Sunday, December 20, 2009

NKRI Harga Mati, Kelly Kwalik pun Mati


Pada Rabu 16 Desember 2009 dinihari menjelang pukul 3.00 Panglima TPN/OPM Kodap III Nemangkawi (Mimika) Kelly Kwalik (KK) mungkin sedang tidur pulas. Ia berada di sebuah rumah di kawasan yang disebut Gorong-gorong di pinggiran Timika. Kehadirannya rupanya sudah tercium oleh polisi. Pasukan Densus 88 menyerbu rumah tersebut dan menembak tewas KK yang sudah dicari-cari oleh aparat sejak puluhan tahun lalu. Lima orang yang bersamanya ditahan di Mako Brimob Timika.

Jenazahnya diotopsi di Jayapura dan disemayamkan di depan kantor DPRD Mimika pada 19 Januari 2009. Peti jenazahnya diselimuti bendera Bintang Kejora. Ratusan massa warga asal pegunungan, terutama Amungme, menyambutnya dengan kesedihan dan kemarahan yang mendalam. Di mata orang Papua, KK adalah pejuang OPM murni. Dia menjadi simbol perlawanan Papua yang liat, keras kepala, partikularistik, dan tak-ada-matinya meskipun berhadapan dengan ribuan letupan senjata selama umur konflik Papua sejak 1960an. Seorang Amungme mengatakan, “Masih akan banyak lagi Kwalik-Kwalik baru yang muncul...”

Media umumnya menggambarkan KK sebagai pemimpin OPM yang bertanggungjawab atas rentetan kekerasan di Mimika, terutama pada kasus penembakan di areal Freeport mile 62-63 pada 2002 dan pada kasus rentetan penembakan pada Juli 2009 yang baru lalu. Saya sendiri ragu apakah KK memang terlibat langsung pada kedua peristiwa tersebut. Kapolda Papua sebelumnya secara eksplisit mengatakan bahwa OPM khususnya kelompok KK tidak terlibat pada kasus yang terakhir. Klip video yang diputar oleh pihak Kodam XVII Trikora yang berisi pernyataan KK diduga stock shots tahun 2006.

KK tumbuh sebagai seorang Amungme yang dididik oleh pendidikan Katolik di Agimuga. Tempat ini merupakan pemukiman baru Amungme yang eksodus dari dataran tinggi di sekitar areal Freeport semacam Tsinga, Hoea, dan Noema pada sekitar 1958. Dari sini, KK meneruskan sekolah dan tamat SPG di Jayapura pada paruh kedua 1970an. Ketika gejolak politik 1977 meletus, KK baru bergabung dan berada di bawah komando pemimpin OPM Boni “Nayan” Niwilinggame. Sejak itu KK tumbuh menjadi gerilyawan Amungme terkemuka.

Sebenarnya, nama KK mencuat tinggi pada awal 1996 di Mapnduma ketika kelompoknya menyandera Tim Ekspedisi Lorentz ‘95 yang terdiri dari peneliti Biological Science Club Universitas Nasional Jakarta dan Emmanuel College dari Cambridge University Inggris. Pada saat hendak kembali, mereka disandera. KK menuntut agar dunia internasional mengakui kemerdekaan Papua. Drama tersebut berlangsung sejak pertengahan Januari dan berakhir pada pertengahan Mei 1996 oleh operasi ABRI. Akibatnya bagi warga Amungme sangat buruk. ABRI menyisir kampung sekitar Bela dan Alama mencari pasukan KK dan korban kekerasan berjatuhan di pihak warga sipil Amungme pada sekitar 1997.

Sejak Konggres Papua II 2000 di Jayapura, perjuangan Papua merdeka diputuskan akan ditempuh dengan jalan damai atau dengan kata lain dialog. Rumor berkembang bahwa kelompok-kelompok OPM di hutan, termasuk KK, mendukung jalan damai dan tidak akan lagi menggunakan kekerasan. Pada tahun-tahun berikutnya, kekerasan akut di Papua ternyata tidak berhenti. Pelakunya biasanya adalah kelompok tak dikenal. Pihak negara, terutama militer biasanya cenderung menuduh OPM sebagai pelaku. Sebaliknya, pihak masyarakat Papua, terutama yang kritis terhadap pemerintah, cenderung mencurigai bahwa pelakunya adalah dari kalangan militer Indonesia. Tidak ada yang dapat dipastikan kecuali bahwa kekerasan tetap direproduksi. Seperti suatu siklus...

