Sunday, December 26, 2010

Refleksi untuk 2010 dan Doa untuk 2011

Pernahkah pembaca bertanya mengapa saya terpaksa berhenti menulis di blog ini sejak Mei 2010?

Sebelum menjawabnya, saya ingin minta maaf lebih dulu. Terutama untuk sejumlah pembaca yang selalu menunggu posting baru dari blog ini. Tahun 2010 adalah tahun yang sangat sibuk bagi Jaringan Damai Papua (JDP) yang baru berdiri Januari 2010 di Sentani. Kebetulan, saya merupakan salah satu anggotanya dan ikut sibuk.


Enam bulan pertama, JDP disibukkan oleh konsultasi publik di seluruh Tanah Papua dengan target sembilan wilayah (7 wilayah adat dan 2 wilayah istimewa). Hingga akhir tahun 2010 ini setidaknya JDP berhasil menyelenggarakan secara formal konsultasi di sebelas wilayah. Jumlah itu tidak termasuk konsultasi informal dan spontan di berbagai tempat di Tanah Papua. Selain itu, JDP juga sedang menyelenggarakan konsultasi publik dengan para pimpinan “pendatang” di Tanah Papua.

JDP berusaha agar konsultasi ini membuat pemangku kepentingan dalam konflik Papua benar-benar mengerti konsep dialog. Selanjutnya, JDP kini sedang mengolah pendapat dan masukan seputar dialog Jakarta-Papua, terutama menyangkut agenda, tempat, format dan juru runding dari kalangan pimpinan Papua akar rumput. Hasil-hasil ini akan diserahkan kepada pemimpin Papua. Setidaknya, hasil konsultasi itu menjadi dasar bagi perumusan proses dialog ke depan.

Sepanjang 2010 ini juga merupakan tahun refleksi para pemimpin Papua di mana pun untuk menyadari fragmentasi dan friksi di antara mereka. Sebagian telah mulai membangun komunikasi yang rekonsiliatif. Senang sekali bahwa sebagian pimpinan Papua yang sebelumnya tidak memiliki hubungan baik kini menjadi lebih baik. Yang sudah baik menjadi lebih baik. Cepat atau lambat, kita harapkan terjadi konsolidasi dan terbangun representasi Papua yang kredibel dan memiliki legitimasi tinggi.

Sementara itu, di Jakarta, tim JDP membuat pertemuan kecil lobi, briefing, lokakarya, hingga seminar yang menghadirkan ratusan undangan. Targetnya hanya dua. Pertama, menggalang dukungan publik terhadap inisiatif dialog Jakarta-Papua. Untuk ini JDP membangun koalisi dengan LSM, media massa, dan jaringan Gereja. Kedua, membangun pengertian dan empati politik serta suasana ramah bagi dialog Jakarta-Papua sehingga memungkinkan pemerintah pusat menyetujui inisiatif dialog. Untuk ini JDP menguatkan pokja friends of dialogue yang terdiri dari orang-orang dan lembaga strategis di pemerintah pusat. Do’anya satu saja: Pak SBY setuju bikin dialog dengan Papua.

Gagasan Papua Road Map hingga akhir 2010 ini sudah sangat dikenal di kalangan pemerintah pusat. Puncaknya, pada 23 November 2010, Papua Road Map dipresentasikan di depan Wapres RI Boediono dan dihadiri oleh tiga menko serta empat menteri Kabinet Indonesia Bersatu II. Intinya, pemerintah tidak bisa hanya serius dengan kebijakan pembangunan sosial-ekonomi tetapi harus juga pembangunan politik. Untuk pembangunan politik, acuannya adalah pidato Pak SBY 16 Agustus 2010 tentang komunikasi konstruktif. Jika dipikirkan secara sungguh-sungguh, substansi komunikasi konstruktif itu tidak lain yaitu dialog yang konstruktif antara Jakarta dan Papua.

Di bawah bayang-bayang konflik kekerasan Papua dan ketidakpercayaan Papua terhadap Jakarta, dengan nekad saya katakan bahwa mengacu pada pengalaman 2010 ada indikasi perubahan sikap di lingkaran dalam pemerintah pusat. Untuk itu, kita tidak boleh hanya optimis, tetapi juga bekerja full time membantu pemerintah pusat menyelesaikan akar-akar konflik Papua secara menyeluruh melalui dialog. “Membantu” itu bisa berarti mengeritik pemerintah di media massa, menjadi konsultan di dalamnya, atau membentuk tim bayangan yang dapat memberikan bantuan keahlian, dan seterusnya.

