Monday, August 17, 2009

Kekerasan Freeport: Pertaruhan Kredibilitas Pemerintah RI (2)


Kasus penembakan di wilayah Freeport masih jauh dari selesai meskipun penyelidikan sudah berlangsung lebih dari satu bulan, terhitung sejak penembakan pertama 11 Juli 2009. Pada 16 Agustus 2009, di tengah upaya polisi mengejar para pelakunya, penembakan kembali terjadi di wilayah Freeport. Lima karyawan yang sedang menumpang bus Freeport terluka.

Apakah aparat keamanan kita tidak mampu memulihkan keamanan di Freeport? Sejak berlarutnya penembakan beberapa minggu lalu, polisi yang sudah dibantu oleh Detasemen Khusus 88 diperkuat pula oleh pasukan bantuan dari TNI AD. Diperkirakan di sana sudah ada sekitar 1000 orang polisi dan prajurit TNI. Kenyataannya setelah lebih dari sebulan, pelaku tetap berani melakukan aksi dan aparat keamanan kita belum berhasil menangkap mereka.

Gangguan keamanan ini mengancam wibawa dan kredibilitas pemerintah Indonesia. Jika operasi gabungan polisi dan TNI saja tidak berhasil menghentikan penyerangan ini, itu berarti pihak pelaku memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan polisi dan TNI. Penangkapan sejumlah orang Amungme terbukti tidak berpengaruh pada penghentian aksi penembakan. Kapolri dan Panglima TNI seharusnya mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk mengakhiri gangguan keamanan ini dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Berlarutnya gangguan keamanan terhadap operasi tambang tembaga dan emas Freeport, pada satu sisi, membuat pihak Freeport merasa sangat dirugikan. Para manajer Freeport mulai gelisah dan mempertanyakan kemampuan dan efektifitas pengamanan oleh polisi. Tetapi di sisi lain, Freeport seharusnya juga meninjau kembali pola hubungan perusahaan itu dengan institusi keamanan yang selama ini terbangun.

Akibat lebih jauh dari kasus penembakan Freeport adalah tindakan yang mungkin dilakukan oleh pemerintah Australia dan Amerika Serikat (AS). Pihak Australia kehilangan nyawa satu warganya. Pihak AS tentu juga terganggu dengan situasi yang mengancam keamanan para warga AS yang bekerja di sana dan yang terutama juga mengancam keamanan investasi Freeport.

Jika saja kelambanan penanganan kasus Freeport memang betul karena kehebatan di pihak penyerang dan keterbatasan kemampuan di pihak polisi, kedua pemerintah negara tersebut tentu berkepentingan untuk “membantu” investigasi. Tetapi sejak awal upaya membantu secara teknis itu mendapatkan reaksi negatif dari kalangan nasionalis Indonesia yang tersinggung karena “kedaulatan” Indonesia dilanggar. Sikap tertutup kaum nasionalis ini akan semakin membuat banyak kalangan frustrasi.

Kelambanan penyelidikan dan ketidakpastian penyelesaian hukumnya bisa membuat pihak Australia kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah Indonesia dalam menegakkan hukum dan memberikan jaminan keamanan investasi. Yang menjadi lebih bahaya adalah jika kedua pemerintah negara tersebut mempercayai bahwa terdapat indikasi unsur aparat keamanan terlibat di dalamnya dan pemerintah Indonesia dianggap membiarkannya.

Tindakan balasan yang mungkin dilakukan adalah dengan menaikkan intensitas internasionalisasi masalah Papua melalui kelompok-kelompok non-pemerintah yang selama ini aktif membuat kampanye mendukung gerakan kemerdekaan Papua. Cara ini jelas efektif mengingat sensitifitas pemerintah Indonesia dalam kasus ini. Dalam kasus-kasus sebelumnya, sangat mudah “memeras” pemerintah Indonesia melalui isu-isu kemerdekaan Papua.

Ironisnya, Papua dan ancaman disintegrasinya secara nyata belumlah dianggap serius oleh pemerintah pusat. Apalagi soal keamanan di Freeport yang selama ini menjadi komoditi banyak pihak di Jakarta maupun di Papua. Ketidakseriusan itu setidaknya jelas terlihat dalam pidato Presiden SBY menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus 2009. Menurut analisis Kompas, tidak ada satu pun kata papua disebut di dalamnya, jangan harap membahasnya.

Kalau pemerintah Indonesia, dengan aparat keamanan yang ada sekarang, merasa tidak mampu menyelesaikan ancaman keamanan di wilayah Freeport, seharusnya bisa mengembangkan kerjasama dengan pihak pemerintah AS dan Australia untuk setidaknya bantuan teknis.

Yang paling mengerikan adalah jika kredibilitas pemerintah Indonesia dan kepentingan nasional yang lebih besar di Papua dikorbankan demi melindungi kelompok tertentu karena kepentingan yang sama dan solidaritas korps di kalangan aparat keamanan atau pun angkatan bersenjata. Jika itu yang terjadi, kita semakin yakin bahwa paradigma separatisme dan siklus kekerasan di Papua memang sedang dirawat.

(Foto: Pengamanan PT Freeport Diperketat. Gambar diunduh dari http://www.jakartapress.com pada 17 Agustus 2009)

No comments: