Saturday, November 22, 2008

Oleh-oleh dari Aceh untuk Papua


Saya menerima undangan resmi dari Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Irwandi Yusuf, untuk menghadiri lokakarya "Kemajuan dan Tantangan Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh menurut UU Nomor 11 Tahun 2006" pada 19 November di Banda Aceh. Lokakarya ini merupakan hasil kerjasama antara Pemerintah Aceh dan LSM Jerman GTZ Algap II. Selain mengevaluasi pelaksanaan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, ada juga presentasi tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan Yogyakarta oleh pejabat Departemen Dalam Negeri. Karena ingin belajar lebih banyak dari kemajuan politik di Aceh, saya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan di Jakarta.

Oleh-oleh pertama dari lokakarya tersebut adalah penjelasan ahli Otsus dari Universitas Guelph, Gabrielle Ferrazzi, bahwa otonomi khusus adalah salah satu bentuk desentralisasi asimetris, yakni pendekatan desentralisasi yang membedakan derajat desentralisasi antarunit pemerintahan. Pemberian otsus oleh pemerintah pusat adalah fenomena biasa saja, sama sekali tidak istimewa dan tidak membahayakan integritas suatu negara. Di banyak negara otsus sudah banyak diterapkan. Yang menonjol adalah negara Spanyol yang memiliki 17 komunitas otonom. Dalam prakteknya otsus memang lebih sulit dikelola karena kompleks dan oleh karenanya membutuhkan kapasitas yang tinggi dari pemerintah pusat.

Tema tersebut di atas merupakan kritik terhadap sebagian elit pemerintah pusat yang menganut nasionalisme sempit dan ketakutan bahwa otsus adalah praktik luar biasa yang membahayakan dan berpotensi menjadi jembatan menuju pemisahan diri. Secara teoretis dan praktik, otsus tidak pernah memberi ruang untuk kemungkinan pemisahan diri. Yang biasa terjadi adalah instabilitas politik (tuntutan kemerdekaan) dapat diatasi, optimisme dan suasana politik kondusif meningkat dan akhirnya kualitas integrasi suatu negara meningkat. Jadi kalau elemen Jakarta (dari unsur legislatif dan eksekutif) menghambat pelaksanaan Otsus Papua dengan cara mendorong pemekaran sebanyak-banyaknya, itu berarti merendahkan kualitas integrasi NKRI sendiri.

Oleh-oleh kedua adalah pelajaran tentang kemajuan Aceh pasca MOU Helsinki secara kelembagaan. Provinsi Aceh memiliki kekhususan seperti Wali Nanggroe, Majelis Adat Aceh (MAA) dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Selain partai nasional, Aceh juga memiliki partai lokal misalnya Partai Aceh, Partai SIRA, Partai Rakyat Aceh, dan lain-lain. Inovasi berbagai lembaga baru ini menciptakan arena baru bagi setiap kelompok strategis di Aceh untuk ikut berperan di dalam dinamika sosial dan politik yang menentukan masa depan Aceh. Buah dialog Helsinki tidak hanya memberikan ruang pada politisi dan mantan pejuang GAM, tetapi juga para tokoh adat, ulama, mantan aktivis LSM dan mahasiswa.

Otsus Papua juga sudah menghasilkan lembaga unik Majelis Rakyat Papua (MRP), yang dengan segala kekurangannya, mulai berfungsi. Tapi tidak seperti Aceh, meskipun disebutkan dalam UU 21/2001 tentang pembentukan partai lokal (parlok), di Papua dan Papua Barat belum ada wacana kuat tentang rencana pembentukan partai lokal baik dari DPRP, pemerintah provinsi, maupun MRP. Setelah berdiskusi dengan pimpinan partai lokal Aceh, saya mendapatkan kesan bahwa keberadaan partai lokal menjadi sarana pendidikan politik yang sangat baik untuk penduduk lokal. Saya percaya bahwa keberadaan Parlok memberi warna menarik dan positif bagi politik Indonesia. Tidak ada tanda sedikit pun bahwa parlok akan menjadi alat baru separatisme. Ini adalah oleh-oleh ketiga.