Selanjutnya, mari kita memanjatkan doa dan harapan untuk tahun 2011:

Ya Tuhan,
Pertama, ilhami Presiden SBY agar menunjuk utusan khusus yang tepat dan amanah untuk memulai tahap pra-dialog antara Jakarta dan Papua…
Kedua, berkati para pemimpin Papua di berbagai belahan bumi agar semakin bersatu, memilih wakilnya dengan ikhlas, dan bersungguh-sungguh mempersiapkan dialog dengan pemerintah pusat…
Ketiga, berikan kami JDP dan semua pekerja perdamaian Papua kekuatan agar dapat terus membangun jembatan yang menghubungkan Jakarta dan Papua hingga terbangun kesungguhan bagi kedua belah pihak untuk berdialog…


SELAMAT NATAL DAN TAHUN BARU

Foto Atas: Bendera PBB pada Demo Pengembalian Otsus 8 Juli 2010/Muridan Widjojo
Foto Bawah: Spanduk "Otsus Gagal" pada 8 Juli 2010/Muridan Widjojo

Sunday, May 23, 2010

Konsultasi Publik dan Fondasi Dialog Jakarta-Papua (2)


Pada edisi sebelumnya, saya bercerita tentang mengapa Konsultasi Publik (KP) Dialog Jakarta-Papua diperlukan. Pada kesempatan ini saya ingin bercerita sejauh mana KP dapat dilangsungkan di Tanah Papua dan keadaan apa saja yang dihadapi oleh Jaringan Damai Papua (JDP).

Masukan-masukan dari kegiatan konsultasi publik (KP) di sembilan kabupaten telah dicatat oleh JDP. Hal-hal yang menyangkut TOR Dialog semacam representasi, agenda atau materi dialog serta keterlibatan pihak ketiga di dalam dialog sudah dihimpun. Pelajaran dan pengalaman selama konsultasi publik juga akan dilaporkan secara menyeluruh. Untuk sementara ini, demi lancarnya proses pra-dialog, hasil-hasil KP JDP akan dikomunikasikan secara hati-hati kepada pimpinan-pimpinan Papua dan pihak pemerintah Republik Indonesia di Jakarta sebagai bekal persiapan dialog.
Model konsultasi publik yang mengundang 50 pemimpin Papua akar rumput di masing-masing wilayah berlangsung secara mulus di Wamena, Timika, Biak, Enarotali, Merauke dan Jayapura.

Model KP yang mengundang 50 pemimpin Papua akar rumput di masing-masing wilayah berlangsung secara mulus di Wamena, Timika, Biak, Enarotali dan Merauke. Para peninjau yang di luar dari 50 perwakilan diijinkan untuk berada di dalam ruangan dan jika mereka memiliki pertanyaan atau komentar mereka dapat meminta salah satu dari perwakilan untuk meneruskan pertanyaan atau komentar mereka. Selama waktu jeda, mereka melobi perwakilan yang mereka kenal untuk menyampaikan aspirasi mereka. Praktik yang baik sudah terjadi di Biak dan Merauke.

Beberapa kelompok masyarakat Papua ada yang merasa kurang nyaman dengan sistem representasi 50 orang yang diperkenalkan oleh JDP. Perwakilan masyarakat yang jumlahnya 50 orang dianggap tidak cukup. Ini jelas sekali terlihat saat KP di Sorong dan Manokwari. Ketidakpercayaan terhadap pemimpin sendiri masih tinggi. Ketidakpercayaan dan kecurigaan terkait dengan pengalaman pahit sejarah Pepera 1969. Mereka juga menuduh bahwa KP dilakukan secara tertutup dan tidak transparan. Yang mereka inginkan adalah suatu KP di mana semua orang dapat mendengar dan menyatakan gagasannya tanpa batasan.
Banyak peserta akhirnya menyadari pentingnya konsolidasi dan persatuan di kalangan pemimpin Papua dan kalangan akar rumput agar mampu mempersiapkan lahan untuk dialog.

Banyak peserta akhirnya menyadari pentingnya konsolidasi dan persatuan di kalangan pemimpin Papua dan kalangan akar rumput agar mampu mempersiapkan lahan untuk dialog. Otokritik ini muncul banyak kali terkait dengan kondisi sosial politik masyarakat yang terfragmentasi di dalam sekat-sekat etnisitas, faksi-faksi politik dan keagamaan. Selain itu, partisipan KP juga menyadari bahwa kebijakan pemerintah tentang pemekaran provinsi dan kabupaten dan rekrutmen anggota baru “Barisan Merah Putih” memperburuk friksi dan fragmentasi yang sudah ada di kalangan masyarakat.

