Saturday, May 03, 2008
Memikirkan Perwakilan Komnas HAM Papua
Pada awal Januari 2008, saya diberitahu oleh Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh bahwa saya dan Kawan Amiruddin dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Jakarta diminta membantu di dalam Tim Evaluasi dan Tim Seleksi Anggota Perwakilan Komnas Ham Papua 2008-2011. Berdasarkan permintaan itu saya mulai mempelajari keadaan perwakilan dan mencoba membuat catatan.
Perwakilan Komnas HAM Papua baru periode 2004-2007 sudah berakhir. Ternyata kepengurusan lembaga ini tidak berfungsi dengan layak. Sebab pertama adalah konflik internal antara ketua dan anggota. Setelah ketua lama, Freddy Toam, digantikan Albert Rumbekwan, situasi tidak membaik. Pak Ketua sendiri mengaku tidak dipatuhi oleh anggotanya. Sumber konfliknya, salah satunya, adalah masalah keuangan.
Sebab kedua adalah masalah organisasi. Kantor Perwakilan tidak memiliki staf keuangan yang handal sehingga dana yang sedikit dari Komnas HAM Jakarta dan bantuan Pemerintah Provinsi Papua yang jumlahnya cukup besar (sekitar Rp 1 Milyar) tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Berbagai rumor tentang korupsi merebak di kalangan LSM dan wartawan di Jayapura. Mekanisme internal penanganan pengaduan pun tidak ditata sehingga setiap anggota bekerja sendiri-sendiri.
Sebab ketiga adalah kualitas individu para anggota perwakilan. Pengetahuan HAM dan hukum sebagian anggota sangat minimal sehingga membuat pernyataan ke publik yang tidak proporsional dan menjatuhkan wibawa Komnas HAM. Sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa anggotanya tidak mampu menggunakan komputer sehingga laporan-laporan rutin untuk pertanggungjawaban kegiatan pun terkendala secara serius. Parahnya, ada juga anggota yang menyalahgunakan posisinya untuk ‘memeras’ pihak tertentu.
Tentu tidak adil kalau semua kegagalan itu semata-mata karena ketidakmampuan kantor perwakilan. Komnas HAM Pusat di Jakarta juga mempunyai kontribusi dalam kegagalan itu. Pertama, dana yang kecil dari Jakarta membuat kantor perwakilan tidak bisa bergerak. Transportasi dan biaya perjalanan sangat mahal di Papua dan ini menghambat kegiatan monitoring anggota perwakilan. Gaji atau honor yang diterima juga sangat kecil. Akibatnya para anggota perwakilan sibuk mencari bantuan dana ke Pemerintah Provinsi.
Kedua, kelemahan organisasi kantor perwakilan juga disebabkan oleh kegagalan Komnas HAM Jakarta untuk memberikan kesempatan dan fasilitas pelatihan yang memadai. Komnas HAM memang mengirim seseorang untuk memberikan pelatihan laporan keuangan. Namun yang bersangkutan hanya datang ke kantor untuk install program dan segera pergi. Sebagian besar waktu oknum tersebut justru digunakan untuk jalan-jalan di Jayapura.
Ketiga, Komnas HAM sebenarnya tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap jalannya organisasi perwakilan. Persoalan demi persoalan menumpuk tanpa diketahui dan diatasi dengan cepat. Komunikasi menjadi tidak terjaga secara efektif. Pihak perwakilan cenderung menyalahkan Jakarta dan Jakarta juga melakukan hal yang sama.
Dalam pertemuan publik untuk membicarakan Perwakilan Komnas HAM Papua di Komisi F pada 22 Februari 2008 semua kritik yang terlontar di atas juga disampaikan di dalam forum ini. Ada yang menuntut pembubaran kantor perwakilan dan mengusulkan Komda HAM Papua. Kelompok Allo Renwarin dari Elsham justru meminta pemutusan hubungan dengan Jakarta dan mengusulkan agar Papua membuat sendiri komisi HAM yang independen. Pihak Komnas HAM yang diwakili oleh Wakil Ketua Ibu Hesti Armiwulan dan Komisioner Stanley dan Komisi F DPRP yang diwakili oleh Ketua Weynand Watori menyimpulkan bahwa proses seleksi perwakilan tetap akan dilakukan. Sementara itu usulan lainnya tidak dihalangi jika ada yang mau mewujudkannya.
