Pada artikel bagian 1 sebelumnya, saya membahas pemekaran dari aspek pelaku, argumentasi dan orientasi politik elit-elit di Jakarta. Pada bagian 2 ini, saya memahami pemekaran dari sudut pandang pelaku, argumentasi lokal dan lingkungan sosial politik tanah Papua.
Menurut Francis Kati yang menulis di website Uncen (6/12/2007) pemekaran kabupaten-kabupaten baru di Tanah Papua adalah merupakan impian para koruptor dan calon koruptor. Menurut saya, kesimpulan ini tidak hanya berlaku bagi pemekaran kabupaten tetapi juga pemekaran provinsi. Perlu ditambahkan pula bahwa para pelopor pemekaran ini adalah elit-elit lokal yang menggunakan koneksinya dengan elit-elit di Jakarta dan memanipulasi massa rakyat setempat untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaannya.
Coba simak siapa para pelopor pemekaran-pemekaran ini. Pada kasus Irian Jaya Barat, elit lokal itu adalah Bram Ataruri dan Jimmy Idjie yang memiliki hubungan dekat dengan elit PDIP dan Kepala BIN waktu itu yaitu Hendropriyono. Calon provinsi Papua Tengah dimotori oleh beberapa pejabat pemkab dan Bupati Nabire sendiri Drs. Anselmus Petrus Youw yang masa jabatannya akan berakhir (Cepos, 17/1/2007). Papua Barat Daya dimotori oleh mantan Sekda Papua yang pernah gagal menjadi gubernur pemekaran Irian Jaya Tengah Dortheus Asmuruf, mantan aktivis Presidium Dewan Papua (PDP) Don Flassy, dan David Obaidiri (Cepos, 15/1/2007). Papua Selatan dimotori oleh Bupati Merauke dua periode John G. Gebze yang masa jabatannya juga akan berakhir.
Dalam upaya memperoleh dukungan publik, alasan utama para pelopor pemekaran adalah memperpendek rentang kendali pemerintahan dan meningkatkan pelayanan publik. Pada kenyataannya tujuan pelayanan publik itu tidak pernah diperhatikan. Yang terjadi persis seperti kata Francis Kati yakni memperpendek rentang kendali korupsi, atau dengan kata lain meluaskan medan dan mempermudah korupsi.
Dengan membuat provinsi dan kabupaten baru, peluang baru jabatan gubernur bagi bupati-bupati yang sudah habis masa jabatannya terbuka. Dengan kabupaten-kabupaten baru para elit lokal Papua memiliki kesempatan untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Peluang untuk menjadi anggota DPR provinsi dan kabupaten serta peluang menduduki jabatan-jabatan birokrasi seperti kepala dinas, kepala biro dan kepala bagian juga terbuka. Bagi para pengangguran, pemekaran membuka peluang untuk menjadi pegawai negeri sipil. Bagi aparat keamanan, ada peluang untuk membuat struktur teritorial semacam Kodim baru, Polda baru, atau Polres baru.
Pemekaran tentunya menciptakan proyek-proyek infrastruktur: gedung-gedung kantor dan fasilitas pemerintah lainnya. Semua ini adalah proyek yang dinantikan karena peluang untuk korupsinya terbuka lebar. Akibat logisnya, sebagian besar anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk pelayanan masyarakat malah untuk pembangunan fasilitas provinsi dan kabupaten yang baru. Dalam jangka pendek, anggaran pelayanan publik pasti akan terserap ke sana.
Produk dari pemekaran adalah tumbuhnya rumah-rumah mewah yang tersebar di kota-kota di tanah Papua dan bahkan di luar Papua yang merupakan milik para pejabat Papua dari provinsi dan kabupaten lama maupun yang baru hasil pemekaran. Mobil-mobil mewah edisi terbaru yang memenuhi jalan-jalan di Jayapura adalah juga milik para pejabat-pejabat baru itu. Korupsi di Papua dilakukan dengan sangat kasar dan terlalu mudah untuk membongkarnya bagi KPK. Hanya saja belum ada langkah signifikan ke arah sana.
Pemekaran hasilnya sangat merugikan masyarakat. Tetapi para pejabat Papua sangat pandai dalam membagi sebagian hasil korupsinya terutama kepada konstituennya yang biasanya berasal dari suku atau klennya. Orang-orang yang mendapatkan bagian korupsi inilah yang siap untuk berdemo ke Jakarta atau ke Jayapura mengatasnamakan masyarakatnya. Dalam menjalankan kekuasaannya, sebagian besar pejabat di Papua lebih bertindak sebagai big man atau bobot atau kepala suku dalam pengertian tradisional daripada berperilaku sebagai pejabat moderen. Uang negara disalahgunakan untuk memperkaya diri sendiri dan menjaga loyalitas konstituennya (McGibbon, 2004).
Pemekaran juga mempertajam segregasi etnis di kalangan orang asli Papua. Banyak proposal kabupaten baru dibuat oleh individu-individu dari kelompok suku atau etnis yang kalah bersaing di provinsi atau kabupaten yang lama. Dengan pemekaran persaingan ketat tidak diperlukan lagi karena biasanya kabupaten baru diisi oleh elit-elit lokalnya sendiri dan tertutup bagi kelompok etnis Papua lainnya. Bahkan di tingkat distrik pun permusuhan tradisional antarklen juga mendorong pemekaran distrik baru. Jika diberi peluang terus, fragmentasi di kalangan orang asli Papua akan semakin menguat seiring dengan berkembangbiaknya pemekaran.
