
Menjelang Pemilu legislatif 9 April 2009, Tanah Papua digoyang oleh sejumlah peristiwa yang menarik perhatian media nasional. Diawali dengan penggerebekan kantor Dewan Adat Papua (DAP) di Jayapura pada 3 April 2009. Setelah itu Nabire menyusul rusuh pada 6 April. Pada 8 April penyerangan lima tukang ojek pendatang, tiga di antaranya tewas. Tidak berhenti di situ, pada hari H Pemilu, Polsek Abepura diserang oleh massa sekitar 75 orang dan 1 orang tewas. Gedung rektorat Universitas Cenderawasih pun dibakar. Lebih parah lagi, ada upaya pemboman jembatan Muara Tami, dekat perbatasan Indonesia-Papua Nugini.
Lapisan baru kelompok perlawanan ini dapat dikatakan militan. Mereka terdiri dari dan dipimpin sebagian besar oleh mahasiswa Papua asal pegunungan tengah baik yang berstatus mahasiswa di Papua maupun di luar Papua. Strategi aksinya mengutamakan demonstrasi dan serangan fisik jika diperlukan. Pola-pola aksi dan bahasa politiknya banyak dipengaruhi oleh Gerakan Mahasiswa (GM) 1998 dari kelompok militan. Dalam demo, kelompok ini tidak ragu-ragu untuk berbenturan dengan dan bahkan menyerang aparat keamanan. Bedanya dengan GM 1998, kelompok ini jelas-jelas mengusung agenda kemerdekaan Papua.
Dibandingkan dengan kelompok konvensional pro-kemerdekaan Papua, misalnya gerilyawan Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Presidium Dewan Papua (PDP), atau kelompok lainnya di luar negeri, kelompok ini memiliki “kelebihan”. Koordinasi aksinya sangat cepat, terpadu, dinamis, dan jangkauannya sangat luas. Koordinasi internasional, nasional, dan regional berlangsung terpadu dan serentak. Penggunaan teknologi komunikasi, seperti SMS, internet (email, website) sangat intensif. Kampanye dilakukan dengan agresif. Mereka memadukan strategi gerakan mahasiswa perkotaan dengan strategi gerilyawan OPM.
Jika kekerasan GM 98 dilakukan secara selektif dalam konteks Rezim Orde Baru dengan aparatnya yang masih beringas dan opresif, kekerasan kelompok Papua ini dilakukan pada saat polisi cenderung lebih persuasif. Bahkan di TV nasional kita melihat seorang mahasiswa Papua di Yogya memukul polisi dan yang lain memanah tanpa alasan jelas. Pengeboman jembatan Muara Tami juga tidak efektif secara politis, malah membuat mereka akan dilabel “teroris”. Yang terburuk dan tidak simpatik adalah pembakaran kantor rektorat Uncen. Kekerasan-kekerasan ini tidak bernilai politis dan justru membuat gerakan itu tidak mendapatkan dukungan publik di Papua, Indonesia, apalagi internasional.
Massa yang biasanya digerakkan biasanya kalangan pemuda atau mahasiswa yang sebagian besarnya adalah berasal dari daerah pegunungan, beberapa saja berasal dari daerah dataran rendah atau pantai Tanah Papua. Dugaan saya, massa yang militan ini lahir setelah Gejolak Sosial 1977 di Pegunungan Tengah dan memiliki memori kolektif buruk tentang kekerasan negara dan cenderung anti-pemerintah. Mereka tumbuh dengan ingatan kekerasan itu sehingga di dalam dirinya tumbuh identitas korban dan diliputi oleh dendam. Di tengah massa semacam ini, provokasi kekerasan dari siapa pun mudah dilakukan dan sulit dikendalikan.
Kelompok ini menganggap sebagian besar pemimpin Papua adalah pengkhianat rakyat Papua. Pemimpin-pemimpin seperti Theys Eluay, Tom Beanal, Otto Ondawame, Jacob Rumbiak, Nicholaas Jouwe, dan lain-lain dikritik keras. Bahkan Sekjen PDP Thaha Muhammad Alhamid yang dikenal aktif dan diplomatis dalam perjuangannya, pun kadang-kadang dikecam. Yang menjadi kekecualian adalah aktivis Papua Merdeka Benny Wenda yang lari ke Oxford Inggris. Lelaki asal Kabupaten Jayawijaya ini lebih banyak dipuji sebagai pemimpin yang konsisten berjuang, terutama setelah berhasil membuat Internastional Parliamentarians for West Papua (IPWP) dan International Lawyers for West Papua (ILWP). Sebagaimana karakter kepemimpinan Papua, kelompok ini cenderung sangat otonom dari para pemimpin Papua yang lain.
Menonjolnya pemimpin mahasiswa Papua dari kalangan Pegunungan Tengah bukanlah perkembangan yang terpisah dari perubahan-perubahan di Papua. Tidak hanya gerakan mahasiswa pro-merdeka yang tumbuh, di sektor pendidikan dan politik formal, juga terjadi peningkatan partisipasi orang asli Papua asal Pegunungan Tengah. Perkembangan ini dapat dikaitkan dengan jumlah penduduk asli pegunungan yang paling besar di lingkungan penduduk asli Papua. Sebagian besar dari mereka masih miskin tetapi memiliki daya juang paling tinggi. Mereka sejak akhir 1980-an bermigrasi ke kota-kota di Tanah Papua, misalnya ke Jayapura, Timika, Nabire, dan lain-lain. Banyak dari mereka kemudian meningkatkan kualitas pendidikannya. Tidak hanya kuliah di Jayapura dan Manokwari, tetapi juga di luar Tanah Papua seperti Manado, Makassar, Semarang, Jakarta, Yogyakarta, dan lain-lain. Secara umum, memang sedang terjadi kebangkitan orang asli Papua asal pegunungan, apalagi pada lima hingga sepuluh tahun mendatang.
Insiden sekitar Pemilu di Tanah Papua tentu tidak signifikan untuk mengguncang Indonesia yang begitu luas wilayahnya dan begitu besar penduduknya. Tetapi perlu dicatat bahwa 1) orang pegunungan akan menjadi dominan di dalam perpolitikan di Papua tidak lama lagi; 2) bahwa masih ada akar masalah yang belum dituntaskan antara Jakarta dan Papua sehingga muncul kelompok baru perlawanan melawan pemerintah seperti yang sekarang ini muncul...
(Foto: Suasana menjelang Pemilu Legislatif di Kaimana, Papua)