Sementara proses persiapan seleksi berjalan, kelompok Allo Renwarin mengajak Rika Korain (SKP), Yusan Yeblo (aktivis SPP), Sofyan Yoman (Ketua Sinode Gereja Baptis), Albert Rumbekwan (mantan Ketua Perwakilan Komnas HAM Papua), dan lain-lain menulis surat kepada Ketua Komnas HAM Jakarta untuk menghentikan proses seleksi yang dinilai tertutup dan tidak melibatkan para pejuang HAM di Papua. Lebih jauh lagi, surat ini juga meminta agar Komnas HAM tidak melibatkan “orang-orang dari Jakarta yang kapasitas dan komitmennya terhadap penegakan HAM diragukan”.
Dalam banyak hal surat tersebut berisi hal-hal yang substansial dan penting untuk diperhatikan oleh Tim Seleksi Perwakilan Komnas HAM. Banyak hal di dalamnya berisi catatan-catatan yang penting untuk perbaikan perwakilan Komnas HAM di masa depan. Hanya saja tuntutan untuk menghentikan proses seleksi agak berlebihan mengingat proses yang dilakukan sudah terbuka dan melibatkan banyak pihak. Sebagian dari penandatangan surat tersebut sebenarnya sudah diundang pada pertemuan di Komisi F tetapi tidak hadir, kecuali Allo Renwarin dan Albert Rumbekwan.
Surat itu juga menyebut “orang-orang dari Jakarta yang kapasitas dan komitmennya terhadap penegakan HAM diragukan.” Tanpa kesulitan, saya tahu pasti bahwa yang dimaksud adalah saya dan Amiruddin. Mungkin bagi mereka, pendidikan S3 dan pengalaman saya selama 15 tahun menekuni penelitian antropologi, politik lokal, dan konflik Papua mulai dari Wamena, Mimika, Jayapura, Biak, Raja Ampat, Kaimana, Fakfak dan daerah lainnya hingga Bintuni belum cukup meyakinkan. Mungkin standar mereka terlalu tinggi untuk saya. Penilaian terhadap saya itu sebenarnya bisa benar bisa juga salah, bergantung sejauh mana orang-orang itu mengenal saya.
Tapi saya tidak setuju dengan penolakan mereka terhadap Kawan Amiruddin. Seharusnya mereka lebih adil menilai Amiruddin. Aktivis Elsam ini sejak pertengahan 1990-an mempertaruhkan nyawanya bersama aktivis dan korban HAM Papua dalam perjuangan HAM. Sejarah perjuangan HAM Tembagapura 1994, Bella Alama 1997, hingga investigasi dugaan pelanggaran HAM Wamena 2003 tidak bisa dipisahkan dari peran Amiruddin yang sangat penting. Seharusnya sesama pejuang HAM, para penulis surat itu menghargai kontribusi Amiruddin untuk penegakan HAM di Papua.
Kini batas waktu pendaftaran calon anggota Perwakilan Komnas HAM diundur hingga akhir Mei 2008. Di dalam Tim Seleksi bukannya tidak ada masalah. Selain kesibukan tingkat tinggi para anggota timnya, persoalan dana seleksi juga masalah besar. Komnas HAM terpaksa harus korek anggaran dari sana dan sini sementara kepastian bantuan dari Pemprov juga tidak jelas. Meskipun demikian Tim Seleksi tetap berusaha agar proses berjalan baik.
Perwakilan Komnas HAM Papua yang berfungsi baik dan berwibawa di mata para pelanggar dan korban pelanggaran HAM adalah cita-cita kita semua. Ada baiknya kita, yang menginginkan penegakan hukum dan HAM berjalan baik di Papua, bisa saling menghargai dan mendukung satu sama lain. Pertengkaran sesama aktivis untuk soal-soal pribadi yang infantil hanya akan menghambat pekerjaan yang jauh lebih penting dan substansial. (Foto Muridan S. Widjojo: Pertemuan Tim Seleksi dengan Ketua Komisi F.)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment