Wednesday, February 10, 2010

Benny Wenda dan Seminar Pepera di Oxford

Pada 6 February 2010 sejarawan Belanda Pieter Drooglever meluncurkan buku tentang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 edisi Bahasa Inggris di Oxford. Peluncuran buku itu dirayakan dengan seminar sehari bertemakan “Justice and Self-Determination in West Papua” yang diselenggarakan oleh kelompok ilmuwan Oxford Transitional Justice Research di gedung Social Legal Studies Centre, Manor Road. Salah satu pembicaranya adalah Benny Wenda.

Selain Benny, pembicara yang tampil adalah Prof Pieter Drooglever (Institute of Netherlands History), Dr Albert Kersten (University of Leiden), Jos Marey (tokoh Papua di Belanda), Benny Wenda (Free West Papua Campaign England), Dr Charles Foster (University of Oxford), Dr Agus Sumule (Penasihat Gubernur Papua), Budi Hernawan (Australian National University Canberra), Jennifer Robinson (Sekretaris International Lawyers for West Papua) dan Dr Muridan Widjojo (LIPI Jakarta).

Pieter Drooglever dan Albert Kersten memaparkan detil percaturan politik di sekitar pembuatan New York Agreement 1962 dan Penentuan Pendapat Rakyat 1969.


Pieter Drooglever dan Albert Kersten memaparkan detil percaturan politik di sekitar pembuatan New York Agreement 1962 dan Penentuan Pendapat Rakyat 1969. Jos Marey dan Benny Wenda menampilkan sejarah Papua, tangisan dan penderitaan orang Papua, dan mimpi serta keyakinan orang Papua akan datangnya kemerdekaan Papua. Secara tegas, Benny menuntut referendum untuk menentukan masa depan rakyat Papua. Senada dengan Benny, tapi dengan argumentasi yang lebih teoretis, Charles Foster meyakini bahwa kemerdekaan Papua bisa diperoleh dengan cara mengajukan review Pepera ke PBB.

Budi Hernawan mengajukan topik penyiksaan dan logika di balik tindakan kekerasan aparat negara. Menurut Budi segala kekerasan, termasuk penyiksaan, dijustifikasi dan dilestarikan secara kuat oleh konstruksi penguasa tentang kedaulatan negara. Jennifer Robinson menguraikan hambatan dan bahkan kegagalan penegakan HAM di Papua. Agus Sumule mencoba menunjukkan wajah lain yang lebih optimis yakni hasil-hasil positif pelaksanaan Otsus Papua yang selama ini dianggap gagal. Saya sendiri mengungkapkan kebuntuan politik di Papua, kebutuhan akan pentingnya Dialog Papua-Jakarta, sekaligus menceritakan pengalaman mempersiapkan dialog Papua-Jakarta.

“kamu orang Indonesia tidak berhak bicara tentang orang Papua.”


Benny Wenda yang mendapat giliran bicara pada sesi kedua datang agak siang bersama rombongan sekitar 8 orang termasuk anak dan istrinya. Anak buahnya segera memasang foto-foto kekerasan, poster tuntutan referendum dan anti-Indonesia, dan tidak ketinggalan bendera Bintang Kejora. Salah satu anggotanya sibuk membuat rekaman foto dan video dari kegiatan hari itu. Benny tidak bergabung dengan pembicara lain di depan. Namun ketika mendapat giliran tampil, Benny maju ke depan dengan satu pengawal sebelah kanan memegang Bintang Kejora dan dua di sebelah kiri masing-masing memegang poster tuntutan referendum dan tolak Indonesia.

Pada saat Agus dan saya selesai berbicara, sesi pertanyaan dibuka. Selain para peserta lain, beberapa anak buah Benny Wenda angkat tangan. Dengan nada emosi mereka menyatakan bahwa mereka tidak percaya pada Indonesia. Sambil menunjuk saya dan Agus, seorang dari mereka mengatakan, “kamu orang Indonesia tidak berhak bicara tentang orang Papua.” Kepada Agus, mereka katakan bahwa Otsus adalah tipuan pemerintah Indonesia. Mereka juga marah kepada panitia yang ternyata mengundang orang Indonesia dan membahas Otsus. Mereka hanya mau mendengar pembahasan tentang review Pepera di PBB.

Selama ini, di Jaringan Papua Damai (JDP), dari 25 orang fasilitator, 22 fasilitator adalah para pemimpin muda terbaik orang asli Papua yang berasal dari berbagai faksi politik, berbagai denominasi Gereja, berbagai LSM, dan termasuk organisasi Muslim Papua.


Kepada saya dikatakan bahwa gara-gara tipuan ajakan dialog, Kelly Kwalik telah dibunuh oleh aparat Indonesia. Pada saat saya menjawab, saya hanya katakan bahwa upaya dialog adalah kehendak sebagian besar rakyat dan pemimpin Papua. Selama ini, di Jaringan Papua Damai (JDP), dari 25 orang fasilitator, 22 fasilitator adalah para pemimpin muda terbaik orang asli Papua yang berasal dari berbagai faksi politik, berbagai denominasi Gereja, berbagai LSM, dan termasuk organisasi Muslim Papua. Kami peneliti, dosen dan aktivis Papua lainnya hanyalah fasilitator yang membantu mempersiapkan dialog Papua-Jakarta.

...upaya dialog adalah kehendak sebagian besar rakyat dan pemimpin Papua.


Seusai acara, kami minum kopi atau anggur bersama dengan peserta dan penyelenggara. Benny tidak berbaur dengan peserta lain. Sebelumnya saya berharap bisa berbicara dengan Benny Wenda. Bahkan saya sudah menitipkan pesan ke beberapa orang terhormat dari Belanda dan Inggris untuk membantu saya memberitahu Benny agar mau berbicara dengan saya. Tapi dari orang-orang itu dikatakan bahwa Benny tidak memberikan respons positif. Oleh karena itu saya tidak memaksakan diri untuk berbicara dengannya. Dengan anak buah Benny yang sudah kenal saya, di antaranya Oridek Ap (anak Arnold Ap) dari Belanda, saya sempat bersalaman.

Setelah tiba kembali ke Jakarta, saya membaca pernyataan kelompok Benny Wenda yang memasang video rekaman mereka di internet. Demikian pernyataannya, “Video ini, menunjukkan bagaimana agen NKRI (Mudiran, Agus Sumule, Budi Hermawan, dkk) dipermalukan dalam seminar kemarin lalu. Team Dialog dan "Road Map Papua" ternyata tidak dapat bernafas lega karena mendapat perlawanan yang sangat serius dari Free West Papua Campaign UK. Mereka pulang dengan tidak terhormat karena penipuan mereka telah diketahui oleh peserta seminar yang sangat mengerti sekali atas kejahatan NKRI yang selama ini sedang terjadi di Papua.”

Masalah Papua bukan masalah rasial, ini masalah kemanusiaan
.


Pernyataan di atas ditanggapi dengan serius oleh mantan wartawan Kompas Octavianus Mote yang sekarang bermukim di AS. Mote menganggap pernyataan tersebut rasialis dan tidak rasional. Selanjutnya dia membela Budi Hernawan. “Bruder Budi adalah pekerja kemanusian sudah membuktikan diri membela kemanusian dan bukan macam engkau yang menyebarkan fitnah emosional tanpa dasar. Masalah Papua bukan masalah rasial, ini masalah kemanusian. Dia seorang rohaniawan katolik yang tidak akan membiarkan dombanya dibantai...”

Tentang Agus Sumule dia katakan, “Agus Sumule adalah seorang Dosen Universitas Negeri Cendrawasih yang sudah diangkat sebagai anak negeri Papua. Karya pengabdiannya bukan saja terbukti dari mereka yang dia ajar, tetapi begitu banyak tulisan yang muncul di koran dan buku. Kalau saudara tidak rasialis, saudara akan tahu mengakui kebenaran, Agus adalah seorang guru yang sekalipun secara etnis nampak bukan papua tapi dia besar di Enarotali, makan nota bersama orang Mee dan selama ini menjadi suara orang papua.”

As co-organizer of the meeting I feel obliged to apologise for the incident. It is being made even worse by the phantastic public utterings now being distributed by their organization.


Prof Pieter Drooglever nampaknya juga merasa tidak nyaman dengan perilaku anak buah Benny Wenda dan tulisan yang disebar di internet oleh Free West Papua Campaign UK yang menjelekkan para pembicara dalam seminar tersebut. Oleh karena itu dia mengirim email kepada Agus Sumule, Budi Hernawan, dan saya sendiri untuk meminta maaf. Demikian kutipan tulisan beliau, “Though one may understand the feelings they gave vent to, one certainly cannot approve the way they did, especially so by their completely unjustified and simply insulting personal attacks. As co-organizer of the meeting I feel obliged to apologise for the incident. It is being made even worse by the phantastic public utterings now being distributed by their organization.”

Dari pengalaman ini saya sebagai fasilitator Jaringan Damai Papua (JDP) berharap kepada saudara-saudara Papua, terlepas apa pun aspirasi politik kita, janganlah merendahkan upaya untuk berdialog. Mau perang, referendum, merdeka atau pun otsus di dalam NKRI,pada akhirnya harus diakhiri dengan dialog untuk penyelesaian masalah bersama. Sebaiknya sikap yang rasialis dan menggeneralisasi kebencian pada kelompok tertentu dapat diakhiri. Dengan dialog lah penyelesaian konflik dan perbedaan kepentingan dapat dicapai dengan tetap menjaga martabat dan kehormatan masing-masing. Kita semua, termasuk Benny Wenda dan kawan-kawan, dapat belajar dari pengalaman di Oxford untuk saling menghormati.

Keterangan foto:
Atas: Sampul buku karya Pieter Drooglever
Tengah: Pembicara Sesi I Dr Albert Kersten, Prof Pieter Drooglever, dan moderator Prof Anne Booth
Tengah: Benny Wenda sedang membacakan pernyataan politik
Bawah: Di halaman Brasenose College Oxford, Dr Agus Sumule, Muridan Widjojo, dan Budi Hernawan