Prinsip, cara pandang dan kebiasaan penanganan keamanan di Papua terjebak mati di dalam paradigma separatisme. Penuh dengan rumor, intrik, manipulasi, kepentingan ekonomi terselubung, yang disembunyikan secara gegabah dengan jargon nasionalisme sempit baik di pihak negara maupun di pihak masyarakat Papua. Yang satu “NKRI harga mati”, yang lain “merdeka harga mati”. Fakta terkubur dan akal sehat memajal. Maka hampir setiap kali konflik meletus, selalu ada yang harus mati. Konsekuensinya komunikasi politik ikut mati. Kepercayaan juga mati.

Beberapa bagian dominan dari Republik kita masih percaya penuh bahwa represi dan kekerasan negara dapat menyelesaikan konflik Papua atau setidaknya membuat orang Papua berhenti melawan negara. Buktinya selama 40 tahun terakhir paradigma ini terbukti gagal tanpa syarat. Kita Indonesia-termasuk-Papua dipaksa dan dijebak ke dalam siklus kekerasan di antara kita sendiri. Sejarah tak hentinya mencatat lembaran hitam Arnold Ap, Thomas Wanggai, Theys Eluay, Opinus Tabuni, dan banyak lagi. Kini kita tambah lagi dengan KK.

Kita akan mewarisi beban sejarah yang makin perih dan berat, sarat dengan dendam dan kebencian. Memoria Passionis...

Foto 1: Kelly berpidato pada 8/5/1996 di Mapnduma (Daniel Start, 1997)
Foto 2: Berdiri: Silas, KK, dan dua kawannya. Jongkok: Murip dan Yudas. (Ibid)
Foto 3: Salah seorang prajurit Kodap III OPM Menangkawi (Mimika)(Ibid)

Saturday, December 05, 2009

Dua Jam bersama Nicolaas Jouwe


Pada pagi gerimis dan dingin di Belanda, Selasa 1 Desember, saya ditemani fotografer yang juga mahasiswa S3 Astronomi Amsterdam, Tri Astraatmadja, naik kereta dari Amsterdam menuju rumah tokoh Nieuw Guinea Raad Nicolaas Jouwe di Delft. Tepat jam 11 kami tiba di stasiun Delft dan dijemput oleh anak lelakinya, Nico Jouwe, Jr. Tokoh Papua 1960-an ini tinggal di sebuah pemukiman tua dan sederhana yang sebentar lagi akan dirubuhkan. Setelah itu, mengingat usianya yang sudah 85 tahun, dia pasti harus segera masuk rumah jompo (zorg thuis).

Hubungan saya dengan keluarga Jouwe dimulai pada awal 2009. Waktu itu, Nancy, anak perempuan Jouwe, menelpon saya. Dia meminta pendapat saya tentang undangan Presiden SBY. Saya katakan waktu itu bahwa undangan ini perlu direspons secara positif sebagai tanda perubahan kebijakan politik Papua yang lebih persuasif. Selain itu, keluarga Jouwe mesti paham bahwa dengan kunjungan itu, pemerintah Indonesia berharap Nicolaas Jouwe secara politik dan moral menerima Papua sebagai bagian dari Indonesia.

Faktanya, pada pertengahan Maret 2009 Nicolaas Jouwe yang ditemani oleh dua anaknya, Nancy dan Nico, memutuskan memenuhi undangan Presiden SBY. Pada 17 Maret 2009 rombongan keluarga Jouwe mendarat di Jayapura, Papua. Ini menandai kepulangan Jouwe setelah hampir 50 tahun meninggalkan kampung halamannya. Dia mencium tanah beraspal bandara udara Sentani sebagai tanda sujud syukur. Nicolaas tua terharu karena rindunya pada kampung halamannya terobati. Sementara itu sejumlah pemuda dan mahasiswa berdemonstrasi menentang kepulangan Jouwe dan menganggap Jouwe sebagai pengkhianat.

