Sunday, December 30, 2007

Wacana Konspiratif Intelektual Papua


Jaksa Agung RI melarang buku Tenggelamnya Rumpun Melanesia (Yogyakarta, Galang Press, 2007) karya Sendius Wonda karena kejaksaan menganggapnya bisa ‘mengganggu ketertiban umum’. Kalau kita cermati substansinya, secara eksplisit dan berulang-ulang di dalam bukunya, Wonda berpendapat bahwa penyebaran pesat HIV/AIDS, kegemaran pada minuman keras di kalangan orang asli Papua, kekerasan aparat negara (TNI/Polri), kehadiran OPM, Keluarga Berencana, transmigrasi dan migrasi spontan serta ‘islamisasi’ di Papua adalah hasil program terencana pemerintah RI untuk memusnahkan orang asli Papua (ras Melanesia) yang juga beragama Kristen.

Tren Wondaisme
Tren Wondaisme—diambil dari nama penulisnya—bukanlah hal baru. Cara berpikir dan perspektif yang simplistis dan konspiratif ini bisa dibaca di banyak laman internet, didengar di berbagai diskusi, serta dibaca di beberapa buku yang ditulis oleh intelektual muda Papua. Bagi mereka, segala yang buruk di Papua adalah produk desain politik yang rapi dan sistemik dari Jakarta (bisa dibaca TNI, Pemerintah Pusat, BIN, dll). Jakarta diyakini memiliki kemampuan sistemik dan benar-benar ingin memusnahkan penduduk asli Papua (baca genocide). Dalam konteks wacana politik di Papua, perspektif Wondaisme cenderung klise dan tidak kritis. Bedanya dengan penulis yang lain, Wonda lebih emosional, tegas, dan hitam-putih.
Wondaisme meneguhkan dan merepresentasi suatu budaya teror yang mendalam dan meluas di Papua. Budaya ini merupakan produk khas dari sejarah dan pengalaman kekerasan (intimidasi, teror dan pembunuhan), serta keterpinggiran politis dan ekonomis orang Papua. Meskipun kekerasan fisik oleh aparat negara sudah berkurang, hingga hari ini aktivis Papua atau pun pendatang yang membela hak-hak dasar orang Papua masih mengalami intimidasi dan teror. Dirasakan oleh banyak pihak adanya operasi intelijen besar-besaran di Papua. Sementara itu, kehadiran pendatang yang makin besar dalam kuantitas dan semakin dominan di segala sektor terutama ekonomi, menjadi tekanan sosial tersendiri. Secara budaya, orang asli Papua juga mengalami ketakutan akan terjadinya ketersingkiran dan dalam bentuk yang ekstrim: kepunahan.
Ketakutan, ketakberdayaan dan upaya perlawanan yang dihasilkannya diberi ‘rumah’ dalam bahasa dan diinternalisasi serta dijustifikasi dalam dogma agama, revivalisasi adat, dan ideologi politik, sebagai strategi bertahan hidup. Sintesis ini mewujud dalam bentuk tradisi lisan seperti rumor, mob, doa-doa, cerita-cerita di rumah adat, dan tradisi baru tulisan seperti pesan pendek (sms), selebaran, dan buku seperti yang ditulis oleh Wonda. Dalam perspektif tradisional Papua, segala kejadian buruk, bahaya, dan krisis kehidupan bersumber dari disharmoni antara manusia dan swanggi (kekuatan supranatural). Kini, secara metaforis, swanggi itu bertransformasi menjadi pemerintah NKRI, BIN, TNI, dan sebagainya.