Mayoritas partisipan KP kebanyakan datang dari kelompok-kelompok pro-merdeka atau kelompok moderat tengah lainnya. Meskipun kelompok pro-Indonesia semacam kelompok “Merah Putih” telah diundang, mereka cenderung untuk tidak hadir kecuali di Wamena. Di Wamena ada tiga partisipan KP dari pro-“Merah Putih” yang hadir ternyata tidak diganggu sama sekali dan bebas menyatakan pendapatnya. Pada saat yang kurang lebih sama, di Wamena kelompok “Merah Putih” juga melakukan pertemuan di suatu hotel di Wamena.

Perwakilan kelompok bersenjata yang sering disebut dengan TPN/OPM juga hadir pada KP di sejumlah kabupaten, misalnya di Wamena, Timika, Biak, Manokwari dan Enarotali. Tidak satu pun dari mereka yang secara terbuka menolak gagasan dialog. Semuanya menyatakan persetujuannya terhadap gagasan JDP. Di Timika utusan khusus kelompok ini bertemu dengan pimpinan JDP dan secara eksplisit menyatakan dukungan mereka.

Penolakan datang dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang menuntut referendum yang memang menjadi agenda bersama mereka dengan Free West Papua Campaign di bawah kepemimpinan Benny Wenda di Oxford Inggris. Meskipun mereka menolak, JDP tetap mengundang perwakilan kelompok ini. Di Manokwari dan Timika perwakilan mereka hadir. Konsisten dengan agenda mereka sendiri, mereka menuntut referendum sebagai jalan penyelesaian konflik Papua. Kalau pun diadakan dialog harus melibatkan pihak ketiga internasional. Sebagai tambahan, mereka menyatakan kecurigaan pada LIPI sebagai salah satu inisiator KP karena LIPI adalah lembaga negara. Ini penting untuk dicatat bahwa JDP bersifat terbuka dan merangkul semua pihak.
Format mediasi dan agenda dialog bukanlah wewenang JDP sebagai fasilitator. Hak dan wewenang untuk menentukan format mediasi dan agenda dialog berada di tangan pihak-pihak yang berkonflik yakni pemerintah Indonesia dan pemimpin Papua.

Selama KP diadakan, ada dua demo yang diberitakan oleh koran lokal menolak Dialog Jakarta-Papua. Meskipun demikian, setelah pembicaraan dengan koordinator JDP dengan pendemo, pertama, disimpulkan bahwa ada semacam salah paham di pihak pendemo tentang konsep dialog yang kemudian diperburuk oleh rumor sms di antara aktivis lokal. Kedua, di Manokwari misalnya, demo dibuat oleh beberapa orang dari KNPB dan WPNA yang menuntut dialog internasional yang menjamin keadilan. Itu berarti bahwa mereka tidak menolak gagasan dialog itu sendiri. Mereka mencurigai bahwa JDP sudah menentukan format dialog nasional tanpa mediator internasional. Perlu dipahami, format mediasi dan agenda dialog bukanlah wewenang JDP sebagai fasilitator. Hak dan wewenang untuk menentukan format mediasi dan agenda dialog berada di tangan pihak-pihak yang berkonflik yakni pemerintah Indonesia dan pemimpin Papua.

Kehadiran agen-agen intelijen dalam jumlah lebih dari sepuluh orang di masing-masing KP sangat menyolok dan cenderung mengganggu ketenangan panitia lokal dan partisipan.

Kehadiran agen-agen intelijen dalam jumlah lebih dari sepuluh orang di masing-masing KP sangat menyolok dan cenderung mengganggu ketenangan panitia lokal dan partisipan. Di Wamena paling tidak ada duabelas agen intel di dalam dan di luar gedung pertemuan. Bahkan salah seorang agen mengambil materi KP tanpa ijin sehingga mengundang reaksi tak ramah panitia. Di Biak beberapa agen intel dengan mengacungkan pistol mengejar salah satu anggota panitia lokal yang untungnya dapat diselamatkan. Jumlah agen intel yang hadir terbanyak di Merauke. Mereka tersebar di dalam gedung, di pintu masuk, di jendela-jendela gedung dan berseliweran di sekitar acara. Mereka memotret, merekam suara dan gambar dengan cara yang menyolok. Bahkan salah seorang perwira intel mendesak untuk mendapatkan daftar partisipan. Panitia diancam, jika daftar tak diberikan, acara serupa akan dibubarkan di kemudian hari.

