Sunday, May 17, 2009

Mendorong anak muda Papua belajar di luar negeri


Ketika saya mengambil PhD di Universitas Leiden, saya bertemu dengan dua perempuan Papua yang sedang belajar di sana. Satu belajar sosiologi di Institute of Sosical Sciences (ISS) Den Haag dan satunya lagi belajar linguistik di Universitas Leiden. Tidak terbayangkan kegembiraan saya bertemu mereka pada saat itu. Kalau benar-benar dipersiapkan, terutama kemampuan bahasa Inggrisnya, saya percaya mereka mampu dan berhasil seperti yang lain. Beberapa saat kemudian, saya dengar mereka sudah lulus dan kembali. Yang belajar linguistik kembali mengajar di Universitas Papua (UNIPA) Manokwari dan yang belajar sosiologi kembali ke Jayapura memperkuat lembaga P3W milik GKI.

Pada 2004, ketika Henk Niemeijer, Guru Besar Universitas Leiden Prof. Leonard Blussé, dan saya mencari beasiswa untuk 60 mahasiswa S2 sejarah, saya membayangkan suatu penciptaan generasi baru sejarawan Indonesia. Para kandidat di antaranya harus berasal dari Indonesia Timur, terutama Papua. Disepakati waktu itu bahwa jika dana beasiswa didapat, 50 persen di antara calon harus berasal dari Indonesia. Pada akhir 2005, dana diperoleh dari berbagai sumber terutama dari Pemerintah Belanda sebesar sekitar 2,5 juta euro. Program dimulai pada 2006 dengan nama ENCOMPASS dan sebagai host-nya di Indonesia adalah Universitas Gajah Mada dan Universitas Indonesia.

Saya menyempatkan diri keliling Makasar, Manado, Ternate, Tidore, dan terutama Papua. Di Papua saya berbicara dengan sejumlah dekan perguruan tinggi di Jayapura, juga dengan pemuka Gereja agar mereka mau mempersiapkan kader muda mereka untuk mengikuti program ini. Selain itu saya juga mendekati pribadi-pribadi yang menurut rekomendasi banyak orang memiliki kemampuan bahasa Inggris yang mumpuni dan siap untuk dilatih agar siap menghadapi proses seleksi. Dari instansi yang pernah saya hubungi, ternyata sampai hari ini 2009 tidak ada yang mengirim kader mereka ke Yogyakarta untuk mengikuti tes masuk. Tetapi sebenarnya berbagai usaha sudah dilakukan tetapi para calonnya belum berhasil memenuhi syarat bahasa Inggrisnya.

Beberapa tahun yang lalu, ketika mengunjungi Jayapura, saya juga menawari seorang perempuan asal Kabupaten Jayawijaya bernama RW. Dia seorang guru bahasa Inggris dan pernah belajar bahasa Inggris di Australia. Dia menyatakan tertarik untuk belajar ke Belanda. Oleh karena itu saya mencoba untuk membantunya mempersiapkan diri. Selain RW, saya juga menawari seorang perempuan lulusan Sastra Inggris Universitas Satya Wacana Salatiga bernama EH. Dia terlihat bersemangat dan saya minta dia mempersiapkan diri dan kalau perlu tinggal bersama keluarga saya di Jakarta agar mendapatkan bimbingan yang cukup. Seandainya salah satu dari mereka berhasil lolos ke Belanda, saya membayangkan anak perempuan gunung pertama yang memperoleh S2 di Leiden.

Tapi rupanya saya gagal. RW, setelah beberapa kali kontak, menghilang. Tidak ada kabar sama sekali. Ketika saya berkunjung ke Jayapura, secara kebetulan saya melihatnya di dalam mobil mewah Honda CRV. Kontan saya memanggilnya dan menanyakan kabarnya. Dengan malu-malu dia menemui saya dan mengatakan bahwa dia sudah menikah dengan seorang pejabat di Pegunungan Bintang. Hal yang sama juga terjadi pada EH. Menghilang tanpa kabar cukup lama. Ketika saya menemuinya secara tidak sengaja, dia mengatakan bahwa dia sedang mempersiapkan diri. Tapi sampai hari ini tidak ada kabar. Lagi-lagi saya gagal.

Saya belum putus asa. Saya juga menawari seorang anak muda Papua asal Biak yang bekerja di Departemen Luar Negeri (Deplu), namanya HD. Bahasa Inggrisnya dipastikan bagus. Setelah berdiskusi dengan saya, dia mengirimkan draft proposalnya lewat email. Rupanya bagus juga. Saya langsung memintanya untuk mendaftar ke UGM. Saya agak lega, dalam hati saya berkata, minimal ada satu yang akan ikut. Tapi ketika saya menjadi anggota komite seleksi ENCOMPASS 2008, saya tidak menemukan namanya di daftar kandidat. Yang masuk justru temannya yang juga kerja di Deplu dan kebetulan orang Jawa. Saya menjadi bingung. Ketika suatu hari saya menemuinya lagi, dia mengatakan bahwa dia ragu mendaftar karena tidak tega meninggalkan anak dan istrinya di Indonesia.

Upaya lain juga pernah saya lakukan. Seseorang dari Timika dikirim ke Denpasar untuk memperbaiki bahasa Inggrisnya. Setelah hampir dua tahun anak muda itu dikirim, hingga sekarang tidak ada kabarnya. Di Jayapura saya juga menyemangati berkali-kali anak-anak muda Papua yang kelihatan cerdas dan berbakat untuk mengambil kesempatan beasiswa ke Belanda. Sudah saya berikan nomor kontak dan ternyata tidak ada satu pun di antara mereka yang menindaklanjutinya. Sampai-sampai saya mengajak seorang dosen muda dari Tidore bernama AK untuk belajar bahasa di Bogor agar saya bisa ikuti perkembangannya. Setelah satu tahun belajar bahasa, dia hanya bisa mendapatkan score TOEFL 400 saja. Uangnya sudah habis. Sehingga saya berikan dia pekerjaan agar bisa beli tiket dan kembali ke Tidore.

Dari sini saya belajar bahwa kendala untuk pendidikan tinggi di Papua sangat kompleks. Pendidikan dasar di sana sebagian besar buruk. Anak-anak Papua yang memiliki kemampuan standard nasional biasanya tumbuh besar di perkotaan dengan orang tua yang sebagian besar juga terdidik. Tidak hanya yang terkait dengan unsur akademis seperti kemampuan bahasa Inggris, kecerdasan, serta proposal yang baik yang harus dipersiapkan, tetapi juga soal motivasi, minat yang kuat, masalah keluarga, faktor hubungan gender, dan lain-lain. Komunikasi dengan mereka, meskipun saya sudah berpengalaman meneliti Papua sejak 1993, saya tidak selalu berhasil, bahkan seringkali gagal.

Kayaknya, pendekatan harus lebih intensif, bimbingan harus lebih memotivasi, dan ada dukungan dana dari pemerintah daerah, serta pengelolaan yang lebih sistematis untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas bahasa Inggris serta kesiapan akademis mereka. Terkait dengan proposal dan topik riset, seharusnya Universitas Cenderawasih dan Universitas Papua berperan lebih banyak. Sejauh yang saya tahu, Universitas Papua lebih progresif dalam hal ini. Mudah-mudahan kegagalan saya tidak dialami oleh yang lain, yang sudah berhasil mengirimkan sejumlah anak muda Papua untuk belajar ke luar negeri.
(Foto: Pelajar SD di Yamor Besar, Kaimana, 2008, oleh Jafar Werfete)