Sementara elit Papua disibukkan oleh jabatan baru dan uang korupsi, pelayanan publik terabaikan. Yang tidak banyak disadari adalah bahwa peluang dominasi pendatang juga semakin besar. Sektor produksi, perdagangan dan jasa di daerah pemekaran pasti hanya dapat diisi oleh para pendatang yang lebih siap. Pos-pos pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan dan keahlian segera dikuasai oleh pendatang. Banyak orang asli Papua, baik para elitnya maupun masyarakatnya, kecuali menjarah uang negara, pasti tidak akan diuntungkan dalam situasi seperti ini.
Di dalam pemekaran tidak ada obsesi pembangunan dalam arti sebenarnya. Para pejabat Papua beranggapan bahwa uang negara yang dijarahnya tidak akan pernah habis, seperti halnya persediaan sagu di hutan atau ikan di laut. Di dalam pemekaran ini tidak ada obsesi perlindungan dan pemberdayaan orang asli Papua. Jika anda membiarkan pemekaran terus berlangsung, lupakan cita-cita untuk menyejahterakan orang asli Papua. Yang terjadi hanyalah elit Papua memanipulasi sesama orang asli Papua. Sementara itu peluang untuk maju dan berkuasa dalam jangka menengah dan panjang tetap di tangan pendatang.
Thursday, February 14, 2008
Friday, February 08, 2008
Pemekaran demi Keutuhan NKRI? (Bagian 1)
Pemekaran provinsi di tanah Papua, pertama, jelas-jelas melanggar Pasal 76 UU 21/2001 tentang Otsus dan menunjukkan bahwa banyak pembesar Republik ini tidak tertib hukum. Kedua, dari pelaku, proses, dan argumentasinya, juga jelas menunjukkan dominasi pembenaran politik ‘oportunis kanan’ yang memanipulasi jargon keutuhan NKRI.
Artikel ini hendak menunjukkan bahwa strategi pemekaran sekarang ini adalah politik defisit, yang tidak hanya merusak agenda Otsus yang menjanjikan perbaikan mendasar dalam paradigma pembangunan di tanah Papua, tetapi juga memperburuk pola hubungan politik Jakarta-Papua serta merusak reputasi Indonesia di mata komunitas internasional.
Pemekaran provinsi dan kabupaten di tanah Papua menjadi agenda politik yang signifikan sejak diundangkannya UU 45/1999. Meskipun resistensi begitu kuat dari Papua, Inpres 1/2003 memaksakan pemekaran Irian Jaya Barat (Irjabar, atau sekarang Papua Barat). Keputusan Mahkamah Konstitusi, meskipun membatalkan UU 45/1999, tetap mengakui keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat.
Di sini terlihat, dengan dukungan mantan Presiden RI yang juga Ketua Umum PDIP Megawati, koalisi Jakarta – Papua berhasil. Pihak Jakarta dimotori oleh pejabat-pejabat Depdagri dan pimpinan Badan Intelijen Negara Hendropriyono. Elit Papua dimotori oleh perwira tinggi TNI Abraham O. Ataruri dan aktivis PDIP Jimmy Idjie.
Keberhasilan pemekaran Irjabar membuat kalangan ‘Oportunis Kanan’ Jakarta dan Papua semakin bersemangat. RUU insiatif Komisi II DPR RI tentang pemekaran pada awal 2008, termasuk Provinsi Papua Tengah, Papua Barat Daya dan Papua Selatan menunjukkan kuatnya koalisi pemekaran ini. Meskipun Presiden RI SBY ‘tidak setuju’, RUU itu secara implisit sejalan dengan strategi pejabat-pejabat Desk Papua Polkam dan utamanya Depdagri dan BIN.
Argumentasi Nasionalistis
Kaum ‘Oportunis Kanan’ di Jakarta percaya bahwa keberhasilan pemekaran Irjabar melumpuhkan secara signifikan kalangan separatis Papua Merdeka yang bergerak di perkotaan, terutama pimpinan politik di Jayapura dan jaringannya di antero tanah Papua. Oleh karena itu, RUU inisiatif Komisi II DPR RI yang dipimpin mantan Pangdam Trikora E.E. Mangindaan dapat dipahami sebagai kelanjutan cerita sukses strategi pemekaran tersebut.
Kecurigaan utama Jakarta tetap tertuju pada pemimpin Papua yang ada di Provinsi Papua. Mantan Gubernur Jaap Solossa sendiri pernah dituduh oleh pembesar PDIP sebagai separatis terselubung. Gubernur Barnabas Suebu yang menjabat sekarang pun diam-diam juga tidak dipercaya kadar murni ke-NKRI-annya, apalagi Ketua MRP Agus Alua yang juga pimpinan penting di dalam Presidium Dewan Papua (PDP) yang agenda politiknya jelas-jelas kemerdekaan. Reaksi Jakarta terhadap pertemuan dua gubernur di Mansinam yang menghasilkan ide ‘Dua Tapi Satu dan Satu Tapi Dua’ serta isu Gubernur Jendral Papua jelas menunjukkan kecurigaan itu.
UU Otsus memang selalu dicurigai sebagai ‘jembatan emas’ menuju kemerdekaan Papua. Oleh karena itu sebisa mungkin pelaksanaan Otsus dihambat atau dimandulkan dengan cara membuat UU baru atau PP baru yang mereduksi UU Otsus. PP No 54/2005 tentang MRP, PP No 77/2007 tentang lambang daerah, dan lain-lain, adalah contoh-contoh konkritnya. UU Otsus hanya disebut dalam pidato-pidato politik pejabat, tetapi hampir tidak pernah diacu dalam pembuatan kebijakan.