KP yang sudah dilaksanakan belum berhasil melibatkan kelompok “Merah Putih” secara signifikan. Oleh karena itu diperlukan program khusus untuk mendekati mereka. Meskipun demikian perlu disadari bahwa instansi pemerintah tertentu juga secara diam-diam memobilisasi mereka untuk membuat pertemuan yang melawan KP versi JDP. Jika ini benar-benar dijalankan secara meluas, JDP perlu membuat tim khusus untuk mengantisipasi delegitimasi yang sudah dijalankan oleh kelompok tersebut tetapi harus dengan cara-cara damai dan demokratis.
… ada kebutuhan untuk membuat kampanye publik dialog Jakarta-Papua terutama untuk publik di tingkat provinsi dan nasional.

Beberapa pihak mengatakan bahwa KP belum berhasil menjangkau publik yang lebih luas dari kelompok sasaran yang sudah didekati. Oleh karena itu ada kebutuhan untuk membuat kampanye publik dialog Jakarta-Papua terutama untuk publik di tingkat provinsi dan nasional. Ada banyak lembaga penting dan tokoh-tokoh kunci yang belum didekati oleh JDP. Pada masa mendatang JDP melihat pentingnya pendekatan yang lebih sistematis pada organisasi keagamaan, jurnalis, LSM, organisasi perempuan, mahasiswa dan pemuda serta publik secara meluas.

Dengan segala kekurangannya, JDP dalam kerjanya mengutamakan kejujuran dan keterbukaan. JDP hanya bisa berhasil jika masyarakat Papua dan pemerintah Indonesia memberikan dukungan pada proses yang sudah dimulai. JDP tidak memberikan janji hasil apa pun tetapi berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendorong proses dialog yang demokratis, jujur, dan bermartabat.

Keterangan:
Foto 1: Octavianus Takimai, Fadhal Alhamid dan Markus Haluk menjadi fasilitator Konsultasi Publik di Fakfak 13 Mei 2010.
Foto 2: Spanduk Konsultasi Publik di Fakfak
Foto 3: Para peserta Konsultasi Publik di Fakfak termasuk Kakankesbang Fakfak.

Tuesday, April 13, 2010

Konsultasi Publik dan Fondasi Dialog Papua-Jakarta


Di dalam tahap pra-dialog Papua-Jakarta, Tim Jaringan Damai Papua (JDP) memandang penting tiga langkah untuk membangun dan memperluas konstituensi dialog. Pertama, mendekati dan meyakinkan pemerintah pusat, terutama Presiden RI dan jajaran di bawahnya, agar mengambil dialog sebagai kebijakan untuk penyelesaian konflik Papua-Jakarta; kedua, mendorong para elit dan pemimpin Papua terutama kelompok pro-kemerdekaan, untuk mulai mempersiapkan diri menghadapi dialog; ketiga merancang program konsultasi publik untuk memberikan kesempatan pada pemimpin Papua di tingkat akar rumput untuk memberikan masukan dan dukungan politik pada proses dialog.

Konsultasi ini merupakan upaya untuk meletakkan fondasi legitimasi bagi para pemimpin dan elit Papua yang selama ini terfragmentasi dalam berbagai faksi politik.


Konsultasi publik adalah bagian penting dari pelibatan pemimpin Papua di tingkat akar rumput. Konsultasi ini merupakan upaya untuk meletakkan fondasi legitimasi bagi para pemimpin dan elit Papua yang selama ini terfragmentasi dalam berbagai faksi politik. Konstituen politik mereka terbatas pada kelompok etnis tertentu, faksi politik tertentu, wilayah adat tertentu dan denominasi agama tertentu. Kalau tidak dilengkapi dengan konsultasi publik, upaya penyiapan representasi pemimpin Papua dalam dialog akan dengan mudah didelegitimasi. Konsultasi publik di tujuh wilayah adat Papua dan dua ibukota provinsi akan menolong pembentukan fondasi legitimasi bagi dialog dan representasi Papua yang nanti terbentuk.

