Friday, March 19, 2010
PAPUA DALAM JEBAKAN PARADIGMA SEPARATISME
Konflik Jakarta-Papua yang sudah berlangsung selama 47 tahun (terhitung sejak 1963) menumbuhkan dan memapankan paradigma separatisme. Paradigma ini telah menjadi kerangka dan landasan berpikir bagi kedua belah pihak. Pada posisi yang ekstrim, segala kejadian yang terjadi di Papua dipahami dan ditanggapi dalam kerangka berpikir konflik separatisme.
Pihak Pemerintah Pusat (baca: Kemenko Polhukkam, Depdagri, dan BIN) Jakarta menempatkan tujuan pemberantasan separatisme demi mempertahankan integritas NKRI di atas semua kebijakan politik dan ekonomi lainnya. Kekerasan negara pada masa Orde Baru dianggap benar secara politik karena dianggap sebagai upaya memberantas separatisme. Ekses dari kekerasan negara yang dianggap melanggar HAM dianggap tidak lebih penting dari pemberantasan separatisme.
Pada masa Reformasi dan Otsus di Papua, praktik represi dan kekerasan negara juga masih mengatasnamakan pemberantasan separatisme. Pembunuhan Theys Eluay pada November 2001 jelas-jelas diakui di pengadilan bahwa pembunuhan itu dilakukan demi mencegah menguatnya gerakan pro-kemerdekaan Papua. Hal itu berlanjut terus pada kasus Abepura (2000), Wasior (2001), Wamena (2003), dan yang terakhir pembunuhan Kelly Kwalik.
Atas nama pemberantasan separatisme pula, pelanggaran UU “ditoleransi”. Misalnya, Inpres 1/2003 yang membagi Papua menjadi tiga provinsi nyata-nyata melanggar Pasal 76 UU 21/2001. Sebesar apa pun protes masyarakat dan kritik publik terhadap kebijakan tersebut, kebijakan tersebut dipertahankan habis-habisan oleh Depdagri dengan backup dari BIN dan Kemenko Polhukkam. Di kalangan internal mereka, alasannya jelas dan tidak pernah dibantah. Inpres Pemekaran 1/2003 adalah untuk mencegah kesatuan dan persatuan orang Papua pro-merdeka di Jayapura.
Dengan alasan membendung pengaruh asing dalam gerakan separatisme pula Papua diperlakukan sebagai daerah tertutup bagi peneliti dan wartawan asing. Fakta yang baik dan buruk menjadi kabur di Papua. Batas antara berita faktual dan rumor hasil imajinasi pelaku politik menjadi kabur. Berita resmi di surat kabar seringkali dikalahkan oleh rumor yang berkembang di kalangan masyarakat melalui sms atau bisik-bisik. Alhasil, dengan kecanggihan teknologi komunikasi telpon dan internet, representasi dan citra Papua keluar menjadi sulit diverifikasi. Kecurigaan tumbuh dengan sangat subur. Kasus-kasus kekerasan dari pihak negara atau dari pihak kelompok gerakan Papua tidak pernah terungkap tuntas.
Perangkat dan institusi penegakan hukum pun mengalami distorsi. Dalam banyak kasus politik Papua asumsi polisi, jaksa dan hakim didominasi oleh paradigma separatisme. Aksi politik mahasiswa dengan mudah dimasukkan dalam kotak separatisme. Sebelum peradilan dimulai, sikap penegak hukum sudah jelas menunjukkan apriori mereka terhadap tersangka atau terdakwa kasus politik. Contoh praktik peradilan aktivis mahasiswa Buchtar Tabuni dan kawan-kawan (2009) yang diadili dengan menggunakan pasal subversi menunjukkan hal itu. Kalau di luar Papua pasal-pasal yang dikenakan mungkin lebih ringan. Karena paradigma itu instrumen penegakan hukum juga cenderung disubordinasi dan dimanipulasi menjadi alat untuk membatasi dan membungkam ekspresi politik warga negara.
Kewaspadaan yang eksesif dan stigma separatis yang dihasilkannya digunakan lebih jauh sebagai alat kontrol dan marjinalisasi kalangan oposisi Papua. Yang paling memprihatinkan dari semuanya, paradigma separatisme digunakan sebagai topeng bagi berbagai kegagalan negara dalam menjalankan kewajibannya, yakni pelayanan publik dan penciptaan rasa aman, terhadap warga negara Indonesia di Papua. Produk yang dominan dari paradigma separatisme adalah pelanggengan impunitas dan ketidakadilan.