Strategi politik anggaran juga dibuat untuk melumpuhkan gerakan politik masyarakat sipil di Papua yang sebagian besar sudah diberi stigma separatis. Misalnya, Dewan Adat Papua (DAP) yang sudah dilabel separatis mengalami kelumpuhan kegiatan karena sulitnya bantuan dana kegiatan dari Pemprov maupun Pemkab atau Pemkot. Organisasi-organisasi lain yang kritis terhadap pemerintah juga mengalami hal ini. Keketatan ini berbanding terbalik dengan toleransi yang tinggi terhadap korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Pemprov dan Pemkab.
Politik Defisit
Mungkin benar bahwa dengan pemekaran, kekuatan separatis di Papua lumpuh. Setidaknya dengan pemekaran Irjabar, kekuatan politik di tanah Papua terpecah. Energi pemimpin Papua di wilayah Irjabar menjadi terpecah dan teralihkan pada pertarungan dan perebutan sumber daya politik di provinsi baru ini. Belum lagi pilkada gubernur, bupati, maupun walikota di wilayah ini.
Mungkin benar juga bahwa banyak aktivis Papua pro-kemerdekaan beralih kesibukannya ke dalam dinamika pemekaran provinsi dan kabupaten baru. Dengan demikian, agenda-agenda politik yang dianggap berbau separatis seperti rekonsiliasi, dialog, dan lain-lain tidak lagi menarik karena tidak ada kekuasaan dan uang di sana. Apalagi dengan politik anggaran terselubung yang sudah dirasakan ‘manfaat’nya dalam melemahkan gerakan-gerakan kemasyarakatan tersebut.
Tetapi apa manfaatnya strategi pemekaran tersebut bagi penguatan bangunan politik RI dalam hubungannya dengan konflik Papua? Pemekaran tidak hanya melumpuhkan gerakan separatis di Papua, tetapi juga pemerintahan sipil resmi di Papua dan sekaligus melumpuhkan kekuatan masyarakat sipil di Papua.
Para elit Jakarta sudah mengorbankan terlalu banyak hal demi pemekaran. Hasilnya, pertama, uang negara dan rakyat akan dihabiskan untuk belanja infrastruktur provinsi dan kabupaten baru. Kedua, medan korupsi pasti akan meluas. Ketiga, kualitas pelayanan publik akan semakin buruk karena pemekaran selalu diidentikkan dengan penguasaan semua jabatan oleh orang asli Papua yang sumber dayanya amat terbatas. Keempat, di luar sektor pemerintahan, terutama ekonomi, dominasi pendatang akan semakin kuat dan meluas, semakin membenamkan orang asli Papua yang memang sudah lama tersingkir. Kelima, korban paling menderita adalah mayoritas rakyat asli Papua yang tidak memiliki akses apa pun pada penjarahan uang Otsus mereka.
UU Otsus akan benar-benar kehilangan arti. Sia-sia sudah perjuangan banyak pemimpin politik dan intelektual Papua untuk menghasilkan jalan tengah yang bermartabat bagi Papua dan Indonesia. Janji-janji untuk membangun Papua Baru yang mencakup paradigma baru pembangunan Papua, papuanisasi, rekonsiliasi, dan dialog seperti yang tertera dalam UU Otsus hanya akan menjadi wacana pinggiran yang segera terlupakan.
Jaminan politik Papua sebagai bagian dari NKRI sebenarnya terletak pada UU 21/2001 tentang Otsus. Berkali-kali negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara Uni Eropa mendukung klaim Indonesia atas Papua dengan dasar adanya UU Otsus tersebut. Dengan pelaksanaan pemekaran dan pengabaian UU ini dalam kebijakan pemerintah pusat akan mengakibatkan runtuhnya dasar pengakuan kalangan internasional terhadap status politik Papua.
Artikel ini hendak menunjukkan bahwa strategi pemekaran sekarang ini adalah politik defisit, yang tidak hanya merusak agenda Otsus yang menjanjikan perbaikan mendasar dalam paradigma pembangunan di tanah Papua, tetapi juga memperburuk pola hubungan politik Jakarta-Papua serta merusak reputasi Indonesia di mata komunitas internasional.
Pemekaran provinsi dan kabupaten di tanah Papua menjadi agenda politik yang signifikan sejak diundangkannya UU 45/1999. Meskipun resistensi begitu kuat dari Papua, Inpres 1/2003 memaksakan pemekaran Irian Jaya Barat (Irjabar, atau sekarang Papua Barat). Keputusan Mahkamah Konstitusi, meskipun membatalkan UU 45/1999, tetap mengakui keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat.
Di sini terlihat, dengan dukungan mantan Presiden RI yang juga Ketua Umum PDIP Megawati, koalisi Jakarta – Papua berhasil. Pihak Jakarta dimotori oleh pejabat-pejabat Depdagri dan pimpinan Badan Intelijen Negara Hendropriyono. Elit Papua dimotori oleh perwira tinggi TNI Abraham O. Ataruri dan aktivis PDIP Jimmy Idjie.
Keberhasilan pemekaran Irjabar membuat kalangan ‘Oportunis Kanan’ Jakarta dan Papua semakin bersemangat. RUU insiatif Komisi II DPR RI tentang pemekaran pada awal 2008, termasuk Provinsi Papua Tengah, Papua Barat Daya dan Papua Selatan menunjukkan kuatnya koalisi pemekaran ini. Meskipun Presiden RI SBY ‘tidak setuju’, RUU itu secara implisit sejalan dengan strategi pejabat-pejabat Desk Papua Polkam dan utamanya Depdagri dan BIN.
