Saturday, August 18, 2007

Belajar dari Rumor dan Politik Stigma


Sebuah rumor tersebar melalui SMS: "Muridan peneliti LIPI bekerjasama dengan BIN mengumpulkan data sejarah Papua untuk kampanye di luar negeri dengan membantah isu genocide dan mendelegitimasi perjuangan Papua Merdeka." Saya langsung teringat perjalanan saya ke pedalaman Papua mengumpulkan kesaksian tentang kekerasan politik di masa Orde Baru dan presentasi paper saya di Oxford Oktober 2006 dan sebelumnya di Belanda yang mengkritik manipulasi data kekerasan di kalangan peneliti asing, LSM dan aktivis Papua Merdeka.

Lalu muncul juga rumor bahwa Muridan terlibat dalam proyek islamisasi di Papua. Hahaha...Tapi saya ingat bahwa anggota tim kami dari LIPI tiga orang di antaranya pakai jilbab. Apakah karena ini? Tapi saya ingat juga bahwa saya pernah bicara di Muktamar Muslim Papua I 2007 bahwa Islam masuk ke Papua 350 tahun lebih awal dari Kristen, bahwa pendeta-pendeta Kristen dari Belanda masuk pertama kali ke Papua dipandu oleh tokoh-tokoh Islam dari Salawati (Tidore). Apakah karena ini juga?

Di kalangan teman-teman pejabat pemerintah di Jakarta ada bisik-bisik tersebar juga bahwa peneliti LIPI untuk Papua (termasuk Muridan) bersimpati pada gerakan Papua Merdeka dan ikut mengkampanyekan agenda-agenda Papua Merdeka. Terdengar bego memang, tapi 'masuk akal'. Tim LIPI dalam monografinya selama tiga tahun terakhir memang menyarankan dialog nasional (kalau perlu internasional), penegakan keadilan dan HAM, rekonsiliasi (baik yang terbatas maupun sosial) dan perubahan mendasar paradigma pembangunan di Papua dan lain-lain yang dipandang oleh pejabat Jakarta sebagai topeng kaum separatis.

Kalau kita cermat, setiap rumor itu tidak sepenuhnya bohong. Setiap tuduhan yang ada di dalam rumor itu mengacu pada fakta tertentu. Jilbab bisa berkonotasi islamisasi. Kritis terhadap kelompok tertentu bisa berarti delegitimasi. Bicara sesuatu yang positif tentang suatu kelompok yang dianggap 'musuh' bisa berarti kita bagian dari 'musuh' itu. Rumor itu mewakili suatu kegamangan dalam memahami situasi. Tidak ada waktu dan energi untuk klarifikasi. Dia merupakan strategi tergesa-gesa dan dangkal untuk menciptakan suatu citra yang menghancurkan seseorang. Kadang berhasil, tapi dalam jangka panjang selalu gagal.

Rumor itu sering mengaburkan fakta dengan seabrek asosiasi, konotasi, kecurigaan, frustrasi dan mungkin juga kecemburuan. Di dalam situasi konflik, orang lebih pandai menciptakan kategori 'musuh' daripada 'kawan'. 99 fakta yang menunjukkan seseorang sebagai 'kawan' bisa tidak berarti karena ada 1 fakta lain yang mengindikasikannya sebagai 'musuh'. Dengan logika ini, seorang peneliti sepertiku bisa mendapat stigma sebagai 'musuh bagi semua pihak yang bertikai di dalam konflik Papua'...

Jadi? Sebenarnya Muridan itu agen NKRI Jakarta atau pendukung Separatis OPM? Sebagai peneliti , 'kejelekan' yang aku banggakan adalah menyatakan apa dan mengapa sesuatu terjadi pada hari ini dan kemarin. Itu juga berarti, di hadapan teman-teman Papua, aku mengkritik strategi perjuangan mereka. Di hadapan pemerintah, aku mengkritik pemerintah dan kebijakannya. Di rumah, aku kritik diriku sendiri.

Aku memang menghabiskan banyak energi untuk kritik. Yang mungkin menggelisahkan dan tidak nyaman bagi 'korban'-nya. Dengan gelisah, aku percaya orang akan terganggu dan merenung. Syukur-syukur ada pencerahan... Aku berusaha menyatakan cinta dengan kritik... Semoga itu mungkin dan tidak 'membunuh'-ku.