“Penyakit” paradigma separatisme juga menjangkiti pemimpin dan masyarakat Papua, kebanyakan pemimpin dan elit masyarakat Papua yang pro-kemerdekaan Papua. Mereka hampir selalu menggiring pemahaman semua proses politik ke arah wacana tuntutan kemerdekaan Papua. Pemerintah dianggap secara sengaja dan terencana menyingkirkan atau memusnahkan orang asli Papua karena mereka separatis.
Pihak Papua, terutama kalangan TPN/OPM dan kalangan masyarakat dan elit Papua, baik yang pernah menjadi korban langsung kekerasan negara maupun yang terkait secara kekerabatan maupun historis dengan korban, merasa telah menjadi korban kekerasan negara baik secara simbolis maupun struktural. Akibatnya tumbuh budaya teror, yakni segala hal yang buruk, bencana penyakit, dan peristiwa kekerasan hampir selalu diyakini sebagai desain pihak lain (kebanyakan Jakarta) untuk membunuh, menyingkirkan, dan memusnahkan orang asli Papua. Produk dari budaya teror ini adalah ketidakpercayaan yang mendalam terhadap pemerintah pada umumnya.
Ketika jumlah penderita HIV/AIDS di kalangan orang asli Papua meningkat pesat, banyak wacana mengatakan bahwa penyakit itu sengaja dibawa oleh aparat Polri atau TNI melalui pekerja seks yang didatangkan dari luar Papua. Virus HIV/AIDS dilihat sebagai alat untuk membunuh orang asli Papua secara perlahan agar pada akhirnya musnah dari muka bumi ini. Tidak ada pertanyaan kritis yang mencoba memahami kompleksitas pola hubungan seks di kalangan orang asli Papua, transaksi seks bebas antara Papua dengan pendatang, kebiasaan seks tanpa kondom, hingga kebijakan pemerintah dalam penanggulangan penyebaran virus HIV/AIDS.
Kebanyakan orang menjadi tidak berminat untuk melihat fakta secara jeli dan kritis tapi hanya ingin membenarkan prasangkanya. Budaya teror ini mewujud dalam ketakutan dan kebencian terhadap aparat keamanan negara secara berlebihan. Segala hal yang dianggap datang dari Jakarta cenderung dicurigai secara berlebihan. Dari sini tumbuh pula mentalitas korban. Banyak warga Papua kehilangan kemampuan memahami persoalannya sendiri secara kritis, kehilangan kepercayaan diri, dan cenderung berharap bantuan pihak lain (dari luar Indonesia) dalam menyelesaikan masalahnya sendiri.
Segala hal yang berbau internasional dilihat sebagai pengharapan baru tertinggi. Dalam proses pelaksanaan konsultasi publik akhir-akhir ini serta berbagai lokakarya, kita banyak mendengar tuntutan warga Papua untuk diadakan dialog internasional, mediator internasional, masuknya pasukan perdamaian PBB ke Papua, dan sebagainya. Tanpa berpikir lebih jauh, apa yang internasional dianggap lebih baik dan dapat menyelesaikan masalah. Seringkali pemimpin Papua sendiri juga memanipulasi mitos tentang kekuatan internasional untuk tetap mendapatkan dukungan politik dan dana dari masyarakat.
Paradigma separatisme juga membuat orang Papua mengembangkan dan memperkuat mitos bahwa orang asli Papua pasti di dalam hatinya menyimpan aspirasi M dan orang non-Papua (baca: warga Indonesia dari luar Papua) pasti pro-NKRI dan dianggap “musuh”. Perhatikan pernyataan aktivis Papua dalam berbagai diskusi atau seminar. “Saya tidak percaya kamu karena kamu orang Indonesia yang bunuh-bunuh kami.” “Hanya orang Papua yang tahu Papua dan punya hati untuk membangun Papua.” Wacana itu terus hidup meskipun sudah banyak pemimpin Papua yang menindas warga Papua atau sebaliknya orang non-Papua yang berjasa banyak bagi orang Papua.
Paradigma itu pula yang menyuburkan ketakutan dan melihat seluruh sudut bumi ini diawasi dan dikontrol oleh intel atau aparat keamanan Indonesia. Perasaan ini kuat tertanam di kalangan warga atau pemimpin Papua yang merasa dirinya diawasi karena ikut dalam gerakan politik anti-Indonesia. Misalnya seseorang sakit dan tidak mau berobat ke Jakarta karena takut nanti rumah sakitnya disusupi intel dan disuntik racun ke dalam botol infusnya. Atau juga seorang aktivis yang mengalami kecelakaan motor dan mengembangkan rumor bahwa seorang intel mendorongnya masuk ke dalam selokan. Tidak ada pertanyaan kritis muncul di situ dan orang cenderung percaya begitu saja.