Argumentasi Nasionalistis
Kaum ‘Oportunis Kanan’ di Jakarta percaya bahwa keberhasilan pemekaran Irjabar melumpuhkan secara signifikan kalangan separatis Papua Merdeka yang bergerak di perkotaan, terutama pimpinan politik di Jayapura dan jaringannya di antero tanah Papua. Oleh karena itu, RUU inisiatif Komisi II DPR RI yang dipimpin mantan Pangdam Trikora E.E. Mangindaan dapat dipahami sebagai kelanjutan cerita sukses strategi pemekaran tersebut.
Kecurigaan utama Jakarta tetap tertuju pada pemimpin Papua yang ada di Provinsi Papua. Mantan Gubernur Jaap Solossa sendiri pernah dituduh oleh pembesar PDIP sebagai separatis terselubung. Gubernur Barnabas Suebu yang menjabat sekarang pun diam-diam juga tidak dipercaya kadar murni ke-NKRI-annya, apalagi Ketua MRP Agus Alua yang juga pimpinan penting di dalam Presidium Dewan Papua (PDP) yang agenda politiknya jelas-jelas kemerdekaan. Reaksi Jakarta terhadap pertemuan dua gubernur di Mansinam yang menghasilkan ide ‘Dua Tapi Satu dan Satu Tapi Dua’ serta isu Gubernur Jendral Papua jelas menunjukkan kecurigaan itu.
UU Otsus memang selalu dicurigai sebagai ‘jembatan emas’ menuju kemerdekaan Papua. Oleh karena itu sebisa mungkin pelaksanaan Otsus dihambat atau dimandulkan dengan cara membuat UU baru atau PP baru yang mereduksi UU Otsus. PP No 54/2005 tentang MRP, PP No 77/2007 tentang lambang daerah, dan lain-lain, adalah contoh-contoh konkritnya. UU Otsus hanya disebut dalam pidato-pidato politik pejabat, tetapi hampir tidak pernah diacu dalam pembuatan kebijakan.
Strategi politik anggaran juga dibuat untuk melumpuhkan gerakan politik masyarakat sipil di Papua yang sebagian besar sudah diberi stigma separatis. Misalnya, Dewan Adat Papua (DAP) yang sudah dilabel separatis mengalami kelumpuhan kegiatan karena sulitnya bantuan dana kegiatan dari Pemprov maupun Pemkab atau Pemkot. Organisasi-organisasi lain yang kritis terhadap pemerintah juga mengalami hal ini. Keketatan ini berbanding terbalik dengan toleransi yang tinggi terhadap korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Pemprov dan Pemkab.
Politik Defisit
Mungkin benar bahwa dengan pemekaran, kekuatan separatis di Papua lumpuh. Setidaknya dengan pemekaran Irjabar, kekuatan politik di tanah Papua terpecah. Energi pemimpin Papua di wilayah Irjabar menjadi terpecah dan teralihkan pada pertarungan dan perebutan sumber daya politik di provinsi baru ini. Belum lagi pilkada gubernur, bupati, maupun walikota di wilayah ini.
Mungkin benar juga bahwa banyak aktivis Papua pro-kemerdekaan beralih kesibukannya ke dalam dinamika pemekaran provinsi dan kabupaten baru. Dengan demikian, agenda-agenda politik yang dianggap berbau separatis seperti rekonsiliasi, dialog, dan lain-lain tidak lagi menarik karena tidak ada kekuasaan dan uang di sana. Apalagi dengan politik anggaran terselubung yang sudah dirasakan ‘manfaat’nya dalam melemahkan gerakan-gerakan kemasyarakatan tersebut.
Tetapi apa manfaatnya strategi pemekaran tersebut bagi penguatan bangunan politik RI dalam hubungannya dengan konflik Papua? Pemekaran tidak hanya melumpuhkan gerakan separatis di Papua, tetapi juga pemerintahan sipil resmi di Papua dan sekaligus melumpuhkan kekuatan masyarakat sipil di Papua.
Para elit Jakarta sudah mengorbankan terlalu banyak hal demi pemekaran. Hasilnya, pertama, uang negara dan rakyat akan dihabiskan untuk belanja infrastruktur provinsi dan kabupaten baru. Kedua, medan korupsi pasti akan meluas. Ketiga, kualitas pelayanan publik akan semakin buruk karena pemekaran selalu diidentikkan dengan penguasaan semua jabatan oleh orang asli Papua yang sumber dayanya amat terbatas. Keempat, di luar sektor pemerintahan, terutama ekonomi, dominasi pendatang akan semakin kuat dan meluas, semakin membenamkan orang asli Papua yang memang sudah lama tersingkir. Kelima, korban paling menderita adalah mayoritas rakyat asli Papua yang tidak memiliki akses apa pun pada penjarahan uang Otsus mereka.
UU Otsus akan benar-benar kehilangan arti. Sia-sia sudah perjuangan banyak pemimpin politik dan intelektual Papua untuk menghasilkan jalan tengah yang bermartabat bagi Papua dan Indonesia. Janji-janji untuk membangun Papua Baru yang mencakup paradigma baru pembangunan Papua, papuanisasi, rekonsiliasi, dan dialog seperti yang tertera dalam UU Otsus hanya akan menjadi wacana pinggiran yang segera terlupakan.
Jaminan politik Papua sebagai bagian dari NKRI sebenarnya terletak pada UU 21/2001 tentang Otsus. Berkali-kali negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara Uni Eropa mendukung klaim Indonesia atas Papua dengan dasar adanya UU Otsus tersebut. Dengan pelaksanaan pemekaran dan pengabaian UU ini dalam kebijakan pemerintah pusat akan mengakibatkan runtuhnya dasar pengakuan kalangan internasional terhadap status politik Papua.
Sunday, December 30, 2007
Wacana Konspiratif Intelektual Papua
Jaksa Agung RI melarang buku Tenggelamnya Rumpun Melanesia (Yogyakarta, Galang Press, 2007) karya Sendius Wonda karena kejaksaan menganggapnya bisa ‘mengganggu ketertiban umum’. Kalau kita cermati substansinya, secara eksplisit dan berulang-ulang di dalam bukunya, Wonda berpendapat bahwa penyebaran pesat HIV/AIDS, kegemaran pada minuman keras di kalangan orang asli Papua, kekerasan aparat negara (TNI/Polri), kehadiran OPM, Keluarga Berencana, transmigrasi dan migrasi spontan serta ‘islamisasi’ di Papua adalah hasil program terencana pemerintah RI untuk memusnahkan orang asli Papua (ras Melanesia) yang juga beragama Kristen.
Tren Wondaisme
Tren Wondaisme—diambil dari nama penulisnya—bukanlah hal baru. Cara berpikir dan perspektif yang simplistis dan konspiratif ini bisa dibaca di banyak laman internet, didengar di berbagai diskusi, serta dibaca di beberapa buku yang ditulis oleh intelektual muda Papua. Bagi mereka, segala yang buruk di Papua adalah produk desain politik yang rapi dan sistemik dari Jakarta (bisa dibaca TNI, Pemerintah Pusat, BIN, dll). Jakarta diyakini memiliki kemampuan sistemik dan benar-benar ingin memusnahkan penduduk asli Papua (baca genocide). Dalam konteks wacana politik di Papua, perspektif Wondaisme cenderung klise dan tidak kritis. Bedanya dengan penulis yang lain, Wonda lebih emosional, tegas, dan hitam-putih.
Wondaisme meneguhkan dan merepresentasi suatu budaya teror yang mendalam dan meluas di Papua. Budaya ini merupakan produk khas dari sejarah dan pengalaman kekerasan (intimidasi, teror dan pembunuhan), serta keterpinggiran politis dan ekonomis orang Papua. Meskipun kekerasan fisik oleh aparat negara sudah berkurang, hingga hari ini aktivis Papua atau pun pendatang yang membela hak-hak dasar orang Papua masih mengalami intimidasi dan teror. Dirasakan oleh banyak pihak adanya operasi intelijen besar-besaran di Papua. Sementara itu, kehadiran pendatang yang makin besar dalam kuantitas dan semakin dominan di segala sektor terutama ekonomi, menjadi tekanan sosial tersendiri. Secara budaya, orang asli Papua juga mengalami ketakutan akan terjadinya ketersingkiran dan dalam bentuk yang ekstrim: kepunahan.
Ketakutan, ketakberdayaan dan upaya perlawanan yang dihasilkannya diberi ‘rumah’ dalam bahasa dan diinternalisasi serta dijustifikasi dalam dogma agama, revivalisasi adat, dan ideologi politik, sebagai strategi bertahan hidup. Sintesis ini mewujud dalam bentuk tradisi lisan seperti rumor, mob, doa-doa, cerita-cerita di rumah adat, dan tradisi baru tulisan seperti pesan pendek (sms), selebaran, dan buku seperti yang ditulis oleh Wonda. Dalam perspektif tradisional Papua, segala kejadian buruk, bahaya, dan krisis kehidupan bersumber dari disharmoni antara manusia dan swanggi (kekuatan supranatural). Kini, secara metaforis, swanggi itu bertransformasi menjadi pemerintah NKRI, BIN, TNI, dan sebagainya.
Tradisi baru intelektual Papua
Dari sudut pandang yang lain, kita seharusnya bergembira dengan tumbuhnya tradisi tulisan dan lapisan intelektual baru Papua. Di antara para intelektual itu, pertama, ada yang reflektif seperti Benny Giay dan Phil Erari. Kedua, ada yang menggebu dan berani seperti Socratez Yoman, Sem Karoba, Yafeth Kambai dan Jacobus Dumupa. Sendius Wonda termasuk di kelompok kedua. Di antara yang muda, karya Decki Pigay adalah salah satu yang terbaik: runtut, detil, dan relatif mampu menjaga jarak. Ada kemiripan wacana di antara para penulis ini. Terkecuali Erari, kebanyakan memiliki satu paradigma oposisi politik identitas dalam memahami konflik Papua, yakni: Indonesia, Melayu, Rambut Lurus, Pendatang dan Islam versus Papua, Melanesia, Keriting, pribumi dan Kristen.
Sebagian dari mereka adalah produk pendidikan NKRI yang sering dituduh gagal. Sebagian lagi adalah produk pendidikan dari luar negeri. Semangat menulis dan perspektif politik yang makin berani adalah juga didorong oleh semangat reformasi dan transisi politik di Indonesia, yang dengan segala kekurangannya, semakin liberal dan demokratis. Dengan begitu orang terdorong dan berani menyatakan pikiran dan pendapatnya secara terbuka. Yang positif dari perkembangan ini adalah pemerintah terbantu memahami salah satu sisi kondisi psikologis dan kultural orang asli Papua. Fenomena ini seharusnya menjadi masukan yang berguna untuk memperbaiki kebijakan dan sikap pemerintah pusat di Papua.