Monday, August 13, 2007

Promosi Doktoral 12 September


Semakin dekat hari H semakin tegang pikiranku. Disertasiku akan diuji dalam forum yang disebut promotie pada 12 September 2007 di Universitas Leiden. Akan hadir ahli-ahli sejarah pra-kolonial dan kolonial Universitas Leiden semacam Prof J.L. Blusse (promotor), G.J. Knaap (co-promotor), Prof F. Gaastra dan J. Th. Lindblad. Tamu istimewanya Prof B. Arps (pusat studi Asia Tenggara Universitas Leiden), D. Henley (KITLV), dan Prof P. Spyer (Antropologi Sosial Universitas Leiden). Sebagai opponent: Ch. F. van Fraassen yang ahli Maluku Utara. Prof. W. Remmelink akan hadir sebagai tamu kehormatan di ujian itu. Oleh karena kehadiran orang-orang ini, saya punya alasan untuk menganggap momen ini sangat istimewa. Yang juga bikin istimewa adalah kehadiran dua sobatku J. Timmer (antropolog ahli Papua) dan Alicia Schrikker (sejarawan muda ahli Srilangka) akan menjadi paranims.

Sebagian dari mereka, terutama opponent akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Apa yang akan aku katakan dan apa yang terjadi di ruangan ini pasti tidak akan terlupakan. Sebagai tradisi akademik Universitas Leiden, promosi ini merupakan formalitas tapi menentukan. Proses berat sesungguhnya sudah dilewati melalui pembacaan oleh promotor, co-promotor, dan referent. Forum ini akan menentukan status lulusan kita, suma cumlaude, cumlaude atau biasa-biasa aja. Status itu tidak terlalu penting, tapi apa yang akan terjadi setelah lulus jauh lebih penting.

Disertasi ini bicara tentang hubungan orang Maluku dan Papua di akhir abad 18 dan awal abad 19. Persisnya tentang orang-orang Tidore, Raja Ampat (Salawati, Waigeo, Waigama, dan Misool), Fakfak-Kaimana, Seram Timur dan Seram Laut, Halmahera Utara (Tobelo, Tobaru dan Galela) dan orang-orang Inggris yang terlibat langsung dan tidak langsung dalam pemberontakan Pangeran Nuku dari Tidore. Secara tidak langsung, kalau anda baca, hubungan sosial ekonomi politik orang-orang Papua pantai dengan Maluku Utara (terutama Tidore) terjadi sangat intensif sejak lama.

Pada 2002 aku setahun ikut kuliah persiapan, bahasa, metode, dan kuliah lainnya, termasuk proposal doktor. Empat tahun disertasi ini ditulis, dari 2003-2006. Setelah itu, sepanjang Januari hingga Juli 2007 aku lebih banyak tinggal di Jakarta untuk menunggu jadwal promosi. Pada 31 Juli lalu aku berangkat ke Leiden untuk persiapan. Rupanya banyak juga yang harus disiapkan. Proses itu dimulai dengan mulai mengisi Form 1 menyangkut kepastian tanggal promosi hingga Form VI menyangkut penyerahan disertasi dalam bentuk digital file. Belum lagi menentukan undangan, restoran, cari dana, dan sebagainya.

Jadi 12 September itu akan menjadi upacara puncak dari program doktor selama 5 tahun yang lumayan melelahkan, membosankan, tapi juga nikmat. Harapannya sih, aku akan lebih produktif dan lebih intens menulis di tahun-tahun mendatang. Fokusnya tetap Maluku-Papua, atau Indonesia Timur secara umum.

Thursday, August 09, 2007

Aktivis Pendatang dan Papuanisasi



Sudah menjadi wacana umum bahwa orang Papua termarji- nalisasi di tanahnya sendiri di Papua. Orang Papua selalu menjadi obyek bagi kepentingan pihak luar, pihak negara, pihak internasional, dan lain-lain. Oleh karena itu semangat untuk mendorong orang Papua bangkit dan memberikan keistimewaan pada orang Papua untuk maju telah menjadi semangat bersama yang dominan di kalangan aktivis LSM, Gereja, maupun di kalangan intelektual atau peneliti. Akhir-akhir ini bahkan semangat ini juga melanda lembaga-lembaga negara di tanah Papua. Inilah yang populer disebut papuanisasi.

Setiap kali ada kegiatan baik itu seminar atau pun lokakarya atau apa pun bentuknya dan berkaitan temanya dengan Papua maka pertanyaan utamanya adalah apakah orang Papua dilibatkan? Segala upaya sudah banyak dilakukan agar orang Papua mendapat tempat utama dalam penentuan nasib atau perencanaan kegiatan yang berakibat pada kehidupan orang Papua. Kritik tajam akan disampaikan ke anda jika anda membuat sesuatu kegiatan 'tanpa melibatkan orang Papua'. Juga ketika lembaga bekerja di Papua tapi tidak dipimpin oleh orang Papua asli. Sekarang ini tren-nya adalah gubernur, bupati, walikota, camat, dan pejabat penting lainnya sudah diduduki oleh orang Papua asli.