Wacana separatis atau kata “merdeka” juga menjadi alat yang dianggap efektif untuk menakut-nakuti pejabat di Jakarta dengan tujuan memenuhi ambisi politik para pejabat Papua. Misalnya, ketika tuntutan pencairan dana tertentu tidak atau belum dicairkan oleh lembaga di Jakarta, intimidasi dengan menggunakan kata “merdeka” mulai bermunculan. Contoh lain yang nyata adalah salah satu alasan dimenangkannya judicial review di Mahkamah Konstitusi menyangkut 11 anggota DPRP tambahan, yakni bahwa di dalam komposisi keanggotaan DPRP yang sekarang kelompok pro-NKRI tidak terwakili. Di balik itu, sederhana saja, para pengusul dari Barisan Merah Putih, mau mengambil jatah dari 11 kursi kalau berhasil.
Paradigma separatisme juga digunakan sebagai alat untuk berlindung dari jeratan hukum oleh pejabat Papua yang korup. Beberapa pejabat korup yang mulai disidik atau bahkan sudah disidangkan, mulai membuat pernyataan-pernyataan gaya “nasionalis-Indonesia” dengan banyak menyebut kata NKRI, mengecam kelompok pro-merdeka, atau mengungkit kembali jasa-jasanya “membela” NKRI.
Keseluruhan situasi terpapar di atas menjadi salah satu sebab penting kelumpuhan dan kebuntuan politik. Pihak Jakarta cenderung mencurigai dan menolak sebagian besar inisiatif penyelesaian masalah yang datang dari Papua dengan rumusan “NKRI harga mati”. Sebaliknya pihak Papua merasa terus menerus diperlakukan tidak adil dan diakhianati oleh Jakarta sehingga juga berkeras dengan rumusan reaksioner bahwa “Merdeka adalah juga harga mati”.
Kecurigaan di antara keduanya disuburkan oleh berbagai kebijakan dari Jakarta yang represif dan tidak ramah Papua. Sebagai reaksi, berbagai aksi dan pernyataan politik dari Papua semakin memperkuat paradigma separatisme tersebut di atas.
Pada akhirnya pada satu sisi paradigma separatisme menghasilkan kebijakan dan perilaku aparat pemerintah yang justru bertentangan dengan tujuan pemberantasan separatisme itu sendiri. Pada sisi lain, hal ini memperkuat keinginan, minimal menguatkan wacana separatisme, orang asli Papua untuk memisahkan diri.
(Foto: Poster unjuk rasa Lambert Pkikir, di Arso, 2009. Isinya meminta Pemerintah RI mengembalikan Tanah Papua ke PBB. Oleh Anum Siregar, 2009)
Saturday, March 13, 2010
Pieter Drooglever Mendukung Papua Road Map
Di mata orang Papua, Pieter Drooglever pernah menjadi simbol sekaligus harapan pelurusan sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia.
Peluncuran bukunya Een Daad van Vrije Keuze di Den Haag pada 2005 dihadiri oleh pemimpin-pemimpin utama perjuangan Papua Merdeka baik yang datang langsung dari Papua maupun yang bermukim di luar negeri. Di kampung-kampung Papua, orang berdoa dengan khusuk agar buku ini dapat mengantarkan Papua segera ke pintu kemerdekaan...
Memang, banyak orang Papua pro-merdeka pada masa itu berharap bahwa peluncuran buku itu akan mendorong lebih cepat perjuangan kemerdekaan Papua. Pada perkembangannya, buku tersebut lebih bermakna akademis daripada politis. Kalangan sejarawan tidak ada yang mempersoalkan isi buku itu tetapi Pemerintah Indonesia menentang proyek buku tersebut. Bahkan Prof Drooglever tidak diijinkan melakukan kegiatan penelitiannya di Indonesia. Sementara itu Pemerintah Belanda menyadari reaksi negatif pemerintah Indonesia, tidak menunjukkan apresiasinya terhadap buku tersebut.
Drooglever itu seorang profesor yang berpengalaman selama tiga dekade memimpin proyek pendokumentasian dekolonisasi Indonesia pada Institut Sejarah Belanda (Instituut voor Nederlands Geschiedenis) di Den Haag. Pada 1980-an dia berjasa mengembangkan proyek Indonesia-Belanda untuk kerjasama budaya kedua negara. Di dalam bukunya tentang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, dia berusaha secara detil menunjukkan proses sebelum, pada saat, dan sesudah Pepera. Kesimpulan umumnya, Pepera diwarnai oleh kecurangan dan kekerasan oleh militer Indonesia.