Anomali demokrasi
Kejaksaan Agung menggunakan UU No 5/1969 sebagai dasar untuk melarang peredaran buku tersebut. Definisi tentang “mengganggu ketertiban umum” tentu cenderung sepihak dan subyektif serta terbuka untuk diperdebatkan. Kebijakan yang menggunakan ‘pasal karet’ ini, di mata para pendukung demokratisasi di Indonesia, bertentangan dengan semangat reformasi, keterbukaan dan demokratisasi di Indonesia. Secara prinsip, kebijakan itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28, UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No 11/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.
Sudah banyak buku yang isinya mirip karya Wonda, dan ternyata tidak dilarang dan ‘ketertiban umum’ tidak juga terganggu. Pihak kejaksaan melupakan kenyataan bahwa pembaca umum juga memiliki kecerdasan untuk menilai apakah isi buku tertentu berbobot atau tidak. Kalau isinya tidak berdasar tentu akan segera dilupakan orang. Seperti dalam pengalaman sejarah, pelarangan buku adalah iklan gratis. Publik menjadi penasaran dan memburu buku tersebut. Pasar gelap beroperasi dan buku menjadi laris, mahal dan terkenal. Dalam hal ini, Wonda boleh berterima kasih pada Jaksa Agung RI yang menjadi biro iklan sukarela untuk promosi bukunya.
Pelarangan buku Wonda oleh Kejaksaan Agung adalah kebijakan defisit. Dalam perhitungan politik, kebijakan itu merugikan citra pemerintah RI. Pelarangan buku itu simbol represi dan sikap otoriter yang diwarisi dari Orde Baru. Kebijakan ini bisa menjadi senjata untuk terus menunjukkan pada dunia internasional bahwa Indonesia yang sudah mulai demokratis, bertindak diskriminatif di Papua. (Foto: Cunding Levi, TSPP) (Versi panjang artikel ini dimuat di Tabloid Suara Perempuan Papua, awal Januari 2008)
Saturday, December 08, 2007
Debat King dan Aspinall tentang Identitas Papua (2)

Pada posting sebelumnya, debat Peter King dan Ed Aspinall menyangkut genocide dibahas. Artikel ini mengurai perbedaan pandangan King dan Aspinall tentang sikap orang Papua terhadap Indonesia dan politik identitas yang terbangun dalam konfliknya dengan Pemerintah Indonesia.
King menyatakan bahwa perbedaan Papua dan Aceh adalah bahwa si Papua tidak menganggap dirinya orang Indonesia. Katanya, ini karena adanya ketidakpercayaan mendalam yang mutual antara Papua dan Jakarta. Implisit, King bilang bahwa sikap dan pandangan nasionalis Papua ini tidak bisa berubah. Oleh karenanya, sia-sia saja Indonesia mempertahankan Papua.
Pernyataan ini langsung dikritik oleh Aspinall dengan mengatakan bahwa orang Aceh pun, sebelum Peace Talk mengklaim hal yang sama mengenai identitasnya sebagai orang Aceh, bukan Indonesia. Perubahan sikap orang Aceh setelah Peace Talk memberi pelajaran penting bahwa identitas, sikap dan aspirasi nasionalis tidaklah permanen dan abadi. Dialog—termasuk proses negosiasi substansial yang menghasilkan pengakuan dan konsesi yang adil—dapat mencairkan keteguhan ideologis para nasionalis.
Sebetulnya tidak ada yang baru dengan pendirian teoretis bahwa identitas itu konstruksi sosial dan oleh karenanya bersifat contingent, sementara dan dalam keadaan menjadi. Kemungkinan untuk selalu berubah selalu ada. Interaksi intensif dan kontestatif antarkelompok baik etnis maupun agama memang cenderung mempertajam garis-garis segregatif identitas. Frederik Barth dalam bukunya Ethnic Group and Boundaries sudah omong ‘barang’ itu sejak 1969.
Perlu digarisbawahi bahwa baik King maupun Aspinall memiliki simpati yang mendalam terhadap masalah rakyat Papua. Perbedaan keduanya terletak pada perspektif dan motif. King terjebak oleh simpatinya sebagai aktivis dan motifnya untuk mendorong Papua merdeka sehingga dia gagal menganalisis secara kritis kerangka interpretatif kalangan nasionalis Papua. Aspinall dalam hal ini lebih komparatif dan berjarak. Simpatinya tidak membuatnya mengadopsi begitu saja pandangan kelompok nasionalis Papua. Aspinall juga menggunakan perspektif komparatif dan melihat relativitas dalam masalah Papua.
Pluralitas perspektif, motif, dan pendekatan dalam masalah Papua adalah suatu kenyataan yang jelas dengan sendirinya. Ini berarti selalu ada perbedaan ketiga hal tersebut di kalangan peneliti, aktivis dan pemimpin negara. Sayangnya, masih banyak individu atau kelompok yang percaya bahwa hanya ada kebenaran tunggal. Maksudnya, mereka percaya bahwa doxa (perspektif, motif dan pendekatan) mereka lah yang paling benar.
Kecenderungan memberi label di kasus Papua adalah contoh yang relevan. Kalangan nasionalis Indonesia senang melabel siapa pun yang tidak sama pandangannya dengan mereka sebagai ‘simpatisan separatis’ atau ‘simpatisan OPM’. Di pihak lain kalangan nasionalis Papua juga punya ‘hobi’ yang sama. Mereka sering melabel siapa pun yang tidak disukai dan tidak secara eksplisit mendukung Papua Merdeka, diberi label ‘orangnya BIN’ atau ‘agen Jakarta’.