Oleh-oleh keempat adalah soal anggaran. Di Banda Aceh, melalui Modus Aceh, Gubernur Irwandi Yusuf dikritik keras oleh kelompok Konsorsium Aceh Baru karena pemerintahnya hanya mampu menyerap sekitar 15-20% anggaran 2008 pada November. Selain masalah administrasi yang rumit, terdapat pendapat bahwa pemerintahan Irwandi Yusuf sangat berhati-hati agar di kemudian hari tidak dituntut oleh KPK. Di dalam tubuh pemerintahannya bahkan terdapat satu unit khusus yang mengawasi kemungkinan korupsi. Cerita berkembang bahwa lebih baik daya serap rendah daripada nantinya dituduh korupsi. Ini berbeda dengan Papua yang daya serap anggarannya lebih tinggi tetapi kalau dilihat sejumlah laporan BPK, indikasi korupsinya juga sangat tinggi. Mau pilih mana? Keberhasilan, saya pikir, terutama harus diukur dari kualitas program pembangunan yang dijalankan. Daya serap anggaran hanyalah salah satu tolok ukur itu.

Oleh-oleh kelima adalah soal bendera. Melalui berbagai proses dan diselingi dengan munculnya PP 77/2007 tentang larangan penggunaan simbol-simbol separatis, di jalan-jalan kita bisa melihat "bendera GAM" berkibar menyambut kita yang dari bandara Banda Aceh. Bendera itu rupanya sudah dimodifikasi dengan menghilangkan lambang bulan bintang dan menggantinya dengan tulisan Aceh. Kata intelektual Aceh Ahmad Farhan Hamid, penulis buku Jalan Damai (2008), bendera hanyalah lambang dan tidak perlu menjadi pertengkaran antara Jakarta dan Aceh. Farhan di satu sisi mengeritik pemimpin Papua yang terlalu banyak buang energi memperjuangkan Bintang Kejora sebagai simbol daerah, di sisi lain, juga mengeritik Jakarta yang terlalu sensitif dengan simbol-simbol tapi mengabaikan substansi. Bintang Kejora sebagai simbol daerah bisa dinegosiasikan. Mungkin dengan sedikit perubahan, seperti bendera Partai Aceh.

Oleh-oleh keenam adalah nuansa Aceh setelah dialog Helsinki. Nuansa ini saya tangkap setelah mengobrol dengan Hendra Budian dan kawan-kawan di warung kopi De Helsinki dan warung kopi Solong, serta diskusi dengan pimpinan Partai SIRA. Dialog Helsinki yang menghasilkan perdamaian Aceh telah memberikan optimisme baru di semua kalangan. Energi sosial dan politik Aceh kini diarahkan sepenuhnya pada masa depan: kerja-kerja politik, pengorganisasian, penguatan akar rumput, dan pembangunan oleh dan bagi semua rakyat Aceh. Di Aceh kita melihat lompatan jauh daripada bagian Indonesia yang lain. Papua tertinggal puluhan langkah dari Aceh. Dengan caranya sendiri, Papua bisa mengikuti jejak Aceh.

Salah satu kelebihan terpenting Aceh adalah bahwa posisi politiknya sudah pada tahap pasca konflik berkat dialog Helsinki 2005. Segala hambatan, seperti gugatan apakah Aceh menjadi bagian dari Indonesia, sudah selesai sehingga langkah-langkah menuju Aceh baru sudah bisa dimulai. Sedangkan Papua berbeda. Kita belum bisa mengatakan bahwa Papua sudah berada pada tahap pasca konflik. Papua masih ada dan bersama Jakarta terjebak di dalamnya...
(Foto: Makam massal korban Tsunami Aceh 2004 di Banda Aceh, oleh Muridan S. Widjojo 2008)

Saturday, November 01, 2008

Benny Wenda, IPWP dan Sikap Pemerintah Inggris


Pada 15 Oktober 2008 diselenggarakan pertemuan sekitar 30 aktivis Papua Merdeka dan beberapa anggota parlemen (2 dari Inggris dan masing-masing 1 dari Vanuatu dan Papua Nugini). Pertemuan ini membentuk forum yang disebut International Parliamentarians for West Papua (IPWP). Nampaknya, para aktivis penyelenggara mencoba mengulang sukses International Parliamentarians for East Timor (IPET) yang katanya sukses mendorong kemerdekaan Timor Leste.

Belum bisa dikatakan bahwa mereka akan mengulang sukses IPET karena ini masih merupakan langkah awal. Kekuatan politiknya bergantung pada apakah dukungan dari anggota parlemen dari berbagai negara akan bertambah. Sejauh ini memang IPWP tidak mencerminkan sikap parlemen Inggris yang terdiri dari 646 anggota House of Commons dan 746 anggota House of Lords. Lebih jauh lagi, IPWP juga tidak bisa dikatakan mencerminkan sikap pemerintah Inggris.

Fenomena pembentukan IPWP di gedung parlemen Inggris adalah keberhasilan kampanye kelompok Papua Merdeka di Oxford yang terdiri dua pemain inti yakni eksil politik asal Wamena Benny Wenda dan seorang Pendeta Inggris Richard Samuelson. Benny dan Richard berhasil meyakinkan sejumlah aktivis LSM di Inggris dan di Belanda untuk mendukung kampanye mereka. Usaha keras mereka berhasil setidaknya meyakinkan dua anggota parlemen Inggris Lord Harries of Pentregarth MP dan Hon. Andrew Smith MP dan mendatangkan masing-masing seorang anggota parlemen Vanuatu dan Papua Nugini. Seorang bekas anggota IPET juga hadir di situ.

Dari sisi jaringan gerakan, Benny berhasil membangun pengaruh di kalangan aktivis asal pegunungan di Papua dan di Jawa. Demo pendukung IPWP sebanyak 700-an orang di Jayapura pada 16 Oktober 2008 yang dipimpin Buktar Tabuni, Dominggu Rumaropen dan kawan-kawan menunjukkan bahwa terdapat kaitan erat di antara kelompok Inggris dengan kelompok Jayapura (Papua). Yang menarik, Benny dan jaringannya berhasil membangkitkan harapan tinggi dan eforia massa terhadap kemerdekaan Papua. Banyak anak muda Papua percaya bahwa IPWP hari itu mendeklarasikan kemerdekaan Papua. Oleh karena itu dalam sebuah wawancara Sekjen PDP Thaha Alhamid perlu menglarifikasi bahwa pertemuan tersebut dimaksudkan untuk menggalang dukungan internasional dan bukan hari kemerdekaan Papua. Ada kesan bahwa Benny dan kawan-kawan membesar-besarkan signifikansi politik IPWP.

Keberhasilan kampanye kelompok Benny tampak pula dari reaksi pemerintah Indonesia. Tidak kurang dari Duta Besar Indonesia untuk Inggris Yuri Thamrin dan sejumlah petinggi Indonesia di Jakarta memberikan pernyataan bahwa IPWP tidak signifikan secara politik karena tidak mencerminkan sikap pemerintah Inggris. Terlebih lagi, petinggi polisi dari Mabes Polri juga menyatakan bahwa Benny Wenda adalah kriminal yang melarikan diri dari penjara. Pernyataan yang dimuat di berbagai media massa itu justru menunjukkan bahwa kampanye IPWP telah berhasil membuat „stabilitas‟ Papua terganggu dan dengan sendirinya pemerintah Indonesia juga merasa terganggu. Terasa sekali bahwa counter pihak pemerintah Indonesia reaktif dan tidak berhasil membangun simpati publik internasional.

