Saturday, October 28, 2006

Jalan-jalan di Oxford

Sedang sibuk menyelesaikan tesis, tiba-tiba aku diundang lokakarya "Conflict, Violence and Displacement in Papua" ke Refugee Studies Centre (RSC), St Anthony College, di Oxford tanggal 26 Oktober. Awalnya ragu apakah waktuku cukup untuk menyiapkan makalah dalam waktu dua minggu. Tapi Liem Soie Liong, pendiri TAPOL London dan penulis buku The Obliteration of a People, meyakinkanku bahwa kehadiranku dibutuhkan untuk berbagi pandangan tentang sejarah kekerasan di Papua. Aku putuskan menyoroti masalah pelaku kekerasan non-negara dan siklus kekerasan di Papua. Hampir dua minggu habis untuk membuka catatan lapangan, membaca referensi Papua dan berkonsultasi sama Jaap Timmer, sahabatku yang antropolog Belanda dan ahli Papua. Jadilah paper itu dan aku beri judul "Non State Actors and the Cycle of Violence in Papua" Setelah kontak Dr. Eva-Lotta Hedman dari RSC, aku sepakati untuk berangkat ke London 25 Oktober 2006.
Pagi-pagi aku ke Airport Schiphol naik Easyjet menuju Gatwick Airport London. Dasar pesawat murah, sampai sejam terakhir sebelum tinggal landas, kami belum tahu menuju gate yang mana. Baru lima belas menit kemudian kami tahu dari layar TV di Lounge 3 bahwa kami harus ke Gate H12. Lain kalau kita naik Malaysia Airlines atau British Airways, kali ini kami penumpang harus melewati jalan khusus lewat tangga dan tidak menggunakan belalai yang menghubungkan pintu airport dengan pintu pesawat seperti biasa. Selain itu sebelum kami masuk, kami masih menunggu penumpang yang baru turun dari pesawat. Meskipun agak kurang nyaman, pesawat toh akhirnya terbang tepat waktu. Kami mendarat di Gatwick Airport di Terminal Selatan satu jam kemudian, sekitar jam 10 pagi.
Sesuai dengan info yang aku dapat di internet, aku segera menuju stasiun kereta api menuju Oxford. Dingin udara di Gatwick. Dua puluh menit kemudian kereta datang. Kereta api di Inggris tidak sebagus dan secepat kereta sejenis di Belanda. Tapi menariknya setiap deret bangku ada stop-contact listrik untuk handphone dan laptop. Menarik. Sayang hari itu aku nggak bawa laptop karena aku mau santai menikmati Oxford dan London dan menghindari sakit punggung memikul laptop selama jalan-jalan. Yang khas kalau masuk Inggris, di mana-mana penuh peringatan dan aturan. Semuanya dibuat verbal. Bahkan tanda dilarang merokok pun tidak cukup dengan tanda gambar rokok dicoret garis merah merah tapi dibumbui dengan tulisan "no smoking" plus "strictly" dan lain-lain. Bahkan di suatu cafe, larangan itu dibumbui dengan mengatakan bahwa asap rokok mengurangi kualitas aroma dan rasa kopi. Hmmh. Masih banyak contoh lainnya yang menurutku redundant.
Perjalanan kereta api ternyata nggak secepat yang aku bayangkan. Pelan, lelet, dan sering berhenti di tengah-tengah perjalanan tanpa alasan yang jelas. Kalau di Jakarta, itu mungkin karena menunggu kereta lain lewat. Tapi di sini aku nggak tahu. Dua jam kemudian, baru aku sampai di Oxford. Hampir saja aku kelewatan karena keasyikan baca buku Jim Elmslie yang berjudul Irian Jaya under the Gun.
Oxford yang dikenal dengan gedung-gedung bersejarahnya, aku bayangkan punya stasiun seindah Harlem di Belanda. Tapi ternyata tidak. Dia tidak lebih dari satu gedung stasiun biasa yang penuh dengan toko dan cafe. Di depannya tidak ada patung atau hiasan yang mengesankan, malah ruang terbuka tempat bus dalam kota mangkal. Tidak, tidak seindah yang aku bayangkan. Hari itu mendung. Sedikit gerimis. Aku mencoba memotret dengan kamera pinjaman dari Pak Insya, teman serumah yang lagi ambil master Biologi di Universitas Leiden. Aku harus hati-hati karena kamera ini pinjaman. Aku memutuskan untuk berjalan kaki di tengah gerimis, sambil menikmati pemandangan kota Oxford, dan mencari lokasi tempat aku akan menginap University Club, Mansfield Road No 11.

2 comments:

theoikos said...

"Mitos kekerasan di Papua." Ada sumber yang bisa dipercaya tentang sejumlah korvban dari kekerasan militer dalam tahun 1977 di Lembah Baliem. dr Vriend sendiri seorang saksi mata dari kekerasan itu sebagai dokter dalam rumah sakit permerintah di Wamena. Dia juga membuat penelitian demografis terhadap efek dari pembunuhan masal itu. Lihat: Smoky Fires, PhD Thesis, Free University, 20030

muridanwidjojo said...

kepada theoikos,
terima kasih banyak, saya akan baca baik-baik thesis dr Vriend