Cara berpikir yang esensialis dan singularistik seringkali membuat pluralitas dan perbedaan itu menjadi sumber konflik di antara mereka dan mengabaikan tujuan awal membantu penyelesaian masalah Papua.
Perlu dipahami oleh para nasionalis Papua maupun nasionalis Indonesia, bahwa banyak aktivis HAM dan kemanusiaan, peneliti, dan pekerja sosial lainnya tidak merasa perlu mendukung agenda politik salah satunya. Ijinkanlah setiap orang untuk bekerja dan membantu orang Papua dengan kemampuannya masing-masing tanpa harus dimasukkan kotak-kotak sebagai pendukung Papua Merdeka atau pendukung NKRI. (Foto: Hardin Halidin ALDP, 2005)
Wednesday, November 28, 2007
Debat King dan Aspinall tentang Genocide (1)
Peter King dan Ed Aspinall terlibat debat, di antaranya, tentang dua isu yakni genocide dan identitas Papua-Indonesia di Policy and Society, dengan judul Asia Early this Century: Contested Polities and Mentalities.
Sebelum membahas substansi debat, perlu diketahui bahwa Peter King itu convenor, semacam koordinator seminar dan semacamnya, di West Papua Project, Centre for Peace and Conflict Studies, University of Sidney. Dia percaya bahwa Papua potensial untuk menjadi Timor Leste yang kedua dan dia mendukung penuh gerakan Papua Merdeka. Sedangkan Ed Aspinall adalah Indonesianis yang ahli tentang gerakan mahasiswa Indonesia dan akhir-akhir ini banyak menulis tentang Aceh. Pengalaman penelitiannya di Indonesia jauh lebih banyak dan tidak terbatas Papua. Terakhir dia menulis artikel yang berjudul ‘Selective Outrage and Unacknowledged Fantasies: Re-thinking Papua, Indonesia and Australia’. Artikel inilah yang memicu King untuk memulai debat.
King mengklaim bahwa berbagai kejadian sejak berkuasanya Indonesia di Papua pada 1963 hingga sekarang ini adalah dengan sendirinya menjadi bukti praktik genocide. Dia menyebut contoh-contoh operasi militer yang diikuti dengan pembunuhan dalam skala besar, praktik rasisme dan diskriminasi yang memarjinalisasi orang Papua, serta transmigrasi dan migrasi spontan yang mengambil alih lahan, kesempatan kerja, dan sumber daya alam orang asli Papua. Bahkan program KB dan merebaknya HIV/AIDS di Papua juga dimasukkan sebagai bukti adanya genocide.
Salah satu syarat untuk tuduhan genocide harus ada bukti adanya niat (intent) dari pihak negara untuk membasmi kelompok suku atau agama tertentu. Di sini King tampak ragu. Ia bilang, soal niat itu bersifat moot atau dapat diperdebatkan dan sulit dibuktikan. Aspinall langsung menembak King secara epistemologis. King dikritik telah mereplikasi sepenuhnya kerangka pemahaman kalangan aktivis nasionalis Papua sehingga gagal menempatkan masalah-masalah dan peristiwa di Papua di dalam konteks yang lebih luas, yakni Indonesia. Aspinall mengingatkan bahwa jenis-jenis kekerasan seperti yang terjadi di Papua juga terjadi di daerah lainnya di Indonesia. Lalu, apakah kejadian di daerah lain itu dapat juga disebut sebagai bukti genocide?, tanya Aspinall secara retoris. Aspinall menasehati King agar hati-hati menerapkan konsep genocide sehingga tidak memberikan dampak politik yang menyesatkan.
Tuduhan genocide memang bukan barang baru. Yale University pernah menyimpulkan dari data-data sekunder yang tidak pernah diverifikasi bahwa ada tanda-tanda praktik genocide di Papua oleh pemerintah Indonesia. King sendiri di University of Sydney juga pernah membuat laporan dengan judul yang menggunakan kata genocide. Pada 1999, di hadapan Presiden RI B.J. Habibie, Agus Alua (sekarang Ketua Majelis Rakyat Papua) sebagai salah satu juru bicara Tim 100 bahkan menyebutkan adanya praktik genocide di Papua.
Tapi setelah sekian lama klaim genocide yang dikampanyekan ternyata tidak banyak diterima dan tidak berkembang. Bruder Theo van den Broek, Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Jayapura dan aktivis Gereja Katolik yang disegani, juga pernah menolak penerapan istilah genocide untuk kasus-kasus kekerasan negara di Papua. Setelah itu kritik juga datang dari Rodd McGibbon, Sidney Jones, dan terakhir Ed Aspinall.
Menurut saya, problematika pendirian King bersumber juga pada soal sumber data yang menyangkut intensitas dan ekstensitas kekerasan yang secara sepihak dikutipnya dari kalangan aktivis yang berkunjung ke Australia atau yang ditemuinya di Jakarta atau di tempat lain seperti Belanda. Dia tidak pernah langsung berada di Papua untuk mengumpulkan data. Ini berbeda dengan McGibbon atau Bilveer Singh yang sering ke Papua. Setelah tulisan King dan teman-temannya (termasuk John Wing) dipublikasi, hanya kelompok nasionalis Papua baik yang berada di Indonesia maupun di luar negeri semakin yakin bahwa tuduhan genocide benar dan ‘faktual’.
Perlu direnungkan oleh para aktivis dan peneliti simpatisan nasionalis Papua atau juga kalangan nasionalis Indonesia, bisa kah kita melihat masalah sejarah kekerasan dan skalanya dengan lebih jernih? Bisa kah kita dengan sungguh-sungguh meneliti dan menulis kembali sejarah kekerasan itu dengan kepala dingin dan siap menerima kenyataan bahwa apa yang kita yakini tentang sejarah kita tidak semuanya historis atau dengan kata lainnya sebagiannya terdiri dari mitos?