Ketika Jouwe kembali ke Jakarta dan bersiap-siap menemui Presiden SBY, saya diundang untuk bertemu sejenak dengannya. Saya segera meluncur ke Hotel Nikko. Nancy dan Nico menyambut saya dengan hangat di lobi hotel dan kami minum kopi di salah satu kafe. Setelah berbincang sejenak, kami berdiri dan menuju kamar Jouwe senior. Tapi tiba-tiba Nick Messet, bekas eksil Papua pro-merdeka, menghadang dan melarang saya menemui Jouwe. Dengan bahasa Inggris yang kasar dia mengusir saya dari hotel. Dia beranggapan, pertemuan saya dengan Jouwe akan merusak rencana mereka, terutama rencana pertemuan dengan presiden.

Pada sekitar September 2009, saya mengetahui bahwa rencana Nicolaas Jouwe untuk repatriasi sudah pasti. Satu unit rumah akan disediakan untuknya di Dok V Angkasa Jayapura. Direncanakan, pada sekitar Desember 2009 atau Januari 2010, Nicolaas akan membawa seluruh isi rumah dan kenangannya ke Jayapura. Istrinya (juga 85 tahun) yang sedang sakit akan tetap tinggal di Belanda. Kedua anaknya, Nancy dan Nico, juga akan melanjutkan hidupnya di Belanda. Nicolaas Jouwe akan berpisah dengan mereka dan menghabiskan sisa hidupnya di Jayapura. Katanya, jika wafat, dia tidak ingin dikremasi, dia ingin dikuburkan di Jayapura.

Siang itu, mengawali pertemuannya dengan saya, Nicolaas mulai bercerita tentang sejarah hidupnya dan sejarah Papua. Menurut cerita, Nicolaas-lah yang membuat bendera Bintang Kejora yang pertama kali dikibarkan pada 1 Desember 1961. Pada saat itu dia adalah salah satu anggota Dewan New Guinea (Nieuw Guinea Raad) yang konon diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan dipilih secara demokratis di seluruh wilayah Papua. Peristiwa di sekitar 1 Desember 1961 inilah yang seringkali menjadi dasar klaim pemimpin Papua sekarang bahwa negara Papua pernah ada tetapi telah dirampas oleh konspirasi internasional Indonesia, Amerika dan Belanda.

Sejak 1960-an Nicolaas berjuang agar hak-hak orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa yang merdeka dihormati. Perjuangan itu sudah dilakukannya hingga 1969. Menurut Nicolaas, setelah 2/3 negara anggota dalam Sidang Umum PBB menerima hasil Pepera 1969, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Suka atau tidak suka, bangsa Papua telah menjadi bagian resmi dari negara-bangsa Indonesia. Baginya sekarang ini, dia harus menerima secara realistis keadaan ini dan menghabiskan sisa hidupnya untuk membantu pemerintah Indonesia menyejahterakan rakyat Papua.

Nicolaas Jouwe akan pindah dari Delft ke Jayapura. Dia sekarang sedang bersemangat. Dia yakin bisa menjadi seorang tua yang dapat membantu Gubernur atau pemerintah Indonesia pada umumnya untuk menyukseskan pembangunan, terutama kesejahteraan orang asli Papua di dalam kerangka Otonomi Khusus. Dari percakapan dua jam kami, Nicolaas memberikan kesan kuat bahwa dia sudah sangat pasti dengan keputusannya untuk kembali ke tanah kelahirannya dan menjadi warga negara Indonesia.

Foto 1: Nicolaas Jouwe di Bandara Schiphol Amsterdam pada 1961, sumber: http://geschiedenis.vpro.nl/artikelen/40143317/
Foto 2: Nicolaas Jouwe menerima Muridan Widjojo di rumahnya di Delft, 1 Desember 2009, sumber: Tri Astraatmadja, 2009)