Tuesday, July 28, 2009
Kekerasan Freeport: Satu Piring dengan Banyak Sendok (1)
Sejak 11 Juli 2009, penyerangan oleh kelompok tak dikenal terhadap karyawan di Mile 51-53 terjadi di dalam areal kontrak karya PT Freeport Indonesia (Freeport). Penembakan terjadi secara sporadis dalam kurun waktu dua minggu. Polisi sudah dibantu Detasemen Khusus (Densus) 88 dan beberapa kompi pasukan TNI AD. Sejauh ini polisi baru menetapkan tujuh warga sipil dari suku Amungme sebagai tersangka. Menurut polisi, mereka ditangkap karena diduga terlibat dalam rangkaian penyerangan tersebut (pembakaran bus dan membantu penyerangan). Pelaku utama penembakan belum diketahui apalagi ditangkap.
Sejak awal pihak Kodam Trikora sudah menuduh OPM sebagai pelaku pada saat polisi baru turun di TKP. Karena tanpa dasar, tuduhan ini hilang dengan sendirinya. Poengky Indarti dari Imparsial mencurigai kalangan tentara (TNI AD). Bahkan anggota Komisi III DPR RI Suripto mengatakan bahwa kemungkinan pelakunya adalah anggota Kopassus yang desersi. Atas tuduhan ini, Pangdam Trikora sudah membantahnya. Polisi sendiri belum pernah secara eksplisit menyatakan bahwa pelakunya adalah OPM.
Fakta-fakta yang dapat dibaca adalah sebagai berikut. Pelaku menembak korban dengan berondongan peluru. Itu berarti mereka memiliki banyak persediaan peluru. Skenario penembakan diatur dengan baik, baik lokasinya yang menurun dan berbelok, pagi subuh, maupun jadwal yang pas. Meskipun polisi sudah menurunkan tim investigasi, penembakan masih terjadi. Pelaku masih berkeliaran di sekitar lokasi. Menariknya, senjata salah satu korban polisi tidak diambil oleh pelakunya.
Sebagian besar fakta di atas tidak cocok dengan kebiasaan OPM. Pertama, OPM tidak menyerang dengan memberondong, agar hemat peluru. Satu peluru harus berarti satu nyawa. Kedua, OPM biasanya menyerang mendadak dan setelah itu kabur, bukan menunggu semalaman dan tetap bertahan di tempat setelah polisi datang. Ketiga, tentara OPM dalam penyerangan terhadap aparat negara memprioritaskan perampasan senjata, bukan dengan membunuh dan meninggalkan senjata begitu saja.
Jika benar terbukti kemudian bahwa pelakunya adalah OPM, maka harus disimpulkan bahwa terjadi perubahan signifikan di dalam kapasitas perang TPN/OPM. Itu berarti bahwa OPM sudah memiliki kemampuan mengguncang stabilitas politik dan keamanan di Papua. Polisi harus meningkatkan kemampuannya. Freeport dengan sendirinya dalam keadaan terancam. Tapi, siapa percaya OPM sehebat itu? Kalau OPM sudah sehebat itu, politik dan keamanan Papua pasti sudah berantakan dan korban yang jatuh pasti lebih banyak dari itu. Jika targetnya politik, operasinya pasti tidak hanya di areal Freeport.
Mungkinkah pelakunya dari unsur aparat? Seperti disebut di atas, anggota Komisi III DPR RI Suripto menduga pelakunya anggota Kopassus desersi. Di Papua sendiri sudah sejak lama tersebar rumor bahwa dua bulan sebelum penembakan telah masuk dua pleton “pasukan” tak dikenal ke areal Timika melalui Port Site Amamapare milik Freeport. Selain itu, dirasakan oleh masyarakat di berbagai kota rawan di Papua, baik oleh pendatang maupun orang asli Papua, ada banyak orang-orang aneh mencurigakan yang ditengarai sebagai intel menyamar sebagai tukang bakso, tukang semir, pedagang keliling, wartawan, dan sebagainya.
Kecurigaan itu menguat setelah dalam Kerusuhan Abepura 2006 seorang anggota intel dari AURI tewas diserang massa demonstran. Beberapa anggota intel yang di lokasi juga diserang. Pertanyaan dapat diajukan. Apa perlunya intel TNI AU berada di lokasi demo? Apakah ia menjalankan tugas resmi atau inisiatif pribadinya? Sebenarnya berapa banyak intel ada di Papua? Bagaimana jika mereka ini terlibat dalam kekerasan seperti di Timika? Bagaimana pertanggungjawaban negara jika orang-orang ini melakukan pelanggaran hukum, mengacaukan keamanan, dan bahkan melakukan pelanggaran HAM?