Yang mungkin mengejutkan adalah bahwa Drooglever pada paragraf akhir bab kesimpulan buku versi Inggrisnya The Act of Free Choice (Oxford: One World, 2010), menulis sebagai berikut:
“The possibilities for a better future for the inhabitants of western New Guinea can also be found in Indonesia’s interest in the area, for Indonesia not only has a tradition of military and authoritarian rule, but also of cultured interaction and efforts to provide good government. (hal. 764)
“Kemungkinan-kemungkinan masa depan Papua yang lebih baik dapat ditemukan dalam kepentingan Indonesia di daerah tersebut, sebab Indonesia tidak hanya memiliki tradisi militer dan pemerintah otoriter, tapi juga interaksi yang berbudaya dan upaya untuk membangun pemerintahan yang baik.”
Dari sini secara implisit dikatakan bahwa Drooglever dapat melihat separuh optimisme bahwa masih ada kemungkinan masa depan Papua yang lebih baik di dalam Indonesia. Pandangannya lebih jauh dapat dibaca lebih jauh berikut ini:
“A solution should be found that combines a better future for the Papuans with the proper regulation of the eastern border of Indonesia. It would, however, appear to be a difficult to combine an open window onto the pacific with a grumbling, misunderstood and maltreated population on the Indonesian side of the 141st meridian.” (hal. 764)
“Suatu jalan keluar yang mengombinasikan masa depan yang lebih baik bagi orang Papua dengan regulasi yang tepat terhadap perbatasan bagian timur Indonesia seharusnya ditemukan. Meskipun demikian tampaknya sulit mengombinasikan jendela keterbukaan ke Pasifik dengan penduduk yang selalu protes, disalahpahami dan diperlakukan dengan buruk di bagian garis bujur 1410 Indonesia.”
Pada kutipan di atas Drooglever berharap ada jalan keluar yang tepat yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tetapi pada sisi lain dia juga masih ragu karena dia masih melihat bahwa pemerintah Indonesia cenderung salah memahami sikap dan perilaku orang Papua dan memperlakukan dengan buruk orang Papua. Secara implisit, Drooglever melihat perbedaan dan kesenjangan aspek budaya antara Papua dengan Indonesia pada umumnya.
Pada bagian lain kesimpulan dia mengulangi harapannya bahwa Papua dan Indonesia masih bisa hidup bersama. Demikian kata profesor itu:
“Finally there is the consideration that the interests of Indonesia and the Papuans, because they are neighbours and have shared history, are interwoven in many respects. The two primary motives for establishing the administrative centres in 1898 were to secure the eastern border of the archipelago and to develop the Papuans and their country. These can still go together, by hook or by crook.” (hal. 764)
“Akhirnya terdapat pengertian bahwa kepentingan Indonesia dan Papua, karena mereka tetangga dan memiliki sejarah yang sama, terkait satu sama lain dalam banyak hal. Dua motif utama membangun pusat pemerintahan pada 1898 adalah untuk mengamankan perbatasan timur nusantara dan mengembangkan orang Papua dan tanah mereka. Ini semua masih bisa jalan bersama-sama apa pun dan bagaimana pun caranya.”
Kelihatannya Drooglever berusaha untuk berhati-hati memberikan pandangannya mengenai masa depan Papua. Tetapi secara berulang-ulang dan konsisten dia menyebutkan pentingnya memperbaiki kondisi orang Papua di dalam hubungannya pemerintah dan bangsa Indonesia.
Saya menduga, salah satu sebab optimisme Pieter Drooglever bahwa akan ada jalan keluar untuk masa depan Papua yang lebih baik karena beliau sudah membaca buku Papua Road Map yang versi pendek dalam bahasa Inggris. Secara eksplisit dia menyebutkan pada halaman terakhir kesimpulannya tentang Papua Road Map karya para peneliti LIPI dan kegiatan-kegiatan yang dilakukannya:
“In this respect, the activities of the LIPI, which tries to find a way out in its recently published Papua Road Map deserve our attention.” (hal. 764)
“Dalam kaitan dengan ini semua, kegiatan-kegiatan LIPI, yang berusaha menemukan suatu jalan keluar di dalam buku Papua Road Map yang baru terbit pantas mendapatkan perhatian kita.”
Saya memang sudah beberapa kali bertemu beliau. Ketika makan malam di rumah beliau pada awal Desember 2009, saya bercerita banyak dengan beliau tentang Papua Road Map dan kegiatan LIPI bersama tim Pater Neles Tebay di Papua. Beliau menunjukkan respons positifnya terhadap upaya penyelesaian damai yang kami lakukan di Papua... Terima kasih, Pieter!
Foto:
1) Sampul buku versi Inggris (atas)
2) Prof Pieter Drooglever berpidato pada acara HAPIN di Belanda 2009 oleh penulis (tengah)
3) Sampul buku versi Belanda (bawah)
4) Sampul buku Papua Road Map (paling bawah)
Subscribe to:
Posts (Atom)