Friday, April 10, 2009

Gerakan Mahasiswa dan Pemilu di Papua


Menjelang Pemilu legislatif 9 April 2009, Tanah Papua digoyang oleh sejumlah peristiwa yang menarik perhatian media nasional. Diawali dengan penggerebekan kantor Dewan Adat Papua (DAP) di Jayapura pada 3 April 2009. Setelah itu Nabire menyusul rusuh pada 6 April. Pada 8 April penyerangan lima tukang ojek pendatang, tiga di antaranya tewas. Tidak berhenti di situ, pada hari H Pemilu, Polsek Abepura diserang oleh massa sekitar 75 orang dan 1 orang tewas. Gedung rektorat Universitas Cenderawasih pun dibakar. Lebih parah lagi, ada upaya pemboman jembatan Muara Tami, dekat perbatasan Indonesia-Papua Nugini.

Lapisan baru kelompok perlawanan ini dapat dikatakan militan. Mereka terdiri dari dan dipimpin sebagian besar oleh mahasiswa Papua asal pegunungan tengah baik yang berstatus mahasiswa di Papua maupun di luar Papua. Strategi aksinya mengutamakan demonstrasi dan serangan fisik jika diperlukan. Pola-pola aksi dan bahasa politiknya banyak dipengaruhi oleh Gerakan Mahasiswa (GM) 1998 dari kelompok militan. Dalam demo, kelompok ini tidak ragu-ragu untuk berbenturan dengan dan bahkan menyerang aparat keamanan. Bedanya dengan GM 1998, kelompok ini jelas-jelas mengusung agenda kemerdekaan Papua.

Dibandingkan dengan kelompok konvensional pro-kemerdekaan Papua, misalnya gerilyawan Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Presidium Dewan Papua (PDP), atau kelompok lainnya di luar negeri, kelompok ini memiliki “kelebihan”. Koordinasi aksinya sangat cepat, terpadu, dinamis, dan jangkauannya sangat luas. Koordinasi internasional, nasional, dan regional berlangsung terpadu dan serentak. Penggunaan teknologi komunikasi, seperti SMS, internet (email, website) sangat intensif. Kampanye dilakukan dengan agresif. Mereka memadukan strategi gerakan mahasiswa perkotaan dengan strategi gerilyawan OPM.

Jika kekerasan GM 98 dilakukan secara selektif dalam konteks Rezim Orde Baru dengan aparatnya yang masih beringas dan opresif, kekerasan kelompok Papua ini dilakukan pada saat polisi cenderung lebih persuasif. Bahkan di TV nasional kita melihat seorang mahasiswa Papua di Yogya memukul polisi dan yang lain memanah tanpa alasan jelas. Pengeboman jembatan Muara Tami juga tidak efektif secara politis, malah membuat mereka akan dilabel “teroris”. Yang terburuk dan tidak simpatik adalah pembakaran kantor rektorat Uncen. Kekerasan-kekerasan ini tidak bernilai politis dan justru membuat gerakan itu tidak mendapatkan dukungan publik di Papua, Indonesia, apalagi internasional.

Massa yang biasanya digerakkan biasanya kalangan pemuda atau mahasiswa yang sebagian besarnya adalah berasal dari daerah pegunungan, beberapa saja berasal dari daerah dataran rendah atau pantai Tanah Papua. Dugaan saya, massa yang militan ini lahir setelah Gejolak Sosial 1977 di Pegunungan Tengah dan memiliki memori kolektif buruk tentang kekerasan negara dan cenderung anti-pemerintah. Mereka tumbuh dengan ingatan kekerasan itu sehingga di dalam dirinya tumbuh identitas korban dan diliputi oleh dendam. Di tengah massa semacam ini, provokasi kekerasan dari siapa pun mudah dilakukan dan sulit dikendalikan.