Konsultasi publik dijadikan sebagai sarana untuk menjelaskan tawaran konsep dialog Papua-Jakarta. Kepada wakil-wakil masyarakat Papua akar rumput dijelaskan apa itu dialog Papua-Jakarta, mengapa perlu dialog dan bagaimana seharusnya proses yang benar dari suatu dialog itu dijalankan. Para pemimpin akar rumput Papua dibuat mengerti secara jelas konsep dialog yang benar dan diajak memikirkan secara sungguh-sungguh bagaimana dialog seharusnya dilakukan. Diharapkan juga, para pemimpin Papua dapat memberikan masukan tentang tempat, juru runding, mediator, tim ahli, dan yang terpenting agenda dialog. Masukan ini akan dikumpulkan dari sembilan wilayah dan dijadikan masukan bagi persiapan dialog. Kegiatan ini juga memastikan bahwa suara dari akar rumput tidak akan diabaikan dalam dialog nantinya.

Dengan metode ini, peserta mempunyai waktu yang cukup untuk berbicara. Pada saat yang sama masyarakat diharapkan untuk belajar menghargai pemimpin yang mewakilinya.


Para pemimpin Papua akar rumput diidentifikasi dari jalur adat, Gereja, politik, pemuda, mahasiswa, perempuan, dan lain-lain. Dipastikan oleh panitia lokal bahwa tidak ada kelompok dan tokoh yang terabaikan. Aparat pemerintah dan kelompok pro-pemerintah juga diundang. Jumlahnya sekitar 50 orang. Biasanya banyak warga lain yang juga mau hadir. Untuk itu disediakan kursi bagi peninjau atau pendengar. Yang punya hak bicara hanya 50 orang namun peninjau diperbolehkan menyampaikan pendapatnya melalui wakilnya di antara 50 peserta tersebut. Dengan metode ini, peserta mempunyai waktu yang cukup untuk berbicara. Pada saat yang sama masyarakat diharapkan untuk belajar menghargai pemimpin yang mewakilinya.

Sebagai materi untuk peserta konsultasi publik, JDP menyediakan tiga buku kecil. Pertama, buku saku tawaran konsep dialog Papua-Jakarta; kedua, buku ringkasan Papua Road Map karya LIPI; ketiga, buku dialog Jakarta-Papua karya Neles Tebay. Dengan tiga buku ini peserta diharapkan memperoleh pengetahuan yang cukup mengenai dialog dan akar masalah Papua yang dapat ditularkan kepada kerabat dan teman di kampung halaman masing-masing. Ketiga buku tersebut dicetak dengan kertas yang tahan air sehingga dapat disimpan di noken dan dibawa ke kebun atau ke hutan. Diharapkan, masyarakat mengerti konsep dialog dengan substansi yang sama. Setiap saat dengan buku saku, mereka dapat membaca berulang-ulang dan memperoleh pengertian yang mendalam.

Kegiatan ini direncanakan diadakan di sembilan kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat. Tim JDP bekerjasama dengan LSM lokal sebagai pelaksana kegiatan dan sekaligus perpanjangan tangan JDP untuk kampanye dialog Papua-Jakarta. Tim JDP memilih LSM yang memiliki reputasi publik yang positif dan relatif netral secara politik. Selain dengan LSM, JDP juga bekerjasama dengan lembaga Gereja setempat seperti SKP Keuskupan tertentu atau lembaga Gereja Protestan tertentu. JDP dapat dengan mudah membangun jaringan kerja dengan mitra lokal karena 25 fasilitator di dalam JDP terdiri dari aktivis yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan berasal dari berbagai wilayah tersebut.

Konsultasi publik pertama dilaksanakan di Wamena pada akhir Januari 2010. Selanjutnya kegiatan dilanjutkan di Timika, lalu ke Manokwari, Sorong, Biak, Enarotali, dan Merauke. Konsultasi publik di tujuh lokasi tersebut berhasil dilaksanakan dengan baik. Konsultasi publik ke delapan di Fakfak dan kesembilan di Jayapura akan segera menyusul masing-masing pada akhir April dan minggu kedua Mei 2010. Dengan segala kesulitan yang ada di lapangan, JDP berhasil memperoleh dukungan dari sebagian besar kalangan pemimpin akar rumput Papua. Utusan dari mereka yang berada di “hutan” juga hadir dan menyampaikan petisinya kepada JDP. Peran mitra lokal sangat besar dalam kesuksesan rangkaian kegiatan ini.

...fondasi legitimasi politik hubungan kekuasaan antara Negara Republik Indonesia dengan masyarakat Papua akar rumput sungguhlah rapuh. Rawan konflik dan kekerasan
.