Tidak banyak orang tahu bahwa Benny sangat kecewa dengan pemerintah Inggris. Hal ini terlihat dari suratnya kepada PM Inggris Gordon Brown tertanggal 5 Mei 2008. Dia mengklaim telah berkeliling Inggris dan mendapatkan dukungan rakyat Inggris. Tetapi menurutnya pemerintah Inggris mengabaikan dukungan rakyatnya. Singkatnya, Benny tidak melihat sedikit pun tanda bahwa pemerintah Inggris memberikan dukungan pada gerakan Papua Merdeka. Sangat wajar bahwa Benny Wenda kecewa dengan sikap dan pandangan resmi pemerintah Inggris. Sikap pemerintah Inggris itu jelas terlihat di dalam notulensi percakapan di House of Lords antara Menteri Persemakmuran Malloch-Brown dengan beberapa anggota parlemen mengenai isu Papua pada 13 November 2007. Isu Papua itu sendiri pada saat itu diangkat oleh Lord Harries of Pentregarth yang juga kemudian menjadi anggota IPWP.

Menteri Malloch-Brown menyatakan bahwa pemerintah Inggris tidak merencanakan untuk mengangkat masalah Papua di forum Dewan Keamanan PBB. Pemerintah Inggris menghormati integritas teritorial Indonesia dan tidak mendukung kemerdekaan Papua. Inggris percaya bahwa pelaksanaan UU Otonomi Khusus secara penuh adalah jalan terbaik untuk penyelesaian masalah perbedaan internal dan stabilitas jangka panjang Papua secara berkelanjutan. Jalan terbaik untuk mengurai isu Papua yang kompleks adalah dengan memromosikan dialog damai antara kelompok-kelompok Papua dengan pemerintah Indonesia.

Pemerintah Inggris mengakui bahwa terdapat banyak perdebatan tentang apakah pada Pepera 1969 orang Papua membuat keputusan secara obyektif dan secara bebas menurut keinginan mereka. Meskipun demikian, kata Malloc-Brown, hasil Pepera 1969 sudah diterima oleh PBB pada saat itu dan sejak itu tidak ada lagi keraguan internasional bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia. Dalam bidang HAM, Inggris sudah mencantumkannya di laporan HAM Kementerian Luar Negeri dan pemerintah mengangkatnya melalui kedutaan Inggris di Jakarta. Meskipun demikian pemerintah Inggris melihat bahwa skala pelanggaran tersebut masih relatif kecil dan tidak bisa menjadi alasan utama (untuk kemerdekaan Papua). Kedua, karena pemerintah Inggris tidak menerima kemerdekaan Papua, maka Inggris tidak menganggapnya pantas untuk mengangkat isu Papua di Dewan Keamanan atau Sidang Umum.

Kekecewaan pemerintah Inggris (terhadap pemerintah Indonesia) adalah bahwa pelaksanaan UU Otsus tidak mengalami kemajuan akibat pertentangan antara pemerintah dengan kelompok lokal Papua. Meskipun demikian, Inggris percaya bahwa pemerintah Indonesia di bawah Susilo Bambang Yudhoyono lebih menghormati HAM daripada Rezim sebelumnya. Para pejabat di Kedutaan Inggris di Jakarta telah mengunjungi Papua secara berkala dan menemui pejabat lokal, akademisi, wartawan dan LSM, dan hasilnya pemerintah Inggris menyampaikan keprihatinannya kepada pemerintah Indonesia.

Secara tegas Malloch-Brown mengatakan, “Saya menolak karakterisasi Papua sebagai Dafur kecil (menentang pernyataan Lord Kilclooney). ...We insist that it (Papua) should not be bracketed with major abuses such as Darfur, Zimbabwe or Burma.”


(Foto: Aktivis Papua Merdeka Benny Wenda dan Richard Samuelson, diambil dari http://www.cultura21.net/dokuwiki/lib/exe/fetch.php/orange:sk-venezia-01.jpg)