Kelompok ini menganggap sebagian besar pemimpin Papua adalah pengkhianat rakyat Papua. Pemimpin-pemimpin seperti Theys Eluay, Tom Beanal, Otto Ondawame, Jacob Rumbiak, Nicholaas Jouwe, dan lain-lain dikritik keras. Bahkan Sekjen PDP Thaha Muhammad Alhamid yang dikenal aktif dan diplomatis dalam perjuangannya, pun kadang-kadang dikecam. Yang menjadi kekecualian adalah aktivis Papua Merdeka Benny Wenda yang lari ke Oxford Inggris. Lelaki asal Kabupaten Jayawijaya ini lebih banyak dipuji sebagai pemimpin yang konsisten berjuang, terutama setelah berhasil membuat Internastional Parliamentarians for West Papua (IPWP) dan International Lawyers for West Papua (ILWP). Sebagaimana karakter kepemimpinan Papua, kelompok ini cenderung sangat otonom dari para pemimpin Papua yang lain.

Menonjolnya pemimpin mahasiswa Papua dari kalangan Pegunungan Tengah bukanlah perkembangan yang terpisah dari perubahan-perubahan di Papua. Tidak hanya gerakan mahasiswa pro-merdeka yang tumbuh, di sektor pendidikan dan politik formal, juga terjadi peningkatan partisipasi orang asli Papua asal Pegunungan Tengah. Perkembangan ini dapat dikaitkan dengan jumlah penduduk asli pegunungan yang paling besar di lingkungan penduduk asli Papua. Sebagian besar dari mereka masih miskin tetapi memiliki daya juang paling tinggi. Mereka sejak akhir 1980-an bermigrasi ke kota-kota di Tanah Papua, misalnya ke Jayapura, Timika, Nabire, dan lain-lain. Banyak dari mereka kemudian meningkatkan kualitas pendidikannya. Tidak hanya kuliah di Jayapura dan Manokwari, tetapi juga di luar Tanah Papua seperti Manado, Makassar, Semarang, Jakarta, Yogyakarta, dan lain-lain. Secara umum, memang sedang terjadi kebangkitan orang asli Papua asal pegunungan, apalagi pada lima hingga sepuluh tahun mendatang.

Insiden sekitar Pemilu di Tanah Papua tentu tidak signifikan untuk mengguncang Indonesia yang begitu luas wilayahnya dan begitu besar penduduknya. Tetapi perlu dicatat bahwa 1) orang pegunungan akan menjadi dominan di dalam perpolitikan di Papua tidak lama lagi; 2) bahwa masih ada akar masalah yang belum dituntaskan antara Jakarta dan Papua sehingga muncul kelompok baru perlawanan melawan pemerintah seperti yang sekarang ini muncul...
(Foto: Suasana menjelang Pemilu Legislatif di Kaimana, Papua)

Saturday, April 04, 2009

Seminar Pemilu dan Marjinalisasi orang Papua di Kaimana


Pada 28 Maret 2009 yang lalu diadakan pelantikan Pengurus Majelis Muslim Papua (MMP) wilayah Kaimana. Untuk memeriahkan acara tersebut, panitia juga menyelenggarakan seminar sehari dengan tema “Pemilu dan Demokrasi di Papua”. Untuk acara ini diundanglah dua ahli politik dari LIPI, yaitu Prof Dr Syamsudin Haris dan Prof Dr Ikrar Nusa Bhakti. Selain mereka berbicara pula Amiruddin al Rahab (Elsam Jakarta), Anum Siregar (Sekjen MMP dan direktur ALDP Jayapura), Moh Thaha Alhamid (Sekjen Presidium Dewan Papua) dan saya sendiri.

Pada pagi hari acara pelantikan dilakukan hingga jam 11.00 setelah itu langsung dilanjutkan dengan seminar. Haris berbicara tentang pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan segala persoalannya. Tema ini ditanggapi oleh Ikrar, Anum, dan Amiruddin. Sedangkan saya sendiri mengangkat tema hubungan pemilu dengan perbaikan masalah mendasar Papua dalam hal pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan marjinalisasi orang asli Papua. Tema ini juga ditanggapi oleh Thaha yang berbicara panjang tentang problem pemilu di papua dan pembangunan di masa Otsus.

