Monday, October 13, 2008

Mudik Lebaran bersama Anak-anak Papua


Masih ingat kisah Yerry Wetapo (14 tahun) asal Wamena yang saya tulis di blog ini sebelumnya? Sekarang dia sudah kelas VIII di SMP Mardi Yuwana Cipanas. Dia tidak lagi sendirian. “Adik” barunya dari Timika, namanya Chris Deikme (12 tahun), saya kirim ke sekolah yang sama. Tidak jelas mengapa, saya kian menikmati urus anak-anak ini, seperti anak kandung. Semakin lama ikatan hati-pikiran terus menguat. Pada lebaran yang baru saja lewat, Yerry dan Chris bergabung dalam rombongan mudik kami ke Surabaya, Tulungagung, Magelang, Kedu, dan Semarang. Dari Jakarta, saya mengendarai Xenia membawa Yerry, Chris, 2 anak kandung kami sendiri (Galih 11 tahun dan Naiya 2,5 tahun) dan ibunya (Riella).

Perjalanan dimulai pada 27 September subuh menuju Magelang. Jalan ramai tapi lancar. Kami tiba di Magelang malam dan menginap di rumah ibu Riella. Keesokan harinya, pukul 5 pagi, 28 September kami menikmati perjalanan ke Tulungagung, Jawa Timur, menengok nenek yang sudah 80-an tahun. Setelah beberapa jam di sana, kami menempuh 3 jam ke Surabaya ke rumah orang tua. Selama tiga hari kami menikmati suasana lebaran bersama keluarga. Kami sempat mengunjungi kebun binatang dan menonton film Laskar Pelangi. Pada H+2 lebaran, kami menuju Magelang. Route Mojokerto-Ngawi padat merayap. Kami baru tiba di Magelang dengan waktu tempuh 14 jam. Setelah dua hari di Magelang, kami melanjutkan perjalanan ke Kedu menengok nenek Riella, ke Semarang menengok ipar Riella yang menderita kanker hati. Sebelum meninggalkan Semarang menuju Jakarta, kami sempat menikmati sea food di Restoran Kampung Nelayan di pinggir laut.

Ketika mampir di Candi Prambanan pada 28 September pagi hari, Galih, Yerry dan Chris tampak antusias membaca dengan seksama info yang dipasang di sekitar Candi. Mereka berdiskusi tentang umur candi yang sudah 1000 tahun lebih, membayangkan cara membangunnya pada masa itu, dan mengagumi para arkeolog yang merekonstruksinya pada abad XIX. Saya dan Riella, sambil bermain dengan si kecil Naiya di halaman candi, bangga melihat keasyikan ketiga anak kami. Dengan takjub, mereka mengamati sudut-sudut candi sambil menyesalkan terjadinya gempa yang merusaknya beberapa tahun lalu. Ketika Naiya tertarik pada lebatnya buah jambu air, Chris dengan tangkas memanjat pohonnya dan memetik buahnya untuk Naiya. Kami semua terkesima dengan kecepatan Chris memanjat pohon, bergerak dari satu batang ke batang lainnya.

Saat mengunjungi kebun binatang Surabaya, saya bersama anak-anak termasuk para kemenakan sebanyak 12 orang. Semuanya dengan cara masing-masing, mengamati berbagai jenis burung, monyet, ular, ikan, buaya, jerapah sambil menikmati suasana yang hijau dan teduh. Mengharukan bahwa Yerry dan Chris terlihat akrab dengan anak-anak kami lainnya. Mereka bermain, saling menggoda dan melucu, berbagi makanan, cerita, dan berfoto bersama. Yerry membantu dan melindungi saudara-saudara barunya yang lebih kecil. Khusus Chris yang lebih pendiam, dia nampak lebih telaten bersama Naiya yang cerewet dan aktif. Chris selalu sabar mengikuti kemauan Naiya, menjaganya agar tidak terjatuh saat berlari atau bermain. Saat meninggalkan kebun binatang, di dalam mobil anak-anak riuh bercerita pengalaman mereka yang baru lalu...