Setelah tujuh kali konsultasi publik, saya menyadari betapa masyarakat akar rumput teralienasi dari proses perubahan dan percepatan pembangunan yang berlangsung selama Orde Baru dan bahkan selama UU Otsus dijalankan. Seperti ada jarak sosial budaya yang begitu jauh antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya. Yang mencolok dari percakapan di dalam konsultasi publik, fondasi legitimasi politik hubungan kekuasaan antara Negara Republik Indonesia dengan masyarakat Papua akar rumput sungguhlah rapuh. Rawan konflik dan kekerasan. Selain dukungan kepada dialog, konsultasi publik bisa menjadi cermin untuk refleksi bagi akar masalah-masalah yang masih mendominasi pikiran dan hati masyarakat akar rumput Papua.
(Gambar 1: Simbol Jaringan Damai Papua)
(Foto 1 Tengah: Fasilitator JDP pada saat konsultasi publik di Biak, 26/3/2010)
(Foto 2 Bawah: Pater Neles Tebay pada saat konsultasi publik di Enarotali, 29/3/2010)

Friday, March 19, 2010

PAPUA DALAM JEBAKAN PARADIGMA SEPARATISME


Konflik Jakarta-Papua yang sudah berlangsung selama 47 tahun (terhitung sejak 1963) menumbuhkan dan memapankan paradigma separatisme. Paradigma ini telah menjadi kerangka dan landasan berpikir bagi kedua belah pihak. Pada posisi yang ekstrim, segala kejadian yang terjadi di Papua dipahami dan ditanggapi dalam kerangka berpikir konflik separatisme.

Pihak Pemerintah Pusat (baca: Kemenko Polhukkam, Depdagri, dan BIN) Jakarta menempatkan tujuan pemberantasan separatisme demi mempertahankan integritas NKRI di atas semua kebijakan politik dan ekonomi lainnya. Kekerasan negara pada masa Orde Baru dianggap benar secara politik karena dianggap sebagai upaya memberantas separatisme. Ekses dari kekerasan negara yang dianggap melanggar HAM dianggap tidak lebih penting dari pemberantasan separatisme.

Pada masa Reformasi dan Otsus di Papua, praktik represi dan kekerasan negara juga masih mengatasnamakan pemberantasan separatisme. Pembunuhan Theys Eluay pada November 2001 jelas-jelas diakui di pengadilan bahwa pembunuhan itu dilakukan demi mencegah menguatnya gerakan pro-kemerdekaan Papua. Hal itu berlanjut terus pada kasus Abepura (2000), Wasior (2001), Wamena (2003), dan yang terakhir pembunuhan Kelly Kwalik.

Atas nama pemberantasan separatisme pula, pelanggaran UU “ditoleransi”. Misalnya, Inpres 1/2003 yang membagi Papua menjadi tiga provinsi nyata-nyata melanggar Pasal 76 UU 21/2001. Sebesar apa pun protes masyarakat dan kritik publik terhadap kebijakan tersebut, kebijakan tersebut dipertahankan habis-habisan oleh Depdagri dengan backup dari BIN dan Kemenko Polhukkam. Di kalangan internal mereka, alasannya jelas dan tidak pernah dibantah. Inpres Pemekaran 1/2003 adalah untuk mencegah kesatuan dan persatuan orang Papua pro-merdeka di Jayapura.

Dengan alasan membendung pengaruh asing dalam gerakan separatisme pula Papua diperlakukan sebagai daerah tertutup bagi peneliti dan wartawan asing. Fakta yang baik dan buruk menjadi kabur di Papua. Batas antara berita faktual dan rumor hasil imajinasi pelaku politik menjadi kabur. Berita resmi di surat kabar seringkali dikalahkan oleh rumor yang berkembang di kalangan masyarakat melalui sms atau bisik-bisik. Alhasil, dengan kecanggihan teknologi komunikasi telpon dan internet, representasi dan citra Papua keluar menjadi sulit diverifikasi. Kecurigaan tumbuh dengan sangat subur. Kasus-kasus kekerasan dari pihak negara atau dari pihak kelompok gerakan Papua tidak pernah terungkap tuntas.

Perangkat dan institusi penegakan hukum pun mengalami distorsi. Dalam banyak kasus politik Papua asumsi polisi, jaksa dan hakim didominasi oleh paradigma separatisme. Aksi politik mahasiswa dengan mudah dimasukkan dalam kotak separatisme. Sebelum peradilan dimulai, sikap penegak hukum sudah jelas menunjukkan apriori mereka terhadap tersangka atau terdakwa kasus politik. Contoh praktik peradilan aktivis mahasiswa Buchtar Tabuni dan kawan-kawan (2009) yang diadili dengan menggunakan pasal subversi menunjukkan hal itu. Kalau di luar Papua pasal-pasal yang dikenakan mungkin lebih ringan. Karena paradigma itu instrumen penegakan hukum juga cenderung disubordinasi dan dimanipulasi menjadi alat untuk membatasi dan membungkam ekspresi politik warga negara.