Tradisi baru intelektual Papua

Dari sudut pandang yang lain, kita seharusnya bergembira dengan tumbuhnya tradisi tulisan dan lapisan intelektual baru Papua. Di antara para intelektual itu, pertama, ada yang reflektif seperti Benny Giay dan Phil Erari. Kedua, ada yang menggebu dan berani seperti Socratez Yoman, Sem Karoba, Yafeth Kambai dan Jacobus Dumupa. Sendius Wonda termasuk di kelompok kedua. Di antara yang muda, karya Decki Pigay adalah salah satu yang terbaik: runtut, detil, dan relatif mampu menjaga jarak. Ada kemiripan wacana di antara para penulis ini. Terkecuali Erari, kebanyakan memiliki satu paradigma oposisi politik identitas dalam memahami konflik Papua, yakni: Indonesia, Melayu, Rambut Lurus, Pendatang dan Islam versus Papua, Melanesia, Keriting, pribumi dan Kristen.
Sebagian dari mereka adalah produk pendidikan NKRI yang sering dituduh gagal. Sebagian lagi adalah produk pendidikan dari luar negeri. Semangat menulis dan perspektif politik yang makin berani adalah juga didorong oleh semangat reformasi dan transisi politik di Indonesia, yang dengan segala kekurangannya, semakin liberal dan demokratis. Dengan begitu orang terdorong dan berani menyatakan pikiran dan pendapatnya secara terbuka. Yang positif dari perkembangan ini adalah pemerintah terbantu memahami salah satu sisi kondisi psikologis dan kultural orang asli Papua. Fenomena ini seharusnya menjadi masukan yang berguna untuk memperbaiki kebijakan dan sikap pemerintah pusat di Papua.

Anomali demokrasi
Kejaksaan Agung menggunakan UU No 5/1969 sebagai dasar untuk melarang peredaran buku tersebut. Definisi tentang “mengganggu ketertiban umum” tentu cenderung sepihak dan subyektif serta terbuka untuk diperdebatkan. Kebijakan yang menggunakan ‘pasal karet’ ini, di mata para pendukung demokratisasi di Indonesia, bertentangan dengan semangat reformasi, keterbukaan dan demokratisasi di Indonesia. Secara prinsip, kebijakan itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28, UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No 11/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.
Sudah banyak buku yang isinya mirip karya Wonda, dan ternyata tidak dilarang dan ‘ketertiban umum’ tidak juga terganggu. Pihak kejaksaan melupakan kenyataan bahwa pembaca umum juga memiliki kecerdasan untuk menilai apakah isi buku tertentu berbobot atau tidak. Kalau isinya tidak berdasar tentu akan segera dilupakan orang. Seperti dalam pengalaman sejarah, pelarangan buku adalah iklan gratis. Publik menjadi penasaran dan memburu buku tersebut. Pasar gelap beroperasi dan buku menjadi laris, mahal dan terkenal. Dalam hal ini, Wonda boleh berterima kasih pada Jaksa Agung RI yang menjadi biro iklan sukarela untuk promosi bukunya.
Pelarangan buku Wonda oleh Kejaksaan Agung adalah kebijakan defisit. Dalam perhitungan politik, kebijakan itu merugikan citra pemerintah RI. Pelarangan buku itu simbol represi dan sikap otoriter yang diwarisi dari Orde Baru. Kebijakan ini bisa menjadi senjata untuk terus menunjukkan pada dunia internasional bahwa Indonesia yang sudah mulai demokratis, bertindak diskriminatif di Papua. (Foto: Cunding Levi, TSPP) (Versi panjang artikel ini dimuat di Tabloid Suara Perempuan Papua, awal Januari 2008)

Saturday, December 08, 2007

Debat King dan Aspinall tentang Identitas Papua (2)


Pada posting sebelumnya, debat Peter King dan Ed Aspinall menyangkut genocide dibahas. Artikel ini mengurai perbedaan pandangan King dan Aspinall tentang sikap orang Papua terhadap Indonesia dan politik identitas yang terbangun dalam konfliknya dengan Pemerintah Indonesia.

