Pemekaran provinsi di tanah Papua, pertama, jelas-jelas melanggar Pasal 76 UU 21/2001 tentang Otsus dan menunjukkan bahwa banyak pembesar Republik ini tidak tertib hukum. Kedua, dari pelaku, proses, dan argumentasinya, juga jelas menunjukkan dominasi pembenaran politik ‘oportunis kanan’ yang memanipulasi jargon keutuhan NKRI.
Artikel ini hendak menunjukkan bahwa strategi pemekaran sekarang ini adalah politik defisit, yang tidak hanya merusak agenda Otsus yang menjanjikan perbaikan mendasar dalam paradigma pembangunan di tanah Papua, tetapi juga memperburuk pola hubungan politik Jakarta-Papua serta merusak reputasi Indonesia di mata komunitas internasional.
Pemekaran provinsi dan kabupaten di tanah Papua menjadi agenda politik yang signifikan sejak diundangkannya UU 45/1999. Meskipun resistensi begitu kuat dari Papua, Inpres 1/2003 memaksakan pemekaran Irian Jaya Barat (Irjabar, atau sekarang Papua Barat). Keputusan Mahkamah Konstitusi, meskipun membatalkan UU 45/1999, tetap mengakui keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat.
Di sini terlihat, dengan dukungan mantan Presiden RI yang juga Ketua Umum PDIP Megawati, koalisi Jakarta – Papua berhasil. Pihak Jakarta dimotori oleh pejabat-pejabat Depdagri dan pimpinan Badan Intelijen Negara Hendropriyono. Elit Papua dimotori oleh perwira tinggi TNI Abraham O. Ataruri dan aktivis PDIP Jimmy Idjie.
Keberhasilan pemekaran Irjabar membuat kalangan ‘Oportunis Kanan’ Jakarta dan Papua semakin bersemangat. RUU insiatif Komisi II DPR RI tentang pemekaran pada awal 2008, termasuk Provinsi Papua Tengah, Papua Barat Daya dan Papua Selatan menunjukkan kuatnya koalisi pemekaran ini. Meskipun Presiden RI SBY ‘tidak setuju’, RUU itu secara implisit sejalan dengan strategi pejabat-pejabat Desk Papua Polkam dan utamanya Depdagri dan BIN.
Argumentasi Nasionalistis
Kaum ‘Oportunis Kanan’ di Jakarta percaya bahwa keberhasilan pemekaran Irjabar melumpuhkan secara signifikan kalangan separatis Papua Merdeka yang bergerak di perkotaan, terutama pimpinan politik di Jayapura dan jaringannya di antero tanah Papua. Oleh karena itu, RUU inisiatif Komisi II DPR RI yang dipimpin mantan Pangdam Trikora E.E. Mangindaan dapat dipahami sebagai kelanjutan cerita sukses strategi pemekaran tersebut.
Kecurigaan utama Jakarta tetap tertuju pada pemimpin Papua yang ada di Provinsi Papua. Mantan Gubernur Jaap Solossa sendiri pernah dituduh oleh pembesar PDIP sebagai separatis terselubung. Gubernur Barnabas Suebu yang menjabat sekarang pun diam-diam juga tidak dipercaya kadar murni ke-NKRI-annya, apalagi Ketua MRP Agus Alua yang juga pimpinan penting di dalam Presidium Dewan Papua (PDP) yang agenda politiknya jelas-jelas kemerdekaan. Reaksi Jakarta terhadap pertemuan dua gubernur di Mansinam yang menghasilkan ide ‘Dua Tapi Satu dan Satu Tapi Dua’ serta isu Gubernur Jendral Papua jelas menunjukkan kecurigaan itu.
UU Otsus memang selalu dicurigai sebagai ‘jembatan emas’ menuju kemerdekaan Papua. Oleh karena itu sebisa mungkin pelaksanaan Otsus dihambat atau dimandulkan dengan cara membuat UU baru atau PP baru yang mereduksi UU Otsus. PP No 54/2005 tentang MRP, PP No 77/2007 tentang lambang daerah, dan lain-lain, adalah contoh-contoh konkritnya. UU Otsus hanya disebut dalam pidato-pidato politik pejabat, tetapi hampir tidak pernah diacu dalam pembuatan kebijakan.
Strategi politik anggaran juga dibuat untuk melumpuhkan gerakan politik masyarakat sipil di Papua yang sebagian besar sudah diberi stigma separatis. Misalnya, Dewan Adat Papua (DAP) yang sudah dilabel separatis mengalami kelumpuhan kegiatan karena sulitnya bantuan dana kegiatan dari Pemprov maupun Pemkab atau Pemkot. Organisasi-organisasi lain yang kritis terhadap pemerintah juga mengalami hal ini. Keketatan ini berbanding terbalik dengan toleransi yang tinggi terhadap korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Pemprov dan Pemkab.
Politik Defisit
Mungkin benar bahwa dengan pemekaran, kekuatan separatis di Papua lumpuh. Setidaknya dengan pemekaran Irjabar, kekuatan politik di tanah Papua terpecah. Energi pemimpin Papua di wilayah Irjabar menjadi terpecah dan teralihkan pada pertarungan dan perebutan sumber daya politik di provinsi baru ini. Belum lagi pilkada gubernur, bupati, maupun walikota di wilayah ini.
Mungkin benar juga bahwa banyak aktivis Papua pro-kemerdekaan beralih kesibukannya ke dalam dinamika pemekaran provinsi dan kabupaten baru. Dengan demikian, agenda-agenda politik yang dianggap berbau separatis seperti rekonsiliasi, dialog, dan lain-lain tidak lagi menarik karena tidak ada kekuasaan dan uang di sana. Apalagi dengan politik anggaran terselubung yang sudah dirasakan ‘manfaat’nya dalam melemahkan gerakan-gerakan kemasyarakatan tersebut.
Tetapi apa manfaatnya strategi pemekaran tersebut bagi penguatan bangunan politik RI dalam hubungannya dengan konflik Papua? Pemekaran tidak hanya melumpuhkan gerakan separatis di Papua, tetapi juga pemerintahan sipil resmi di Papua dan sekaligus melumpuhkan kekuatan masyarakat sipil di Papua.
Para elit Jakarta sudah mengorbankan terlalu banyak hal demi pemekaran. Hasilnya, pertama, uang negara dan rakyat akan dihabiskan untuk belanja infrastruktur provinsi dan kabupaten baru. Kedua, medan korupsi pasti akan meluas. Ketiga, kualitas pelayanan publik akan semakin buruk karena pemekaran selalu diidentikkan dengan penguasaan semua jabatan oleh orang asli Papua yang sumber dayanya amat terbatas. Keempat, di luar sektor pemerintahan, terutama ekonomi, dominasi pendatang akan semakin kuat dan meluas, semakin membenamkan orang asli Papua yang memang sudah lama tersingkir. Kelima, korban paling menderita adalah mayoritas rakyat asli Papua yang tidak memiliki akses apa pun pada penjarahan uang Otsus mereka.
UU Otsus akan benar-benar kehilangan arti. Sia-sia sudah perjuangan banyak pemimpin politik dan intelektual Papua untuk menghasilkan jalan tengah yang bermartabat bagi Papua dan Indonesia. Janji-janji untuk membangun Papua Baru yang mencakup paradigma baru pembangunan Papua, papuanisasi, rekonsiliasi, dan dialog seperti yang tertera dalam UU Otsus hanya akan menjadi wacana pinggiran yang segera terlupakan.
Jaminan politik Papua sebagai bagian dari NKRI sebenarnya terletak pada UU 21/2001 tentang Otsus. Berkali-kali negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara Uni Eropa mendukung klaim Indonesia atas Papua dengan dasar adanya UU Otsus tersebut. Dengan pelaksanaan pemekaran dan pengabaian UU ini dalam kebijakan pemerintah pusat akan mengakibatkan runtuhnya dasar pengakuan kalangan internasional terhadap status politik Papua.
Friday, February 08, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
Muridan Yth,
Sa atorkan terima kasih untuk artikel ini, saya telah upload kembli ke www.kabarpapua.com. Artikel ini mendukung wawasan rakyat Papua dalam aksi bersama lembaga bentukan otsus yang sedang didelegitimasi oleh Jakarta sendiri untuk dikembalikan kepada jakarata.
Salam dari West Papua
Asslmlkm...
Stlah setahunan tinggal papua saya merasakan
sendiri btapa bsrnya resistansi masyarakat sini thd jakarta .
Memang apapun yg dilakukan penyelenggara thd Papua harus dlm kerangka membangun bukan sebaliknya.
Untuk bapak , selamat berkarya untuk Papua !!
Appreciate you blogging thiss
Post a Comment