Film Laskar Pelangi mewarnai lebaran kami juga. Kali ini saya membawa 9 anak ke Teater 21 di Galaksi Mall Surabaya. Syukur kami dapat tiket meskipun duduknya di deretan nomor dua dari depan. Film yang menyedot 1,5 juta penonton dalam 2 minggu ini benar-benar memukau. Keseriusan pak guru, dedikasi bu guru, kelucuan dan kegigihan anak-anak, serta keharuan yang terbangun, membuat anak-anak tertawa-menangis di saat yang hampir bersamaan. Sepanjang jalan pulang, anak-anak sibuk membuat “resensi” dengan cara masing-masing. Film yang dibuat berdasarkan novel karya Andrea Hirata ini sangat menyentuh hati dan pikiran anak-anak, terutama bagi Yerry dan Chris. Mereka seperti berkaca dari film ini. Mereka mungkin membayangkan dirinya seperti Ikal atau Lintang. Mungkin mereka membayangkan suatu saat seperti Ikal anak setempat yang jatuh cinta pada Alin yang keturunan Tionghoa. Mereka juga belajar melihat harapan bahwa sekolah yang bermutu akan membuat mengubah mutu hidup mereka di masa depan. Terima kasih kepada Riri Riza dan Mira Lesmana dari Yerry dan Chris untuk film yang memberi semangat.

Meskipun liburan bersama saudara-saudaranya yang Muslim, kami ingin Yerry dan Chris tetap mempunyai kesempatan beribadah sesuai dengan agamanya. Di Magelang Yerry dan Chris sempat mengikuti misa Sabtu sore di Gereja Katolik Santo Ignatius di dekat alun-alun. Saya titipkan mereka pada satu keluarga Jawa Katolik tetangga kami di kampung Bogeman untuk bersama-sama pergi ke Gereja. Saya bayangkan, mengikuti misa di suatu tempat yang jauh bersama orang-orang Jawa Katolik pasti juga menjadi pengalaman untuk tak terlupakan. Di dalam perbedaan fisik dan budaya, mereka pun bisa merasakan ada kesamaan iman...

Di Magelang juga, kami menginap semalam di Hotel Oxalis, persis di depan samping Hotel Puri Asri yang terkenal di Magelang. Acara ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan rekreasi untuk anak-anak. Persis di samping kamar kami, tersedia kolam renang cukup besar. Saya pikir Yerry tidak begitu pandai berenang karena sungai di Wamena pasti sangat dingin dan tidak membuat anak-anak senang berenang. Tapi saya salah. Adik ipar saya yang mencoba menantang Yerry adu kecepatan gaya bebas, tertinggal jauh oleh Yerry. Lain lagi dengan Chris yang dibesarkan di Timika, ketika berenang, dia kuat menyelam sampai jauh sekali. Selain berenang, anak-anak (termasuk bapak dan ibunya) juga memanfaatkan wahana mainan Hotel Puri Asri yang terletak di pinggir Kali Progo. Ada mainan teklek (klompen tandem tiga), egrang (bambu untuk berjalan), sepeda air, sepeda (beneran), tenis meja, kereta kuda, dan lain-lain.

Kini liburan su lewat. Yerry dan Chris su kembali ke asrama. Saya yakin pengalaman ini membekas di hati dan pikiran mereka. Selain pengalaman hidup di asrama, setidaknya mereka mengalami berbagai peristiwa luar biasa, mengelilingi pulau Jawa, bertemu dan bersama dengan banyak orang baru dengan budaya, agama, dan fisik berbeda. Ini menjadi perjalanan kultural dan intelektual yang monumental untuk mereka. Saya juga yakin, bagi anak-anak dan kemenakan kami, berlebaran dengan Yerry dan Chris yang berkulit lebih hitam, keriting dan beragama Katolik, merupakan pengalaman baru. Sejak kecil mereka sudah harus belajar menerima bahwa hidup tidak selalu satu versi, tunggal, atau singular, dan kita bisa menerimanya apa adanya dengan cinta yang cerdas sekaligus rendah hati...
(Foto: Naiya, Galih, Chris, dan Yerry di halaman Candi Prambanan, oleh Muridan S. Widjojo, 2008)

5 comments:

Anonymous said...

Pace, sa sangat terharu baca ko pu artikel...Betapa semangat humanisme menembus batas lintas parameter duniawi.Dan hat terapkan itu secara bersahaja.Hano motok,noe...Netaiken, Yulia

retnanda said...

oh... anak angkatmu itu to pak...
salut !!!!

semoga sukses deh ke dapannya..
and i wish u all the best...
sehingga menghasilkan anak anak yang hebat juga....

tidak semua hasil akhir selalu dinilai dengan angka....

good luck..
God bless you

Anonymous said...

Salam hormat.
Saya amber muda yang besar di Jayapura. Saya sangat terkesan dengan visi bapak yang remarkably neutral.
Sebagai anak ingusan yang besar di tengah penganak-tirian orang pendatang, yang kenyang 'dipaksa kalah' dalam pendidikan maupun dunia kerja, saya sayangnya punya visi yang tidak senetral bapak.
Saya sedang mengumpulkan data untuk sedikit menulis tentang Papua di blog saya. Tulisan itu nantinya bakal sedikit berat sebelah, karena saya sendiri chauvinist-nationalist dan sangat anti-separatis.
Untuk itu saya permisi untuk masukkan blog bapak ini ke blogroll saya, demi memberi referensi yang berimbang untuk pembaca nantinya.

Terima kasih sebelumnya pak.

hammad said...

Saya sangat menghormati bapak, tetapi terus terang saja, saya tidak setuju dengan apa yang bapak lakukan. Di Papua komunitas kristen dan komunitas Katolik berkuasa. Kenapa bapak tidak mengangkat anak-anak Muslim Papua (asli)yang sangat miskin itu? Seperti misalnya, anak-anak dari Suku Kokoda di Sorong? Kenapa mendukung komunitas2 yang sudah berkuasa di Papua? Mungkin nanti anak-anak angkat bapak menjadi misionaris2.

Anonymous said...

Tn Muridan yang terhormat
Kalau saya jadi anda saya malu. Kenapa anda menghina dan menipu pemerintahmu yang telah memberikan mandat pada anada untuk melakukan studi dan riset terhadap fenomena yang muncul disana terkait dengan issu kemerdekaan bangsa lain (Papua). Begitukah riset anda sedangkal itu atau anda takut menggungkap fakta sebenarnya karena anda menggunakan dana riset yang besar oleh pemerintah sehingga anda menyembunyikan fakta dan analisisa yang tidak fair dan sepihak?. Selamatkan bangsamu Indonesia dengan berkata jujur. Blokade anda melalui riset dan analisa dangkalmu dan bapa pemerintahku senang sangat gawat untuk negaramu dan bangsamu Indonesia yang tak maju dan terkorup ini. Risetmu dan hasil analisamu ini tidak menunjukkan dan tak sinkron dengan perubahan yang terjadi diluar Papua terutama di Inggris raya. Menurut saya anda juga perlu banyak belajar dalam menjustifikasi temuan anda dilapangan agar mendidik masyarakatmu Indonesia juga cerdas, karena anda dipercayakan oleh negara sebagai "life reference", namun diri anda tidak menjadi tongkat kejujuran, namun tongkat malapetaka bagi bangsamu sendiri di Indonesia.
Jika anda orang beragama jangan menyembunyikan fakta seperti kesalahan pemerintahanmu dulu tidak kosisten antara tindakan bunyi undang-undang negaramu dulu. Coba anda sebagai salah orang yang diandalkan dalam lembaga ilmu pengetahuan negaramu, tetapi belajar menipu dan menipu lagi pemerintah seluruh keluargamu orang indonesia. Saya membayangkan anda membangun sebuah fondasi yang rapuh bagi bangsa dan negaramu yang anda banggakan-banggakan ini. Semoga saya berharap anda tidak menipu lagi, terus begini segala kepercayaan bangsa. Kesimpulan anda tentang signifikansi kampanye Tn.Benny Wenda dengan Kemerdekaan Papua sangat laur biasa bukan biasa -biasa saja seperti statment anda.
So, ada kejanggalan dalam statmentmu bahwa Benny Wenda itu orang Wamena dari penggunungan dan dia hanya mempengaruhi orang Papua gunung saja", hal ini jelas sekali bahwa anda memakai politik adu domba yang digunakan oleh nenek moyangmu dulu di jawa oleh colonial Belanda dengan politik "divide et Impera" keutuhan dan kesatuan bangsa kami Papua. Jadi anda STOP beranalisa dangkal dan anda tidak sanggup mem-devide us" anda " divide struggle us ". Kami berjuang atas dasar IMAN kami dan harga diri kami sebagai bangsa yang dikacaukan oleh katamakan generasi bangsamu yang menggunakan karakter kebinatangan untuk mengacaukan keseimbangan dunia sebagai habitat manusia dan seisinya oleh Allah sendiri.

Anda dipercayakan dipercayakan sebagai ilmuwan di negara melakukan researh lah yang benar dan baik dan jangan membuat sebuah conclusion atau make decision menggunakan " PERASAAN ANDA " tetapi "PIKIRAN". Bahaya loh Mas jika anda menggunakan menggunakan perasaanmu untuk mengeliminir suatu variable dalam penelitianmu itu.
Oh, yaeah i think so like that. May God educate with you for say truth becouse you know? God is truth. God never " pulir " , right.
I guess that you were nener say or appropriate for you nation and you people for " Pulir ". Javaness said "nyipu". So, you don't nyipu you people. Indo govert and Indo. Society. right.

Nerop.From me Papuan Candlelight and Papuan Sunshine