Kewaspadaan yang eksesif dan stigma separatis yang dihasilkannya digunakan lebih jauh sebagai alat kontrol dan marjinalisasi kalangan oposisi Papua. Yang paling memprihatinkan dari semuanya, paradigma separatisme digunakan sebagai topeng bagi berbagai kegagalan negara dalam menjalankan kewajibannya, yakni pelayanan publik dan penciptaan rasa aman, terhadap warga negara Indonesia di Papua. Produk yang dominan dari paradigma separatisme adalah pelanggengan impunitas dan ketidakadilan.

“Penyakit” paradigma separatisme juga menjangkiti pemimpin dan masyarakat Papua, kebanyakan pemimpin dan elit masyarakat Papua yang pro-kemerdekaan Papua. Mereka hampir selalu menggiring pemahaman semua proses politik ke arah wacana tuntutan kemerdekaan Papua. Pemerintah dianggap secara sengaja dan terencana menyingkirkan atau memusnahkan orang asli Papua karena mereka separatis.

Pihak Papua, terutama kalangan TPN/OPM dan kalangan masyarakat dan elit Papua, baik yang pernah menjadi korban langsung kekerasan negara maupun yang terkait secara kekerabatan maupun historis dengan korban, merasa telah menjadi korban kekerasan negara baik secara simbolis maupun struktural. Akibatnya tumbuh budaya teror, yakni segala hal yang buruk, bencana penyakit, dan peristiwa kekerasan hampir selalu diyakini sebagai desain pihak lain (kebanyakan Jakarta) untuk membunuh, menyingkirkan, dan memusnahkan orang asli Papua. Produk dari budaya teror ini adalah ketidakpercayaan yang mendalam terhadap pemerintah pada umumnya.

Ketika jumlah penderita HIV/AIDS di kalangan orang asli Papua meningkat pesat, banyak wacana mengatakan bahwa penyakit itu sengaja dibawa oleh aparat Polri atau TNI melalui pekerja seks yang didatangkan dari luar Papua. Virus HIV/AIDS dilihat sebagai alat untuk membunuh orang asli Papua secara perlahan agar pada akhirnya musnah dari muka bumi ini. Tidak ada pertanyaan kritis yang mencoba memahami kompleksitas pola hubungan seks di kalangan orang asli Papua, transaksi seks bebas antara Papua dengan pendatang, kebiasaan seks tanpa kondom, hingga kebijakan pemerintah dalam penanggulangan penyebaran virus HIV/AIDS.

Kebanyakan orang menjadi tidak berminat untuk melihat fakta secara jeli dan kritis tapi hanya ingin membenarkan prasangkanya. Budaya teror ini mewujud dalam ketakutan dan kebencian terhadap aparat keamanan negara secara berlebihan. Segala hal yang dianggap datang dari Jakarta cenderung dicurigai secara berlebihan. Dari sini tumbuh pula mentalitas korban. Banyak warga Papua kehilangan kemampuan memahami persoalannya sendiri secara kritis, kehilangan kepercayaan diri, dan cenderung berharap bantuan pihak lain (dari luar Indonesia) dalam menyelesaikan masalahnya sendiri.

Segala hal yang berbau internasional dilihat sebagai pengharapan baru tertinggi. Dalam proses pelaksanaan konsultasi publik akhir-akhir ini serta berbagai lokakarya, kita banyak mendengar tuntutan warga Papua untuk diadakan dialog internasional, mediator internasional, masuknya pasukan perdamaian PBB ke Papua, dan sebagainya. Tanpa berpikir lebih jauh, apa yang internasional dianggap lebih baik dan dapat menyelesaikan masalah. Seringkali pemimpin Papua sendiri juga memanipulasi mitos tentang kekuatan internasional untuk tetap mendapatkan dukungan politik dan dana dari masyarakat.

Paradigma separatisme juga membuat orang Papua mengembangkan dan memperkuat mitos bahwa orang asli Papua pasti di dalam hatinya menyimpan aspirasi M dan orang non-Papua (baca: warga Indonesia dari luar Papua) pasti pro-NKRI dan dianggap “musuh”. Perhatikan pernyataan aktivis Papua dalam berbagai diskusi atau seminar. “Saya tidak percaya kamu karena kamu orang Indonesia yang bunuh-bunuh kami.” “Hanya orang Papua yang tahu Papua dan punya hati untuk membangun Papua.” Wacana itu terus hidup meskipun sudah banyak pemimpin Papua yang menindas warga Papua atau sebaliknya orang non-Papua yang berjasa banyak bagi orang Papua.

