
Pada Rabu 16 Desember 2009 dinihari menjelang pukul 3.00 Panglima TPN/OPM Kodap III Nemangkawi (Mimika) Kelly Kwalik (KK) mungkin sedang tidur pulas. Ia berada di sebuah rumah di kawasan yang disebut Gorong-gorong di pinggiran Timika. Kehadirannya rupanya sudah tercium oleh polisi. Pasukan Densus 88 menyerbu rumah tersebut dan menembak tewas KK yang sudah dicari-cari oleh aparat sejak puluhan tahun lalu. Lima orang yang bersamanya ditahan di Mako Brimob Timika.
Jenazahnya diotopsi di Jayapura dan disemayamkan di depan kantor DPRD Mimika pada 19 Januari 2009. Peti jenazahnya diselimuti bendera Bintang Kejora. Ratusan massa warga asal pegunungan, terutama Amungme, menyambutnya dengan kesedihan dan kemarahan yang mendalam. Di mata orang Papua, KK adalah pejuang OPM murni. Dia menjadi simbol perlawanan Papua yang liat, keras kepala, partikularistik, dan tak-ada-matinya meskipun berhadapan dengan ribuan letupan senjata selama umur konflik Papua sejak 1960an. Seorang Amungme mengatakan, “Masih akan banyak lagi Kwalik-Kwalik baru yang muncul...”
Media umumnya menggambarkan KK sebagai pemimpin OPM yang bertanggungjawab atas rentetan kekerasan di Mimika, terutama pada kasus penembakan di areal Freeport mile 62-63 pada 2002 dan pada kasus rentetan penembakan pada Juli 2009 yang baru lalu. Saya sendiri ragu apakah KK memang terlibat langsung pada kedua peristiwa tersebut. Kapolda Papua sebelumnya secara eksplisit mengatakan bahwa OPM khususnya kelompok KK tidak terlibat pada kasus yang terakhir. Klip video yang diputar oleh pihak Kodam XVII Trikora yang berisi pernyataan KK diduga stock shots tahun 2006.
KK tumbuh sebagai seorang Amungme yang dididik oleh pendidikan Katolik di Agimuga. Tempat ini merupakan pemukiman baru Amungme yang eksodus dari dataran tinggi di sekitar areal Freeport semacam Tsinga, Hoea, dan Noema pada sekitar 1958. Dari sini, KK meneruskan sekolah dan tamat SPG di Jayapura pada paruh kedua 1970an. Ketika gejolak politik 1977 meletus, KK baru bergabung dan berada di bawah komando pemimpin OPM Boni “Nayan” Niwilinggame. Sejak itu KK tumbuh menjadi gerilyawan Amungme terkemuka.

Sejak Konggres Papua II 2000 di Jayapura, perjuangan Papua merdeka diputuskan akan ditempuh dengan jalan damai atau dengan kata lain dialog. Rumor berkembang bahwa kelompok-kelompok OPM di hutan, termasuk KK, mendukung jalan damai dan tidak akan lagi menggunakan kekerasan. Pada tahun-tahun berikutnya, kekerasan akut di Papua ternyata tidak berhenti. Pelakunya biasanya adalah kelompok tak dikenal. Pihak negara, terutama militer biasanya cenderung menuduh OPM sebagai pelaku. Sebaliknya, pihak masyarakat Papua, terutama yang kritis terhadap pemerintah, cenderung mencurigai bahwa pelakunya adalah dari kalangan militer Indonesia. Tidak ada yang dapat dipastikan kecuali bahwa kekerasan tetap direproduksi. Seperti suatu siklus...

Beberapa bagian dominan dari Republik kita masih percaya penuh bahwa represi dan kekerasan negara dapat menyelesaikan konflik Papua atau setidaknya membuat orang Papua berhenti melawan negara. Buktinya selama 40 tahun terakhir paradigma ini terbukti gagal tanpa syarat. Kita Indonesia-termasuk-Papua dipaksa dan dijebak ke dalam siklus kekerasan di antara kita sendiri. Sejarah tak hentinya mencatat lembaran hitam Arnold Ap, Thomas Wanggai, Theys Eluay, Opinus Tabuni, dan banyak lagi. Kini kita tambah lagi dengan KK.
Kita akan mewarisi beban sejarah yang makin perih dan berat, sarat dengan dendam dan kebencian. Memoria Passionis...
Foto 1: Kelly berpidato pada 8/5/1996 di Mapnduma (Daniel Start, 1997)
Foto 2: Berdiri: Silas, KK, dan dua kawannya. Jongkok: Murip dan Yudas. (Ibid)
Foto 3: Salah seorang prajurit Kodap III OPM Menangkawi (Mimika)(Ibid)
No comments:
Post a Comment