Kembali ke kasus Freeport, kemungkinan pelakunya tidak berasal atau terkait dengan satu entitas saja, tetapi beberapa macam. Dari pembagian tugas, kemungkinan ini dapat dipikirkan. Bisa saja kelompok masyarakat sipil (baik yang terkait OPM maupun tidak, baik karyawan Freeport maupun bukan) bersama kelompok oknum dari aparat bersama-sama menjalankan operasi. Untuk penguasaan lokasi, hutan sekitar, pemahaman pola kegiatan di areal tambang, dan skenario pelarian dapat dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil yang mengenal wilayah itu. Untuk persiapan logistik dan persenjataan, pelaku penembakan, serta back up jika ada serangan balasan dapat dilakukan oleh oknum-oknum aparat yang memang sudah terlatih.
Kepentingan dan tujuan bersama di antara para pelaku potensial adalah “pemerasan” terhadap Freeport. Kerusuhan 1996 di Timika diikuti oleh dua hal penting. Masyarakat mendapatkan dana kemitraan (1%) sekitar US $ 35-50 juta per tahun dan TNI/Polri konon mendapatkan dana keamanan sekitar US $ 7,5-8 juta per tahun dari Freeport. Selain itu antara kelompok masyarakat sipil, TNI dan Polri juga memiliki sejarah konflik di Timika.
Perlu dicatat pula bahwa pada 2002 penembakan serupa terjadi di mile 62-63 areal Freeport. Setelah itu sejak 2006 polisi mengambil alih tanggungjawab keamanan dari tangan TNI, yang berarti hilangnya sumber pendapatan ekstra prajurit dan perwira TNI. Bisnis tambang emas tailings oleh masyarakat yang penambangnya sudah mencapai sekitar 6.000 hingga 7.000 orang dengan hasil keseluruhan sekitar 5-7 kg emas/hari merupakan arena persaingan yang perlu diperhitungkan juga.
Kini kita serahkan sepenuhnya penegakan hukum kepada polisi sambil mencermati apakah polisi melakukan tugasnya dengan jujur, obyektif dan imparsial. Presiden RI, Panglima TNI dan Kapolri harus mendukung polisi untuk menjalankan tugasnya dengan penuh. Pesan terpenting yang harus disampaikan adalah bahwa tidak ada satu pun elemen masyarakat dan negara yang dapat menikmati kekebalan hukum. (Bersambung...)
(Foto: Polisi di Kwamki Lama Timika sedang mengamankan Pilkada Bupati 2008, oleh Muridan Widjojo)
Monday, July 06, 2009
Aktivis Bukhtar Tabuni dan Paradigma Separatisme
Pada Jumat 3 Juli 2009 yang lalu, Bukhtar Tabuni divonis tiga tahun penjara oleh PN Jayapura. Vonis ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa sepuluh tahun penjara yang mengunakan pasal ‘karet’ 106, 110, 160 KUHP. Selama penahanan dan proses pengadilan, menurut pengacaranya, Bukhtar mengalami penyiksaan dan bahkan pernah dipukul sesaat sebelum pengadilan dimulai. Kasusnya menjadi perhatian, tidak hanya LSM nasional dan kalangan pemerintah pusat tetapi juga komunitas pekerja HAM internasional.
Pantaskah Bukhtar dituntut dengan pasal makar?
Begini, pada Oktober 2008 lalu Bukhtar menjadi ketua panitia demo Komite Nasional Papua Barat (KNPB) untuk mendukung pendirian International Parliamentarians for West papua (IPWP). Sesuai dengan pasal 11 UU 9/1998, sebelum demo, surat pemberitahuan sudah dikirimkan ke Polres Jayapura. Menurut pasal 13 UU tersebut, polisi harus mengeluarkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP). Sampai di sini terlihat bahwa Bukhtar Tabuni patuh pada hukum yang berlaku.
Tapi STTP tidak dikeluarkan dan demo tetap berlangsung. Selama demo berlangsung polisi pun tidak berupaya membubarkan. Demonya sendiri berlangsung tanpa insiden kekerasan. Aman-aman saja, meskipun penjagaan polisi sangat ketat. Tidak lama setelah itu Bukhtar Tabuni, Sebi Sambom, dkk, ditangkap. Menurut polisi, beberapa peserta demo mengeluarkan tulisan yang bernada “separatis”.
Tidak jelas apakah polisi mendapat tekanan atau kah karena perasaan nasionalisme yang berlebihan. Yang pasti polisi dan jaksa berusaha keras menjerat Bukhtar Tabuni dengan pasal makar. Selama persidangan, penjagaan polisi terhadapnya termasuk super ketat. Seakan-akan lelaki muda kurus dan kecil ini orang yang berbahaya bagi banyak orang. Dengan menggunakan pasal makar, anak muda ini seakan-akan dianggap sebagai musuh negara.
Para aktivis HAM nasional dan internasional percaya bahwa perlakuan terhadap Bukhtar Tabuni dkk adalah bukti perlakuan diskriminatif penegak hukum terhadap orang asli Papua. Banyak demo di luar Papua dengan cara yang kurang lebih sama tidak mendapatkan hukuman apa-apa. Bahkan, menurut pengacara Bukhtar Tabuni, Anum Siregar, SH., demo ormas tertentu yang menuntut negara Islam pun tidak pernah ditangkap atau dihukum. Seharusnya demo Bukhtar Tabuni diletakkan dalam kerangka kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945.
Pengadilan Bukhtar Tabuni merupakan pengulangan dari banyak peristiwa politik dan hukum di Papua. Ingat pengadilan sejumlah anak muda untuk kasus 16 Maret 2006. Atau kasus yang dijalani oleh Filep Karma, Yusak Pakage dkk. Pada kedua kasus yang belakangan disebut ini hukumannya jauh lebih berat. Bahkan ada yang di atas 10 tahun penjara.
Suka atau tidak suka, kasus Bukhtar Tabuni menunjukkan bahwa hukum Indonesia dimanipulasi oleh negara sebagai alat represif bagi kalangan aktivis Papua yang berseberangan pendapat dengan pendapat mainstream negara. Dengan kata lain, demokratisasi yang progresif di Indonesia tidak berlaku atau dikecualikan untuk Papua. Negara melakukan diskriminasi terhadap orang asli Papua dalam menjalankan hak-hak sosial politiknya.
Mengapa orang asli Papua mengalami diskriminasi politik?
Apakah karena orang asli Papua berkulit hitam, berambut keriting, dan ber-ras Melanesia? Menurut analisis saya, bukan karena faktor-faktor rasis tersebut di atas. Tetapi lebih karena hubungan Papua dan Jakarta selama lebih 40 tahun ini didominasi oleh paradigma konflik separatisme versus NKRI. Segala perlawanan politik yang dilakukan oleh orang asli Papua diletakkan dalam kerangka konflik separatisme. Oleh karena itu para pelakunya yang orang asli Papua pun diberi label atau stigma separatis. Dalam praktek hukum pun, pasal karet makar dengan mudah digunakan meskipun fakta-fakta hukum tidak mendukung.
Akibat lebih jauh, protes yang tidak jelas-jelas menuntut kemerdekaan pun tetap dipahami sebagai bagian atau terkait dengan kegiatan separatisme. Para aparatur negara terpenjara pikirannya oleh paradigma ini. Pada sisi lain kebanyakan orang Papua pun ikut-ikutan terjebak pada paradigma separatisme ini. Banyak kalangan atau individu di Papua, dari masyarakat sipil atau pun pejabat negara, ketika sudah merasa frustasi dengan soal publik, negara, dan Jakarta, mereka dengan mudah menyebut kata ‘merdeka’.
Terlepas dari manipulasi kata ‘merdeka’ dan ‘NKRI’, paradigma konflik separatisme versus NKRI telah menyandera proses demokratisasi dan pembangunan di Papua. Soal-soal mendasar, yang menjadi akar konflik Papua, misalnya pelanggaran HAM, marjinalisasi orang asli Papua, kegagalan pembangunan dan pemahaman sejarah yang kontradiktif, dianggap sensitif dan dihindari karena bersinggungan dengan tabu-tabu politik bagi penganut paradigma konflik separatisme.
Jika paradigma ini berhasil dilestarikan oleh para spoiler demokrasi dan perdamaian di Papua, yang menjadi korban tidak hanya orang asli Papua, tetapi juga masa depan republik ini. Integrasi politik, integritas republik, dan kualitas demokrasinya akan selalu tercoreng tidak hanya di mata dunia tetapi juga di mata warga negaranya sendiri.
(Foto: Peringatan Hari Anti Penyiksaan "Keadilan Tanpa Diskriminasi" 26 Juni 2009 di LP Abepura. Dari kiri Muridan Widjojo, Bukhtar Tabuni, Sebi Sambom, dan Kepala LP Abepura Antonius Arubaya, foto diambil oleh Tim ALDP Jayapura)
Subscribe to:
Posts (Atom)