Tuesday, August 12, 2008

Bintang Kejora di Wamena: Nasionalisme Minus Substansi

Seperti siklus yang melingkar, lagi-lagi selembar bendera Bintang Kejora menelan korban di Papua. Di Wamena seorang peserta demo tewas terbunuh sesaat setelah Bintang Kejora berkibar pada peringatan Hari Pribumi Internasional pada 9/8/2008.

Sebelumnya sudah banyak aktivis Papua yang divonis dengan hukuman berat. Jumlahnya pasti akan bertambah karena pemerintah sudah memasang jerat dengan PP 77/2007 yang melarang simbol-simbol yang berasosiasi dengan separatisme.


Untuk tahun 2008 saja setidaknya ada sekitar 10 kasus pengibaran Bintang Kejora di berbagai kabupaten seperti Manokwari, Timika, Jayapura, Wamena dan bahkan Fakfak. Lebih dari 50 orang sudah pernah ditahan. Lebih dari 10 orang kemudian diadili. Bahkan pada awal tahun ini dua orang ibu Papua sempat ditangkap hanya karena menyulam gambar Bintang Kejora di tas yang dijualnya di pinggir jalan.


Korban Bintang Kejora yang menjadi terkenal akhir-akhir ini adalah Filep Karma yang divonis oleh Pengadilan Negeri Jayapura 15 tahun penjara dan Yusak Pakage 10 tahun penjara pada 2004. Kasusnya menjadi amunisi untuk terus mempersoalkan Papua di fora internasional. Hasilnya, minggu lalu 40 anggota Konggres AS ramai-ramai menekan Presiden RI untuk membebaskan Filep Karma dan Yusak Pakage.


Tekanan Konggres AS ini merupakan penanda kegagalan diplomasi publik dan kegagalan pemerintah Indonesia, seperti janji Presiden SBY, menyelesaikan masalah Papua secara adil dan bermartabat.


Vonis makar, represi yang keras, dan berbagai ancaman sanksi lainnya tidak akan membuat orang Papua berhenti mengibarkan Bintang Kejora. Kelompok aktivis yang serius, individu yang iseng hingga oknum aparat yang bermain-main bisa saja mengibarkan bendera itu atau menyuruh orang lain melakukannya dimana saja dan kapan saja.


Sudah pasti pula bahwa sumber daya polisi akan terhambur untuk terus mengurus kasus-kasus ini. Pengadilan juga akan terus menerus menjatuhkan hukuman berat pada pelakunya. Hasilnya, akar masalah Papua yang nyata dan mendesak terabaikan dan negara ini disandera oleh paham nasionalisme yang simbolistis dan cenderung destruktif pada dirinya sendiri.


Sesungguhnya, ada soal serius dengan rasionalitas politik para nasionalis Indonesia. Selembar bendera dianggap begitu menakutkan. Untuk menghadapi itu ratusan pasukan polisi atau TNI dikerahkan. Seakan-akan republik ini akan runtuh segera kalau bendera itu dibiarkan berkibar. Seakan-akan ratusan orang boleh ditangkap, dihilangkan atau dibunuh demi simbol-simbol NKRI itu.


Mereka percaya bahwa masalah Papua seakan-akan selesai jika Bintang Kejora tidak lagi berkibar. Para nasionalis banal itu tidak menyadari bahwa justru yang bisa mendorong disintegrasi republik ini adalah perspektif nasionalis simbolistis yang terus menghasilkan ketidakadilan di masa lalu dan masa kini.


Jika pemerintah ingin konflik Papua bisa diselesaikan, Bintang Kejora itu seharusnya dipahami sebagai simbol yang mewakili tuntutan orang Papua atas setidaknya empat soal ketidakadilan: 1) marjinalisasi orang asli Papua, 2) kegagalan pembangunan di Papua, 3) pelanggaran HAM oleh aparat negara, dan 4) kontradiksi status politik dan sejarah yang tidak pernah didialogkan.


Para nasionalis Indonesia seharusnya mengubah total perspektifnya dalam melihat Papua. Keindonesiaan tidak bisa dijaga hanya bermain dengan simbol bendera, lagu kebangsaan, atau upacara 17 Agustus. Tuntutan orang Papua harusnya dijawab dengan mengubah cara pemerintah dalam menangani masalah Papua dari perspektif keamanan ke perspektif keadilan. Dari perspektif nasionalis yang simbolistis dan militeristis menjadi perspektif yang substansial dan konkrit.


Nilai keindonesiaan di Papua hanya bisa dibangun dengan kebijakan konkrit yang langsung menyentuh akar persoalan di Papua. Keindonesiaan seharusnya dibangun kembali dengan memberdayakan orang asli Papua sebagai subyek utama perubahan dan menghargai identitas dan kebudayaannya, menata pembangunan warga negara di sana dengan paradigma baru, menyelesaikan hutang pelanggaran HAM oleh aparat negara di masa lalu, serta membuka ruang dialog yang substansial dengan para pemimpin Papua.