King menyatakan bahwa perbedaan Papua dan Aceh adalah bahwa si Papua tidak menganggap dirinya orang Indonesia. Katanya, ini karena adanya ketidakpercayaan mendalam yang mutual antara Papua dan Jakarta. Implisit, King bilang bahwa sikap dan pandangan nasionalis Papua ini tidak bisa berubah. Oleh karenanya, sia-sia saja Indonesia mempertahankan Papua.

Pernyataan ini langsung dikritik oleh Aspinall dengan mengatakan bahwa orang Aceh pun, sebelum Peace Talk mengklaim hal yang sama mengenai identitasnya sebagai orang Aceh, bukan Indonesia. Perubahan sikap orang Aceh setelah Peace Talk memberi pelajaran penting bahwa identitas, sikap dan aspirasi nasionalis tidaklah permanen dan abadi. Dialog—termasuk proses negosiasi substansial yang menghasilkan pengakuan dan konsesi yang adil—dapat mencairkan keteguhan ideologis para nasionalis.

Sebetulnya tidak ada yang baru dengan pendirian teoretis bahwa identitas itu konstruksi sosial dan oleh karenanya bersifat contingent, sementara dan dalam keadaan menjadi. Kemungkinan untuk selalu berubah selalu ada. Interaksi intensif dan kontestatif antarkelompok baik etnis maupun agama memang cenderung mempertajam garis-garis segregatif identitas. Frederik Barth dalam bukunya Ethnic Group and Boundaries sudah omong ‘barang’ itu sejak 1969.

Perlu digarisbawahi bahwa baik King maupun Aspinall memiliki simpati yang mendalam terhadap masalah rakyat Papua. Perbedaan keduanya terletak pada perspektif dan motif. King terjebak oleh simpatinya sebagai aktivis dan motifnya untuk mendorong Papua merdeka sehingga dia gagal menganalisis secara kritis kerangka interpretatif kalangan nasionalis Papua. Aspinall dalam hal ini lebih komparatif dan berjarak. Simpatinya tidak membuatnya mengadopsi begitu saja pandangan kelompok nasionalis Papua. Aspinall juga menggunakan perspektif komparatif dan melihat relativitas dalam masalah Papua.

Pluralitas perspektif, motif, dan pendekatan dalam masalah Papua adalah suatu kenyataan yang jelas dengan sendirinya. Ini berarti selalu ada perbedaan ketiga hal tersebut di kalangan peneliti, aktivis dan pemimpin negara. Sayangnya, masih banyak individu atau kelompok yang percaya bahwa hanya ada kebenaran tunggal. Maksudnya, mereka percaya bahwa doxa (perspektif, motif dan pendekatan) mereka lah yang paling benar.

Kecenderungan memberi label di kasus Papua adalah contoh yang relevan. Kalangan nasionalis Indonesia senang melabel siapa pun yang tidak sama pandangannya dengan mereka sebagai ‘simpatisan separatis’ atau ‘simpatisan OPM’. Di pihak lain kalangan nasionalis Papua juga punya ‘hobi’ yang sama. Mereka sering melabel siapa pun yang tidak disukai dan tidak secara eksplisit mendukung Papua Merdeka, diberi label ‘orangnya BIN’ atau ‘agen Jakarta’.
Cara berpikir yang esensialis dan singularistik seringkali membuat pluralitas dan perbedaan itu menjadi sumber konflik di antara mereka dan mengabaikan tujuan awal membantu penyelesaian masalah Papua.

Perlu dipahami oleh para nasionalis Papua maupun nasionalis Indonesia, bahwa banyak aktivis HAM dan kemanusiaan, peneliti, dan pekerja sosial lainnya tidak merasa perlu mendukung agenda politik salah satunya. Ijinkanlah setiap orang untuk bekerja dan membantu orang Papua dengan kemampuannya masing-masing tanpa harus dimasukkan kotak-kotak sebagai pendukung Papua Merdeka atau pendukung NKRI. (Foto: Hardin Halidin ALDP, 2005)