Sunday, March 22, 2009

Nicolaas Jouwe dan Dialog Papua


Pada Jumat 20 Maret 2009 tokoh terpenting gerakan Papua Merdeka Nicholas Jouwe (85 tahun) yang selama ini bermukim di Belanda bertemu Menko Kesra, Aburizal Bakrie. Setelah itu Jouwe berkunjung ke Papua untuk melihat sendiri tanah kelahirannya setelah 40 tahun lebih ditinggalkan. Kunjungan ini mungkin akan ditutup dengan pertemuan Jouwe dengan Presiden SBY.

Keberhasilan utusan pemerintah, di antaranya Nick Messet, Fransalbert Joku, dan lain-lain, dengan dukungan para diplomat Indonesia di Belanda dalam meyakinkan Nicholaas Jouwe untuk datang ke Indonesia merupakan prestasi tersendiri. Selain itu niat baik dan kepercayaan yang mulai tumbuh dari pihak Jouwe juga harus dihargai mengingat sejarah hubungan Papua-Jakarta yang memang menyakitkan bagi orang Papua.

Sayang sekali, staf Khusus Menko Kesra, Rizal Mallarangeng, justru membuat klaim sepihak bahwa Jouwe sudah menyatakan dukungannya terhadap NKRI dan Otonomi Khusus di Papua. Klaim tersebut justru merusak suasana saling percaya yang terbangun. Akibatnya suasana antagonistis timbul. Pihak Jouwe membantah, “Jouwe tidak datang untuk menyerah atau menyangkal cita-cita kemerdekaannya.” Dia menegaskan pentingnya dialog konstruktif antara pemimpin-pemimpin Papua dan Jakarta.

Membangun Suasana Dialogis

Pernyataan Malarangeng tentu tidak menciptakan suasana dialogis karena pernyataan tersebut tidak jujur dan membuat klaim sepihak yang tidak ramah pada suasana hati dan pikiran orang Papua. Doktor politik Ohio AS ini meremehkan konflik Papua sebagai masalah sederhana yang bisa diselesaikan dengan satu kali pertemuan antara pemimpin Papua dengan pejabat tinggi Indonesia.

Benar bahwa membangun pangan, papan, dan jalan di Papua adalah hal yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Tetapi masalah Papua bukanlah semata tuntutan pembangunan fisik dan pemberian dana trilyunan rupiah. Lebih dari itu, ada masalah marjinalisasi dan diskriminasi penduduk asli Papua, kontradiksi sejarah tentang status Papua sebagai bagian dari Indonesia, masalah kekerasan negara dan pelanggaran HAM, serta masalah kegagalan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat.

Oleh karena itu pernyataan Nicholaas Jouwe tentang pentingnya dialog konstruktif antara pemimpin-pemimpin Papua dan Jakarta perlu ditanggapi dengan serius. Karena dengan dialog, dimungkinkan suatu negosiasi dan kompromi. Dengan dialog, pihak-pihak yang berkonflik bisa bersepakat untuk membuat lembaran baru dan menyatakan bahwa konflik Papua bisa diakhiri. Dengan membuka lembaran baru paska dialog, empat masalah di atas dapat diterjemahkan menjadi kebijakan pemerintah dan program aksi organisasi masyarakat sipil tanpa harus dituduh separatis oleh aparat keamanan.

Papua Road Map

Dalam buku Papua Road Map LIPI, selain rekognisi penduduk asli Papua, paradigma baru pembangunan, dan rekonsiliasi, Tim Papua LIPI juga sejak lama menyarankan dialog sebagai salah satu jalan menuju Papua Baru yang damai dan berkeadilan. Melalui dialog, persoalan krusial sejarah integrasi Papua dan identitas keindonesiaan bagi Papua dapat dinegosiasikan. Yang terpenting, pihak-pihak yang berkonflik tidak lagi bersikukuh dengan posisinya masing-masing. Harus ada kompromi dan perlakuan yang menghormati martabat masing-masing.

Banyak usaha sudah dilakukan untuk berdialog soal Papua. Dialog Nasional 1999 oleh Presiden Habibie adalah pelajaran kegagalan terpenting. Setelah itu utusan Presiden Wahid juga pernah mengupayakan dialog Jakarta-Papua. Bahkan Presiden SBY, semasa menjadi Menko Polkam, juga berusaha memulainya. Sebab kegagalannya persis seperti yang dimiliki dan dilakukan oleh Malarangeng, yakni semangat nasionalisme berlebihan dan kebiasaan membuat klaim sepihak sebelum ada kesepakatan pendahuluan dengan para pihak.

Hasrat dialog konstruktif Nicholaas Jouwe sudah sejalan dengan semangat baru Indonesia yang sedang menikmati demokratisasi. Aceh sudah mengakhiri konflik berdarahnya juga dengan dialog. Indonesia baru sekaligus Aceh baru sudah hadir di sana. Sebagian besar pejabat pemerintah pusat di Jakarta tidak lagi anti dialog. Banyak yang sudah mulai membuka kemungkinan adanya dialog. Kedatangan Nicholaas Jouwe bisa menjadi momentum tekad dan prakondisi dialog yang secara politik lebih signifikan.

Pada masa dekolonisasi, oleh para founding fathers bangsa Indonesia, Papua dianggap sebagai bab terakhir perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Oleh sebab itu, setelah Aceh, penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh adalah agenda terpenting bagi pemulihan masalah keindonesiaan. Agar Indonesia hadir dalam wajah yang lebih ramah, lebih melayani, lebih merangkul, dan lebih menjamin keadilan, dan kedamaian. Tanda keberhasilannya harus ditunjukkan dengan membuat kepapuaan dan orang Papua merasa nyaman dan optimis sebagai bagian dari identitas bangsa dan sebagai warga negara Indonesia.

(Foto: Peluncuran Buku Dialog di Jakarta, oleh Muridan S. Widjojo)