Tapi LEMASA sebagai alat perjuangan meredup sejak akhir 1998 ketika Benny disibukkan proyek-proyek dari Freeport. Juga ketika Tom menerima posisi sebagai komisaris Freeport dan aktif sebagai Wakil Ketua Presidium Dewan Papua (PDP). Tidak hanya Benny dan Tom yang meninggalkan LEMASA, tetapi yang lain kemudian aktif mengelola dana kemitraan 1 persen dari Freeport di bawah payung Lembaga Pengembangan Masyarakat Irian Jaya (LPMI) pimpinan Meno Yopi Kilangin... Sebagian besar Amungme lalu lupa bahwa LEMASA adalah akar kekuatan yang harus dijaga dan ditumbuhkan...
LEMASA stagnan sejak kepemimpinan Paulus Kanongopme. Fungsi utama LEMASA sebagai representasi Amungme dan pelayan masyarakat Amungme dalam penyelesaian konflik tidak ada lagi. Paulus tidak memperhatikan kegiatan lembaga dan lebih sering berada di luar untuk urusan di luar lembaga. LEMASA pun ambruk pelan-pelan. Pada masa itu saya mencoba mengingatkan para tokoh muda Amungme untuk segera membuat Musdat baru mengatasi hal ini, tapi tidak ada tindak lanjut. Sejak 2004, setelah Paulus meninggal, LEMASA dikelola sementara oleh beberapa Amungme dan memang tidak ada perbaikan. Direktur LEMASA definitif harus menunggu Musyawarah Adat (Musdat).
Singkat cerita, pada Februari 2007 diselenggarakan Musdat LEMASA dengan biaya yang rencananya Rp 1 milyar dan membengkak Rp 1,5 milyar. Pada forum ini Amungme Naisorei (Dewan Adat Amungme) memilih direktur baru LEMASA Yan Onawame, yang merupakan pensiunan PNS Kehutanan. Dia tidak punya banyak catatan dalam perjuangan LEMASA sebelumnya. Pada masa ini dana untuk LEMASA berlimpah, sekitar Rp 4 milyar dari LPMAK dan Pemkab Mimika. Tetapi dana itu menjadi jebakan sosial. Kegiatan kelembagaan yang substansial tidak jalan. Para pengurusnya hanya sibuk dengan alokasi uang. Diperkirakan untuk honorarium diperlukan Rp 1,8 milyar per tahun dan yang lainnya digunakan secara tidak produktif bagi lembaga. Yan juga belakangan dituduh menggelapkan bantuan Rp 2 milyar dari pemerintah.
Selanjutnya, cerita LEMASA kini dipenuhi dengan konflik internal. Yan Onawame dan pengurus di bawahnya dipecat oleh Torei Negel Tom Beanal. Alasan pemecatan intinya mengatakan bahwa Yan dianggap gagal sebagai direktur. Tom menunjuk pengurus baru sementara untuk selamatkan LEMASA. Di pihak Tom dkk dan wartawan bisa bertemu tapi entah dimana. Merasa disingkarkan oleh Tom, Yan menuntut balik sebesar Rp 1 trilyun. Sudah dapat diduga bahwa akan ada kejadian-kejadian lain yang memalukan Amungme.
Sekarang ini, jangan harap lagi LEMASA mampu melayani Amungme dan menjalankan fungsi seperti pada masa 1994-1998. Sejak 1999, peran LEMASA dalam penyelesaian konflik di Kabupaten Mimika hampir nol. Pemimpin Amungme selevel Tom Beanal dan Yopi Kilangin tidak akan muncul lagi jika arena kepemimpinan seperti LEMASA tidak berfungsi lagi. Tidak akan ada lagi orang Amungme yang mampu secara berwibawa berbicara dan bertindak atas nama masyarakat adat Amungme. Tidak ada lagi orang Me, Jawa, atau Bugis yang mengadu kepada LEMASA karena tanahnya diserobot oleh orang Dani, Me, atau yang lainnya.
Tidak ada lagi arena bagi orang Amungme untuk datang dan berkumpul bercerita sambil belajar, mengklarifikasi rumor, serta rumah bagi siapa saja yang ingin dilindungi hak-haknya berdasarkan adat. Tidak ada lagi Amungme yang kuat dan membuat orang-orang lain menganggukkan kepalanya... Atau masih ada generasi muda?
Amungme tidak lagi mampu berbicara dengan berwibawa di Amungsa. Siapa pemimpin Amungme yang sekarang sudah hidup ‘makmur’ mampu dan mau menyadari situasi ini dan berjuang untuk mengatasinya? (Foto: Tua-tua adat Amungme di Gereja Tiga Raja Timika, oleh Muridan Widjojo, 2004)