Saturday, December 08, 2007

Debat King dan Aspinall tentang Identitas Papua (2)


Pada posting sebelumnya, debat Peter King dan Ed Aspinall menyangkut genocide dibahas. Artikel ini mengurai perbedaan pandangan King dan Aspinall tentang sikap orang Papua terhadap Indonesia dan politik identitas yang terbangun dalam konfliknya dengan Pemerintah Indonesia.

King menyatakan bahwa perbedaan Papua dan Aceh adalah bahwa si Papua tidak menganggap dirinya orang Indonesia. Katanya, ini karena adanya ketidakpercayaan mendalam yang mutual antara Papua dan Jakarta. Implisit, King bilang bahwa sikap dan pandangan nasionalis Papua ini tidak bisa berubah. Oleh karenanya, sia-sia saja Indonesia mempertahankan Papua.

Pernyataan ini langsung dikritik oleh Aspinall dengan mengatakan bahwa orang Aceh pun, sebelum Peace Talk mengklaim hal yang sama mengenai identitasnya sebagai orang Aceh, bukan Indonesia. Perubahan sikap orang Aceh setelah Peace Talk memberi pelajaran penting bahwa identitas, sikap dan aspirasi nasionalis tidaklah permanen dan abadi. Dialog—termasuk proses negosiasi substansial yang menghasilkan pengakuan dan konsesi yang adil—dapat mencairkan keteguhan ideologis para nasionalis.

Sebetulnya tidak ada yang baru dengan pendirian teoretis bahwa identitas itu konstruksi sosial dan oleh karenanya bersifat contingent, sementara dan dalam keadaan menjadi. Kemungkinan untuk selalu berubah selalu ada. Interaksi intensif dan kontestatif antarkelompok baik etnis maupun agama memang cenderung mempertajam garis-garis segregatif identitas. Frederik Barth dalam bukunya Ethnic Group and Boundaries sudah omong ‘barang’ itu sejak 1969.

Perlu digarisbawahi bahwa baik King maupun Aspinall memiliki simpati yang mendalam terhadap masalah rakyat Papua. Perbedaan keduanya terletak pada perspektif dan motif. King terjebak oleh simpatinya sebagai aktivis dan motifnya untuk mendorong Papua merdeka sehingga dia gagal menganalisis secara kritis kerangka interpretatif kalangan nasionalis Papua. Aspinall dalam hal ini lebih komparatif dan berjarak. Simpatinya tidak membuatnya mengadopsi begitu saja pandangan kelompok nasionalis Papua. Aspinall juga menggunakan perspektif komparatif dan melihat relativitas dalam masalah Papua.

Pluralitas perspektif, motif, dan pendekatan dalam masalah Papua adalah suatu kenyataan yang jelas dengan sendirinya. Ini berarti selalu ada perbedaan ketiga hal tersebut di kalangan peneliti, aktivis dan pemimpin negara. Sayangnya, masih banyak individu atau kelompok yang percaya bahwa hanya ada kebenaran tunggal. Maksudnya, mereka percaya bahwa doxa (perspektif, motif dan pendekatan) mereka lah yang paling benar.

Kecenderungan memberi label di kasus Papua adalah contoh yang relevan. Kalangan nasionalis Indonesia senang melabel siapa pun yang tidak sama pandangannya dengan mereka sebagai ‘simpatisan separatis’ atau ‘simpatisan OPM’. Di pihak lain kalangan nasionalis Papua juga punya ‘hobi’ yang sama. Mereka sering melabel siapa pun yang tidak disukai dan tidak secara eksplisit mendukung Papua Merdeka, diberi label ‘orangnya BIN’ atau ‘agen Jakarta’.
Cara berpikir yang esensialis dan singularistik seringkali membuat pluralitas dan perbedaan itu menjadi sumber konflik di antara mereka dan mengabaikan tujuan awal membantu penyelesaian masalah Papua.

Perlu dipahami oleh para nasionalis Papua maupun nasionalis Indonesia, bahwa banyak aktivis HAM dan kemanusiaan, peneliti, dan pekerja sosial lainnya tidak merasa perlu mendukung agenda politik salah satunya. Ijinkanlah setiap orang untuk bekerja dan membantu orang Papua dengan kemampuannya masing-masing tanpa harus dimasukkan kotak-kotak sebagai pendukung Papua Merdeka atau pendukung NKRI. (Foto: Hardin Halidin ALDP, 2005)

1 comment:

Anonymous said...

People should read this.