Kalau bisa, data-data yang kita gunakan untuk kampanye baik itu untuk penegakan HAM maupun untuk kepentingan politis lainnya akan lebih efektif. Tapi jika data-datanya terlalu bombastis dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, kampanye kita akan diabaikan begitu saja.
Sebelum membahas substansi debat, perlu diketahui bahwa Peter King itu convenor, semacam koordinator seminar dan semacamnya, di West Papua Project, Centre for Peace and Conflict Studies, University of Sidney. Dia percaya bahwa Papua potensial untuk menjadi Timor Leste yang kedua dan dia mendukung penuh gerakan Papua Merdeka. Sedangkan Ed Aspinall adalah Indonesianis yang ahli tentang gerakan mahasiswa Indonesia dan akhir-akhir ini banyak menulis tentang Aceh. Pengalaman penelitiannya di Indonesia jauh lebih banyak dan tidak terbatas Papua. Terakhir dia menulis artikel yang berjudul ‘Selective Outrage and Unacknowledged Fantasies: Re-thinking Papua, Indonesia and Australia’. Artikel inilah yang memicu King untuk memulai debat.
King mengklaim bahwa berbagai kejadian sejak berkuasanya Indonesia di Papua pada 1963 hingga sekarang ini adalah dengan sendirinya menjadi bukti praktik genocide. Dia menyebut contoh-contoh operasi militer yang diikuti dengan pembunuhan dalam skala besar, praktik rasisme dan diskriminasi yang memarjinalisasi orang Papua, serta transmigrasi dan migrasi spontan yang mengambil alih lahan, kesempatan kerja, dan sumber daya alam orang asli Papua. Bahkan program KB dan merebaknya HIV/AIDS di Papua juga dimasukkan sebagai bukti adanya genocide.
Salah satu syarat untuk tuduhan genocide harus ada bukti adanya niat (intent) dari pihak negara untuk membasmi kelompok suku atau agama tertentu. Di sini King tampak ragu. Ia bilang, soal niat itu bersifat moot atau dapat diperdebatkan dan sulit dibuktikan. Aspinall langsung menembak King secara epistemologis. King dikritik telah mereplikasi sepenuhnya kerangka pemahaman kalangan aktivis nasionalis Papua sehingga gagal menempatkan masalah-masalah dan peristiwa di Papua di dalam konteks yang lebih luas, yakni Indonesia. Aspinall mengingatkan bahwa jenis-jenis kekerasan seperti yang terjadi di Papua juga terjadi di daerah lainnya di Indonesia. Lalu, apakah kejadian di daerah lain itu dapat juga disebut sebagai bukti genocide?, tanya Aspinall secara retoris. Aspinall menasehati King agar hati-hati menerapkan konsep genocide sehingga tidak memberikan dampak politik yang menyesatkan.
Tuduhan genocide memang bukan barang baru. Yale University pernah menyimpulkan dari data-data sekunder yang tidak pernah diverifikasi bahwa ada tanda-tanda praktik genocide di Papua oleh pemerintah Indonesia. King sendiri di University of Sydney juga pernah membuat laporan dengan judul yang menggunakan kata genocide. Pada 1999, di hadapan Presiden RI B.J. Habibie, Agus Alua (sekarang Ketua Majelis Rakyat Papua) sebagai salah satu juru bicara Tim 100 bahkan menyebutkan adanya praktik genocide di Papua.
Tapi setelah sekian lama klaim genocide yang dikampanyekan ternyata tidak banyak diterima dan tidak berkembang. Bruder Theo van den Broek, Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Jayapura dan aktivis Gereja Katolik yang disegani, juga pernah menolak penerapan istilah genocide untuk kasus-kasus kekerasan negara di Papua. Setelah itu kritik juga datang dari Rodd McGibbon, Sidney Jones, dan terakhir Ed Aspinall.
Menurut saya, problematika pendirian King bersumber juga pada soal sumber data yang menyangkut intensitas dan ekstensitas kekerasan yang secara sepihak dikutipnya dari kalangan aktivis yang berkunjung ke Australia atau yang ditemuinya di Jakarta atau di tempat lain seperti Belanda. Dia tidak pernah langsung berada di Papua untuk mengumpulkan data. Ini berbeda dengan McGibbon atau Bilveer Singh yang sering ke Papua. Setelah tulisan King dan teman-temannya (termasuk John Wing) dipublikasi, hanya kelompok nasionalis Papua baik yang berada di Indonesia maupun di luar negeri semakin yakin bahwa tuduhan genocide benar dan ‘faktual’.
Perlu direnungkan oleh para aktivis dan peneliti simpatisan nasionalis Papua atau juga kalangan nasionalis Indonesia, bisa kah kita melihat masalah sejarah kekerasan dan skalanya dengan lebih jernih? Bisa kah kita dengan sungguh-sungguh meneliti dan menulis kembali sejarah kekerasan itu dengan kepala dingin dan siap menerima kenyataan bahwa apa yang kita yakini tentang sejarah kita tidak semuanya historis atau dengan kata lainnya sebagiannya terdiri dari mitos?
Kalau bisa, data-data yang kita gunakan untuk kampanye baik itu untuk penegakan HAM maupun untuk kepentingan politis lainnya akan lebih efektif. Tapi jika data-datanya terlalu bombastis dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, kampanye kita akan diabaikan begitu saja.
Subscribe to:
Posts (Atom)