Di kalangan aktivis LSM baik lokal, nasional, dan terutama internasional, aktivis asli Papua selalu diutamakan untuk diundang jika mereka membutuhkan pembicara atau partisipan dari Papua. Pengalaman dan pengetahuan yang baik untuk membahas dan membuat program Papua tentu menjadi pertimbangan penting. Tapi itu tidak selalu bisa dicapai. Kadang-kadang pilihannya tidak banyak. Orang-orang tertentu yang tidak memiliki kapasitas yang memadai kadang juga diundang demi memenuhi kriteria orang asli Papua. Ini tidak selalu buruk karena memberi kesempatan lebih banyak bagi orang asli Papua untuk berkembang dan berinteraksi dengan dunia yang lebih luas. Syukur-syukur wawasannya makin luas dan perspektifnya makin terbuka.

Selama ini, mungkin juga dengan semangat papuanisasi lembaga internasional memberikan penghargaan (award) pada aktivis atau pemimpin asli Papua. Tom Beanal, Wakil Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) pernah mendapatkan perhargaan di bidang HAM di AS. Juga Mama Yosepha Alomang yang berbasis di Timika pernah mendapatkan penghargaan di bidang lingkungan hidup dan HAM di AS. Tidak ketinggalan, Chris Warinussi, aktivis berbasis di Manokwari, juga mendapatkan penghargaan HAM di Kanada. Penting untuk dikatakan bahwa orang-orang ini memang layak mendapatkan penghargaan. Di sini secara implisit nampak bahwa penghargaan ini menempatkan etnisitas Papua sebagai pertimbangan penting.

Akhir-akhir ini ada perkembangan menarik. Dunia mulai memberikan pengakuan pada perjuangan aktivis 'pendatang' di Papua. Joan B Kroc, Insitute for Peace and Justice (IPJ), University of San Diego memilih L. Anum Siregar (lihat foto) sebagai salah satu women peacemakers terpilih di dunia ini yang akan dibuat film biografisnya di sana. Dia akan tinggal delapan minggu di AS untuk pembuatan film tersebut dan menghadiri Women Peacemakers Summit pada Oktober 2007. Selama itu dia akan tinggal di apartemen mewah Casa de la Paz milik IPJ yang menghadap Mission Bay San Diego. Seorang penulis dan tim pembuat film akan terus mendampinginya untuk proses pembuatan film itu. Kerja keras dan pengalaman Anum akan diketahui dan dihargai oleh kalangan aktivis perdamaian dan hak asasi manusia di forum internasional.

Siapa Anum itu? Anum Siregar itu dari namanya sudah jelas berdarah Batak. Mamanya memiliki darah Ambon dan mungkin sedikit Manado. Tapi dia lahir dan besar di Papua, terutama di Jayapura. Dia selalu menganggap dirinya orang Papua dan dalam pikiran dan tindakannya komitmen kepapuaannya tidak perlu diragukan lagi. Sekarang ini Anum adalah direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) dan Sekretaris Jendral Majelis Muslim Papua (MMP) yang berdiri pada 2007. Jasanya untuk HMI Jayapura, Solidaritas Perempuan Papua (SPP), Angganetha Foundation, dan sejumlah LSM lainnya diketahui oleh kalangan luas. Yang mengesankan adalah pengalamannya ketika menjadi pengacara Ketua PDP Theys Eluay dan kesungguhannya selalu mendampingi kasus-kasus hukum yang menimpa rakyat kecil.

Kerja kerasnya tidak selalu dihargai. Beberapa ungkapan sinis menerpanya karena statusnya sebagai 'pendatang' atau si rambut lurus. Untuk ukuran seorang aktivis sekaliber Anum, dia termasuk jarang diundang ke luar negeri. Dia adalah tipe orang yang bekerja dan bekerja. Tidak pandai sama sekali membuat 'iklan diri'. LSM yang dia pimpin, AlDP, belum memiliki website sampai hari ini. Tapi itu tidak berarti bahwa karya mereka tidak penting untuk Papua. Sebagai seorang aktivis Islam, dia juga menerima berbagai tuduhan sebagai salah satu pelopor islamisasi di Papua. Satu-satunya iklan terkuatnya adalah tetap bekerja untuk Papua dan menjaga integritasnya sebagai aktivis. Secara pribadi dan sebagai peneliti, saya adalah salah satu orang yang tidak pernah meragukan integritasnya.

Kini Universitas San Diego mewakili banyak orang di Papua dan di belahan dunia lainnya yang sudah berterima kasih pada seorang Anum untuk semua perjuangannya. Seorang pendatang yang mencintai Papua sebagai tanah kelahirannya dan telah berbuat banyak untuk Papua memang harus diberikan penghargaan. Semangat Papua Baru seharusnya memang tidak hanya berdasarkan pada kriteria primordial, tetapi juga pada kriteria substansial seperti integritas dan kepemimpinan serta hasilnya yang nyata untuk orang Papua pada umumnya.