Thursday, May 15, 2008

Demokrasi mulai tumbuh sehat di Mimika?


Pada 9 Mei 2008 Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Mimika Anna Balla mengundang saya untuk menjadi salah satu panelis dalam acara debat publik calon bupati dan wakil bupati Mimika di Kota Timika pada 14 Mei 2008. Tentu saja saya dengan senang menerimanya. Acara semacam ini baru yang pertama di Papua untuk Pilkada tingkat kabupaten/kota. Apalagi acaranya disiarkan secara live oleh Metro TV Papua.

Saya tiba di Timika 13 Mei pagi. Tiga panelis lainnya juga sudah tiba, yaitu Prof. Dr. Basri Hassan dan Dr. Hendri Mahulete. Keduanya dosen di Universitas Cenderawasih. Yang ketiga adalah mantan Wakil Gubernur Papua masa Jaap Solossa, yaitu Drh. Constan Karma. Setelah makan siang, kami para panelis melakukan koordinasi dengan pihak Metro TV Papua. Bersama dengan penyiar terkenal TVRI Usi Karundeng yang akan menjadi moderator debat publik, kami berdiskusi tentang masalah-masalah Mimika agar Usi menjadi paham dengan isu-isu strategis di Mimika.

Debat publik diadakan pada 14 Mei 2008 jam 10.00 pagi. Para calon bupati (cabup) dan wakil bupati (cawabup) ada empat pasang: 1) Yan Yoteni-Paulus Pakage, 2) Hans Magal-Sutoyo, 3) Klemen Tinal-Abdul Muis, dan 4) Yopi Kilangin-Yohanis Helyanan. Cabup No 1 Yoteni secara umum tidak meyakinkan. Pidatonya cenderung umum dan tidak konkrit. Ini bisa dipahami karena pengalamannya sebatas organisasi olah raga dan karyawan biasa Freeport. Sedangkan Cabup No 2 Magal berbicara lantang meyakinkan, tapi memang dia terlalu muda (32 tahun) dan miskin pengalaman. Pengalaman utamanya hanya di lingkungan gerakan mahasiswa. Mungkin lima tahun lagi setelah aktif di lembaga legislatif dia akan lebih matang dan siap untuk menjadi bupati.

Cabup No 3 Tinal sebagai incumbent cukup mengherankan karena visi misi dan program kerjanya tidak realistis, misalnya membuat transportasi trem seperti di Belanda. Kalangan kritis di Mimika mengatakan pembangunan kurang berhasil saat dia menjadi bupati. Justru infrastruktur Kota Mimika, seperti jalan dan drainase, membaik secara signifikan berkat kerja Pejabat Bupati Alo Rafra selama dua tahun terakhir. Di Timika, cabup No 3 ini dikenal memiliki modal uang yang paling besar untuk kampanye. Sedangkan Cabup No 4 Kilangin adalah bekas pastor dan memiliki pengalaman panjang di dunia Gereja Katolik, lembaga adat, gerakan pro-demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan lembaga pengembangan masyarakat. Pendapat sejumlah orang yang saya temui, pasangan Kilangin-Helyanan memiliki peluang menang paling besar. Beberapa orang lain mengatakan Hans Magal juga berpeluang karena berpasangan dengan H. Sutoyo dari PKS representasi kelompok Islam pendatang.

Menarik untuk dicatat bahwa semua calon bupatinya adalah orang asli Papua meskipun UU No 32 tentang Pemerintahan Daerah memungkinkan pendatang menjadi calon bupati. Ini menunjukkan konsensus politik yang penuh pengertian di Papua, dan Mimika khususnya, bahwa orang asli Papua diakui memiliki kesempatan terbesar untuk menjadi pemimpin. Ini juga berarti bahwa pemimpin Papua memiliki kesempatan untuk menentukan masa depan politik dan ekonomi di Papua. Para pendatang rupanya sudah cukup tahu diri dengan mencalonkan diri sebatas sebagai wakil bupati. Ini juga sekaligus menunjukkan bahwa sebenarnya pendatang juga memiliki kekuatan politik yang juga menentukan di Papua. Saling pengertian secara politik ini mesti terus dipelihara.

Siapa pun yang akan menang pada 19 Mei nanti, kita mengharapkan proses yang damai sampai tahap pengumuman pemenangnya. Yang kalah diharapkan tidak mencoba mendelegitimasi hasilnya apalagi bertindak vandalistis. Untuk tahap ini, kita harus menghargai keberhasilan KPU Mimika membuat tradisi baru di Papua yaitu debat publik yang disiarkan secara live oleh TV dan radio ke antero Papua. Suasana dalam debat itu meskipun serius dan menegangkan, terasa menyenangkan karena diselingi suasana ramah dan lucu. Panelis pun berusaha membuat kandidat bisa menampilkan yang terbaik dari masing-masing. Moderator Usi Karundeng juga sukses mengatur jalannya acara dan menjaga suasana hati publik dengan simpatik. Acara berakhir dengan salaman dan senyum lebar tanpa insiden yang memalukan atau yang bernuansa kekerasan.

Keberhasilan debat publik ini terselenggara secara damai sangat membesarkan hati karena Timika sebelumnya telah mencatat berbagai peristiwa kekerasan mulai dari kekerasan antaretnis Papua, antara pendatang dengan Papua, hingga kekerasan antara aparat keamanan dengan orang asli Papua, bahkan antaraparat keamanan sendiri. Katakanlah mulai dari temuan pelanggaran HAM 1994 dan 1997, kekerasan massal merusak fasilitas Freeport 1996, konflik antarkelompok suku pada 1997 dan 2006, hingga insiden kecil lainnya yang bernuansa ketegangan antaretnis Papua dengan pendatang. Bahkan ketegangan antarumat beragama pun sempat muncul di sini.

Praktek Pilkada di Mimika menunjukkan bahwa demokrasi mulai terlembaga dengan baik di Papua. Diskriminasi politik pun berkurang secara signifikan. Orang Papua, baik yang pernah dilabel separatis oleh pihak keamanan atau pun yang dilabel pro-NKRI, semuanya punya kesempatan untuk maju sebagai bupati atau calon bupati. Pihak pemerintah tidak bisa lagi mengintervensi KPU. Selama kandidat memenuhi persyaratan menurut undang-undang, semuanya berhak maju dalam pilkada. Cerita tentang intervensi TNI atau Pemerintah Pusat terhadap calon bupati atau walikota adalah ceritera masa lalu. Satu-satunya intervensi paling mungkin adalah kantor pusat partai-partai politik peserta pemilu namun itu pun suara pengurus partai setempat masih menentukan.

Semoga demokrasi yang sudah bersemi terus tumbuh di Papua. Dari demokrasi yang prosedural hingga meningkat kualitasnya menjadi demokrasi yang substansial...(Foto para calon bupati dan wakil bupati dibuat oleh Seman/Nanda, Timika 2008)

2 comments:

Anonymous said...

saya salut anda adalah salah satu orang yg memperhatikan amsalah papua.
salam kenal
Oktovianus Pogau

muridanwidjojo said...

Bung Okto,
Terima kasih untuk apresiasi anda. Salam kenal kembali. MSW