menentang kepulangan Jouwe dan menganggap Jouwe sebagai pengkhianat.

Ketika Jouwe kembali ke Jakarta dan bersiap-siap menemui Presiden SBY, saya diundang untuk bertemu sejenak dengannya. Saya segera meluncur ke Hotel Nikko. Nancy dan Nico menyambut saya dengan hangat di lobi hotel dan kami minum kopi di salah satu kafe. Setelah berbincang sejenak, kami berdiri dan menuju kamar Jouwe senior. Tapi tiba-tiba Nick Messet, bekas eksil Papua pro-merdeka, menghadang dan melarang saya menemui Jouwe. Dengan bahasa Inggris yang kasar dia mengusir saya dari hotel. Dia beranggapan, pertemuan saya dengan Jouwe akan merusak rencana mereka, terutama rencana pertemuan dengan presiden.

Pada sekitar September 2009, saya mengetahui bahwa rencana Nicolaas Jouwe untuk repatriasi sudah pasti. Satu unit rumah akan disediakan untuknya di Dok V Angkasa Jayapura. Direncanakan, pada sekitar Desember 2009 atau Januari 2010, Nicolaas akan membawa seluruh isi rumah dan kenangannya ke Jayapura. Istrinya (juga 85 tahun) yang sedang sakit akan tetap tinggal di Belanda. Kedua anaknya, Nancy dan Nico, juga akan melanjutkan hidupnya di Belanda. Nicolaas Jouwe akan berpisah dengan mereka dan menghabiskan sisa hidupnya di Jayapura. Katanya, jika wafat, dia tidak ingin dikremasi, dia ingin dikuburkan di Jayapura.

Siang itu, mengawali pertemuannya dengan saya, Nicolaas mulai bercerita tentang sejarah hidupnya dan sejarah Papua. Menurut cerita, Nicolaas-lah yang membuat bendera Bintang Kejora yang pertama kali dikibarkan pada 1 Desember 1961. Pada saat itu dia adalah salah satu anggota Dewan New Guinea (Nieuw Guinea Raad) yang konon diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan dipilih secara demokratis di seluruh wilayah Papua. Peristiwa di sekitar 1 Desember 1961 inilah yang seringkali menjadi dasar klaim pemimpin Papua sekarang bahwa negara Papua pernah ada tetapi telah dirampas oleh konspirasi internasional Indonesia, Amerika dan Belanda.

Sejak 1960-an Nicolaas berjuang agar hak-hak orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa yang merdeka dihormati. Perjuangan itu sudah dilakukannya hingga 1969. Menurut Nicolaas, setelah 2/3 negara anggota dalam Sidang Umum PBB menerima hasil Pepera 1969, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Suka atau tidak suka, bangsa Papua telah menjadi bagian resmi dari negara-bangsa Indonesia. Baginya sekarang ini, dia harus menerima secara realistis keadaan ini dan menghabiskan sisa hidupnya untuk membantu pemerintah Indonesia menyejahterakan rakyat Papua.

Nicolaas Jouwe akan pindah dari Delft ke Jayapura. Dia sekarang sedang bersemangat. Dia yakin bisa menjadi seorang tua yang dapat membantu Gubernur atau pemerintah Indonesia pada umumnya untuk menyukseskan pembangunan, terutama kesejahteraan orang asli Papua di dalam kerangka Otonomi Khusus. Dari percakapan dua jam kami, Nicolaas memberikan kesan kuat bahwa dia sudah sangat pasti dengan keputusannya untuk kembali ke tanah kelahirannya dan menjadi warga negara Indonesia.

Foto 1: Nicolaas Jouwe di Bandara Schiphol Amsterdam pada 1961, sumber: http://geschiedenis.vpro.nl/artikelen/40143317/
Foto 2: Nicolaas Jouwe menerima Muridan Widjojo di rumahnya di Delft, 1 Desember 2009, sumber: Tri Astraatmadja, 2009)

1 comment:

Harmen Junior said...

tulisan yang bagus semoga makin banyak dimesni sejarah Papua yang dipublikasikan...biar semuanya makin jelas