Dengan berfokus pada penyelesaian empat isu utama di atas, saya percaya wajah keindonesiaan di Papua masih bisa diubah secara bertahap. Rasa percaya dan optimisme rakyat Papua untuk menegosiasi masa lalu, memperbaiki masa kini, dan menyelamatkan masa depan bisa ditumbuhkan kembali.

(Foto: Bintang Kejora di Wamena 9 Agustus 2008, oleh Theo Hesegem) (Artikel ini dimuat di Harian Kompas, 22 Agustus 2008)


Sunday, August 03, 2008

Kampanye Papua Road Map


Sudah sejak 2004 Tim LIPI untuk konflik Papua sudah mulai membuat penelitian. Sudah tiga monograf diterbitkan. Setelah dibekukan satu tahun pada 2007, pada 2008 dilanjutkan kembali sebagai tahun terakhir. Nah pada tahun terakhir inilah Tim LIPI harus membuat model penyelesaian konflik Papua jangka panjang dan menyeluruh. Saya sebagai koordinator Tim LIPI menamainya PAPUA ROAD MAP (PR). Agar hasil penelitian ini bisa berarti untuk kebijakan pemerintah untuk Papua, kami juga membuat kampanye ke publik dan pemerintah.

Secara ringkas PR dapat diringkas sebagai berikut:


Sumber-sumber konflik Papua dapat dikelompokkan dalam empat isu. Pertama, masalah marjinalisasi dan efek diskriminatif terhadap orang asli Papua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal ke Papua sejak 1970. Untuk menjawab masalah ini, kebijakan afirmatif rekognisi perlu dikembangkan untuk pemberdayaan orang asli Papua.


Isu kedua adalah kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk itu diperlukan semacam paradigma baru pembangunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan publik demi kesejahteraan orang asli Papua di kampung-kampung.


Masalah utama ketiga adalah adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Masalah ini hanya bisa diselesaikan dengan dialog seperti yang sudah dilakukan untuk Aceh.


Isu keempat adalah pertanggung-jawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua. Untuk itu, jalan rekonsiliasi di antara pengadilan hak asasi manusia (HAM) dan pengungkapan kebenaran adalah pilihan-pilihan untuk penegakkan hukum dan keadilan bagi Papua, terutama korban, keluarganya, dan warga Indonesia di Papua secara umum.


Sepanjang tahun 2008 kegiatan utama kami adalah membuat kunjungan ke Papua dan menulis monografi. Sementara proses berjalan, kami juga membuat tulisan pendek dalam dua bahasa: Inggris dan Indonesia yang dikirim ke seluruh jaringan kami di dalam dan di luar negeri untuk mendapatkan kritik dan masukan. Edisi bahasa Inggrisnya diterjemahkan secara sukarela oleh kawan baik kami Carmel Budiardjo.


Selain itu kami juga membuat workshop dan seminar di Jakarta dan Jayapura. Seminar baru lalu yang diselenggarakan pada 31 Juli 2008 dan bekerjasama dengan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta, khusus membahas subtema rekonsiliasi dan pengadilan HAM.


Seminar tersebut sukses sebagai forum sosialisasi atau kampanye. Para partisipan mewakili berbagai elemen yang variatif. Partisipan dari Deplu dan Kantor Setwapres hadir. Seorang pensiunan perwira tinggi TNI yang peduli dengan HAM juga datang. Jangan ditanya lagi teman-teman LSM Jakarta seperti PBHI, Imparsial, ELSAM, ICTJ, Kontras, dan lain-lain yang tidak bisa disebut satu-satu. Sejumlah tamu penting juga datang dari Papua seperti petinggi Presidium Dewan Papua (PDP) dan pimpinan Sinode Gereja Baptis Papua juga datang dengan biaya sendiri.


Kami Tim LIPI sangat bersemangat karena seminar ini didukung oleh berbagai elemen yang peduli dengan Papua. Bahkan Direktur ALDP dan Sekjen MMP Anum Siregar dan Rektor STFT Fajar Timur Dr. Neles Tebay datang sebagai pembahas dengan tiket dan penginapan yang dibiayai sendiri. Kami Tim LIPI pada satu sisi terharu, tapi di sisi lain merasa bersyukur dan menjadi lebih bersemangat untuk menyukseskan Papua Road Map.


Seri seminar berikutnya akan dibuat dengan kerjasama dengan berbagai lembaga baik milik negara maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Kerjasama dengan lembaga lain penting agar PR tidak hanya menjadi milik LIPI tetapi juga milik publik. Selain itu, Tim LIPI sama sekali tidak punya uang untuk biaya seminar atau lokakarya. Kerjasama dengan lembaga lain juga menutupi kelemahan Tim LIPI dalam hal dana.


Dengan dukungan positif dari berbagai pihak, kami Tim LIPI optimis bahwa PR akan menjadi wacana publik dan bisa memotivasi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah mendasar untuk menyelesaikan masalah Papua.


NB: Paper Papua Road Map dalam edisi bahasa Inggris atau Indonesia dapat diminta pada saya muridanwidjojo@gmail.com.

(Poster Papua Road Map oleh Hardin Halidin, 2008)