Tanggapan kalangan pimpinan di Kaimana sangat positif. Bupati, Kapolres, dan Dandim Kaimana mengikuti acara dari awal hingga akhir. Tidak ketinggalan pula Ketua DPRD Kabupaten Kaimana dan anggota-anggota DPRD yang lain. Sekretaris Daerah Kabupaten Kaimana sendiri bertindak sebagai moderator seminar. Di tengah-tengah hadirin saya menyaksikan Ketua Bappeda dan pejabat penting kabupaten. Menariknya semuanya mengikuti acara dari awal hingga penutupan yang dilakukan oleh Bupati Kaimana Hasan Achmad Aituarauw. Ini menarik karena menurut pengalaman saya di Jayapura, para pejabat pemerintah daerah biasanya tidak tertarik mengikuti diskusi seminar. Biasanya mereka hadir pada pembukaan saja dan kemudian menghilang dengan kesibukan masing-masing.

Pertanyaan dan komentar yang muncul dari peserta sangat antusias. Thaha Alhamid mengungkapkan persoalan Daftar Pemilih Tetap yang jumlahnya sama dengan jumlah penduduk di seluruh Tanah Papua yaitu sekitar tiga juta jiwa. Ini berarti ada kesalahan serius dalam pendataannya. Melihat persiapan yang ada di Papua, Thaha mengkhawatirkan konflik-konflik yang akan muncul setelah pemilu digelar dan penghitungan suara dimulai. Thaha menyayangkan bahwa tidak ada pihak yang sungguh-sungguh mempersoalkannya dari awal tapi nanti kalau merasa dirugikan baru mulai protes dan membuat keributan.

Tema marjinalisasi orang asli Papua juga mendapatkan perhatian besar dari peserta. Thaha Alhamid membacakan surat dan mengeritik pernyataan dari pimpinan adat di Kaimana yang menuntut bahwa hasil pemilu legislatif di Kaimana harus seratus persen diberikan kepada putra daerah asli Kaimana. Menurutnya, tuntutan ini tidak masuk akal. Pemilu menurutnya harus demokratis dan tidak mempersoalkan putra daerah atau bukan. Yang terpenting baginya adalah kapasitas dan komitmen caleg-caleg yang terpilih untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Saya sendiri menyampaikan kritik secara umum terhadap pertanyaan mengenai apakah mungkin marjinalisasi diatasi dan apakah mungkin Papua memisahkan diri dari Republik Indonesia. Untuk pertanyaan ini, saya mengatakan bahwa apa pun aspirasi dan tujuan politik setiap warga negara sah-sah saja untuk dinyatakan. Yang terpenting setiap aspirasi dan cita-cita yang dianggap baik harus diperjuangkan bersama-sama dengan cara damai dan demokratis. Setiap orang harus bekerja, berorganisasi, dan mengembangkan agenda dan melakukan kerja-kerja politik yang konkrit. Bukan hanya dengan demo dan tuntutan verbal.

Acara berlangsung hingga pukul 17.00 dan ditutup oleh Bupati Hasan Achmad. Menariknya, Bupati membuat pidato penutupan dengan sangat teratur. Tanpa disadari beliau sebenarnya membuat catatan seminar yang komprehensif. Tema-tema yang muncul selama seminar dibahasnya dengan cerdas dan runtut. Dia menunjukkan kepada hadirin bahwa pemerintah Kabupaten Kaimana dengan segala keterbatasannya telah melakukan banyak hal untuk menjawab persoalan-persoalan mendasar seperti masalah pendidikan dasar, pelayanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan secara marjinalisasi orang asli Papua.
(Foto: Bupati Kaimana Hasan Achmad Aituarauw, oleh Muridan Widjojo/Jafar Werfete, 2009)