Pada 10 Juni 2009 Jayapura benar-benar bergairah untuk berpesta. Kostum merah hitam dengan macam-macam variasi mendominasi. Suara terompet dan klakson mobil membahana di sepanjang jalan menuju stadion Mandala. Jalan menuju Dok IX sudah ditutup untuk mobil. Perempuan, laki-laki, tua-muda, papua-pendatang, Islam-Kristen semuanya berbondong-bondong menyaksikan peristiwa bersejarah pemberian piala juara Liga Super Indonesia (LSI) 2009 yang menandai supremasi tim Persipura kesayangan masyarakat Papua.
Pada pukul 13.00 waktu Papua waktu itu saya masih mewawancarai Wakil Gubernur Papua Alex Hesegem dengan didampingi Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Agus Alua. Wawancara tidak berlangsung lama karena hati dan pikiran kami sudah tertuju pada pertandingan Persipura melawan Sriwijaya FC. Kebanggaan pada tim Persipura tidak hanya milik warga umum tetapi juga milik hampir semua pejabat di Papua.
Alex Hesegem dan Agus Alua bersama-sama menuju stadion dengan pengawalan voorrijder. Saya memilih untuk bergabung dengan rombongan ALDP yang terdiri dari Pater John Jonga, Anum Siregar, Fadhal Alhamid, dan Asmirah. Ketika saya masuk stadion jam 15.00, semua tempat duduk sudah penuh. Warga yang tidak bertiket tetap diijinkan masuk stadion setelah semua pemilik tiket sudah masuk.
Pertandingan baru akan mulai jam 17.00 tetapi semua sudut stadion sudah penuh beberapa jam sebelumnya. Untuk mengendalikan perhatian massa di dalam, disajikan berbagai tarian massal yosfan, hiburan pesawat ringan yang berputar-putar di stadion, dan atraksi lainnya. Teriakan histeris bahagia merata di seluruh sudut. Nyanyian dan atraksi dari tribun "Liverpool" mengaduk-aduk adrenalin penonton. Ditambah lagi aksi Komandan Persipura Mania di tengah-tengah penonton yang mengundang tawa.
Pesta hari itu menjadi sempurna karena Persipura menunjukkan permainan cepat, agresif dan indah. Persipura mengalahkan Sriwijaya FC dengan angka telak 4-1. Gol dibuat oleh Beto, Jeremiah, dan dua kali oleh Boaz. Beto dan Jeremiah adalah pemain asing. Sedangkan Boaz adalah putra asli Papua yang pada saat itu jumlah gol yang telah dicetaknya menyamai top scorer Gonzales dari Persib. Tidak ada yang lebih membahagiakan warga Papua daripada prestasi ini. Selain hadiah piala dan uang sejumlah dua milyar, para pemain Persipura kebanjiran hadiah dari berbagai lapisan masyarakat lainnya untuk menunjukkan rasa bangga dan dukungan mereka.
Pada hari-hari berikutnya, saya masih mendengar orang berdiskusi tentang Persipura, tentang pertandingan Piala Copa yang akan datang, tentang lawatan tim Manchester United, tentang Boaz yang akan dibeli oleh Persija seharga Rp 1,5 milyar, tentang banyak hal hingga bagian pribadi para pemain sampai dengan kebencian orang pada Ketua PSSI Nurdin Halid. Persipura menjadi percakapan yang menarik bagi semua orang, melampaui rumor tentang Manohara dan berita Siti Hajar TKI korban penganiayaan di Malaysia.
Pesta dan upacara rakyat Republik Persipura ini benar-benar menjadi oase bagi kebanyakan rakyat Papua yang sudah frustasi dengan kebuntuan Otsus. Persipura itu seperti cermin dan ikon sekaligus. Di dalam fenomena Persipura ada keyakinan bahwa orang asli Papua memiliki keunggulan. Ada penanda bahwa orang asli Papua telah menunjukkan supremasi. Ada kebersamaan mengatasi dikotomi papua-pendatang karena di dalamnya ada pemain asli Papua, pendatang, dan bahkan pemain asing. Di dalam fenomena itu orang asli Papua membuktikan sukses dalam arena yang mengunggulkan fairness dan sportivitas. Dua hal terakhir ini tidak dapat ditemukan oleh orang Papua dalam ‘pertandingan’ arena kebijakan Otsus.
Persipura menjadi pelopor dalam mengawali Papua Baru.
(Foto 1: Suasana di Stadion Mandala, 10 Juni 2009 oleh Anum Siregar; Foto 2: Poster yang dibuat oleh Thaha Alhamid untuk mendukung Persipura, Juni 2009, oleh Muridan Widjojo)
Sunday, June 14, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment