Sunday, July 15, 2007
Yerry dan Pendidikan Asrama
Sudah menjadi rahasia umum kalau mutu pendidikan di Papua secara umum sangat rendah. Sulit mencari sekolah dasar atau menengah yang terpencil dari kota tapi memiliki perangkat pendidikan yang memadai dan pendidikan bisa berjalan normal. Seringkali ada gedung sekolah, tapi guru-guru sibuk ke kota. Ada guru-guru tapi murid-muridnya kabur. Ada guru dan murid tapi sarana dan kesejahteraan guru diabaikan. Selalu saja ada yang membuat proses belajar-mengajar terganggu. Dan tentu saja ide dan upaya peningkatan kualitas belum sempat dinikmati hingga hari ini meskipun Papua sudah menikmati dana Otsus sejak 2002.
Bagaimana memperbaiki pendidikan di Papua dengan dana Otsus yang sangat berlimpah? Kalau ada anggaran cukup, guru bisa digaji baik, dan gedung sekolah serta fasilitas lainnya bisa dipenuhi, paradigma dan metode apa yang tepat meningkatkan kualitas manusia Papua melalui pendidikan formal? Yang masih dipercaya oleh banyak pendidik di Papua sekarang ini adalah pendidikan berpola asrama. Banyak intelektual Papua terkemuka sekarang ini adalah produk sekolah-sekolah berasrama.
Ketika penelitian di Hepuba Wamena pada 1993, saya biasa iseng menggendong bayi bernama Yerry Wetapo. Ketika ngobrol dengan bapaknya, Dam Wetapo, kami biasa membahas pendidikan dan masa depan Yerry. Ketika, tiga belas tahun kemudian, saya kembali ke kampung Yerry, Yerry sudah besar dan hampir kelas dua SMP. Yang mengejutkan dan mengharukan, anak ini memiliki niat dan semangat yang kuat untuk bersekolah ke Jawa. Dia ingin saya membawanya ke Jawa agar bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik di sana.
Pada 2006 itu saya masih takut membawanya karena saya cuma peneliti pegawai negeri dengan gaji kecil pas-pasan. Namun selama setahun, Yerry mengganggu perasaanku terus. Oleh karenanya pada 2007 saya putuskan untuk membawa Yerry ke Bogor. Dengan persetujuan keluarga dan dukungan teman-teman di Jayapura dan di Jakarta, terutama Riella Rusdiarti, Yulia Sugandi dan Anang Noor, kami sepakat share biaya transport dan sekolah Yerry. Karena kebaikan hati Uskup Bogor Mgr Michael Angkur pula, Yerry bisa lolos masuk SMPK berasrama Mardi Yuana di Sindanglaya Cipanas.
Mengapa Yerry harus dibawa ke Jawa? Kesenjangan mutu sekolah antara di Papua dan di Jawa sangat menyedihkan. Contohnya, setelah tes, sekolah baru Yerry memutuskan agar Yerry mengulang di kelas 1 padahal di sekolah lamanya, dia bisa naik ke kelas 2 dengan nilai baik. Membawa Yerry ke Jawa tentu tidak mengubah situasi pendidikan di Papua, tapi setidaknya memberi pendidikan yang lebih baik pada satu anak Papua akan bisa mengubah sesuatu di masa depan.
Mengapa Yerry harus dikeluarkan dari lingkungan keluarga dan kampungnya? Mengamati situasi pendidikan dan sosial saudara-saudaranya dan kebiasaan buruk masyarakatnya di Wamena, dipastikan Yerry tidak akan bisa melanjutkan pendidikannya dengan baik. Alkoholisme, seks bebas, disiplin sekolah yang rendah, dan kemiskinan, tidak akan membuat Yerry dengan mudah meneruskan sekolah, kecuali Yerry memang jenius dan kuat menentang arus. Yerry hanyalah anak biasa, tidak jenius dan tidak sepenuhnya menentang arus. Tapi dia masih punya semangat untuk sekolah dan memiliki cita-cita. Itu lebih dari cukup.
Mencabut Yerry dari keluarganya dan membawanya ke Jawa untuk sekolah tentu tidak menyelesaikan masalah pendidikan di Papua. Tapi setidaknya kita menabung untuk masa depan. Setidaknya akan ada seorang Yerry yang sekolahnya baik seperti anak-anak lainnya di Indonesia. Mungkin kelak dia akan masuk universitas dan menjadi salah satu intelektual terkemuka di Papua. Atau mungkin dia akan menjadi seorang profesional yang bisa bersaing dengan orang Indonesia terdidik lainnya.
Banyak Yerry-Yerry lain di Makassar, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Jakarta, dan lain-lain. Semoga ini baik untuk Papua yang lebih baik, berkeadilan dan damai di masa depan...Tentu kita harus terus membantu agar kondisi pendidikan di Papua diperbaiki.
Subscribe to:
Posts (Atom)