Paradigma itu pula yang menyuburkan ketakutan dan melihat seluruh sudut bumi ini diawasi dan dikontrol oleh intel atau aparat keamanan Indonesia. Perasaan ini kuat tertanam di kalangan warga atau pemimpin Papua yang merasa dirinya diawasi karena ikut dalam gerakan politik anti-Indonesia. Misalnya seseorang sakit dan tidak mau berobat ke Jakarta karena takut nanti rumah sakitnya disusupi intel dan disuntik racun ke dalam botol infusnya. Atau juga seorang aktivis yang mengalami kecelakaan motor dan mengembangkan rumor bahwa seorang intel mendorongnya masuk ke dalam selokan. Tidak ada pertanyaan kritis muncul di situ dan orang cenderung percaya begitu saja.

Wacana separatis atau kata “merdeka” juga menjadi alat yang dianggap efektif untuk menakut-nakuti pejabat di Jakarta dengan tujuan memenuhi ambisi politik para pejabat Papua. Misalnya, ketika tuntutan pencairan dana tertentu tidak atau belum dicairkan oleh lembaga di Jakarta, intimidasi dengan menggunakan kata “merdeka” mulai bermunculan. Contoh lain yang nyata adalah salah satu alasan dimenangkannya judicial review di Mahkamah Konstitusi menyangkut 11 anggota DPRP tambahan, yakni bahwa di dalam komposisi keanggotaan DPRP yang sekarang kelompok pro-NKRI tidak terwakili. Di balik itu, sederhana saja, para pengusul dari Barisan Merah Putih, mau mengambil jatah dari 11 kursi kalau berhasil.

Paradigma separatisme juga digunakan sebagai alat untuk berlindung dari jeratan hukum oleh pejabat Papua yang korup. Beberapa pejabat korup yang mulai disidik atau bahkan sudah disidangkan, mulai membuat pernyataan-pernyataan gaya “nasionalis-Indonesia” dengan banyak menyebut kata NKRI, mengecam kelompok pro-merdeka, atau mengungkit kembali jasa-jasanya “membela” NKRI.

Keseluruhan situasi terpapar di atas menjadi salah satu sebab penting kelumpuhan dan kebuntuan politik. Pihak Jakarta cenderung mencurigai dan menolak sebagian besar inisiatif penyelesaian masalah yang datang dari Papua dengan rumusan “NKRI harga mati”. Sebaliknya pihak Papua merasa terus menerus diperlakukan tidak adil dan diakhianati oleh Jakarta sehingga juga berkeras dengan rumusan reaksioner bahwa “Merdeka adalah juga harga mati”.

Kecurigaan di antara keduanya disuburkan oleh berbagai kebijakan dari Jakarta yang represif dan tidak ramah Papua. Sebagai reaksi, berbagai aksi dan pernyataan politik dari Papua semakin memperkuat paradigma separatisme tersebut di atas.

Pada akhirnya pada satu sisi paradigma separatisme menghasilkan kebijakan dan perilaku aparat pemerintah yang justru bertentangan dengan tujuan pemberantasan separatisme itu sendiri. Pada sisi lain, hal ini memperkuat keinginan, minimal menguatkan wacana separatisme, orang asli Papua untuk memisahkan diri.

(Foto: Poster unjuk rasa Lambert Pkikir, di Arso, 2009. Isinya meminta Pemerintah RI mengembalikan Tanah Papua ke PBB. Oleh Anum Siregar, 2009)

Saturday, March 13, 2010

Pieter Drooglever Mendukung Papua Road Map


Di mata orang Papua, Pieter Drooglever pernah menjadi simbol sekaligus harapan pelurusan sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia.

Peluncuran bukunya Een Daad van Vrije Keuze di Den Haag pada 2005 dihadiri oleh pemimpin-pemimpin utama perjuangan Papua Merdeka baik yang datang langsung dari Papua maupun yang bermukim di luar negeri. Di kampung-kampung Papua, orang berdoa dengan khusuk agar buku ini dapat mengantarkan Papua segera ke pintu kemerdekaan...

Memang, banyak orang Papua pro-merdeka pada masa itu berharap bahwa peluncuran buku itu akan mendorong lebih cepat perjuangan kemerdekaan Papua. Pada perkembangannya, buku tersebut lebih bermakna akademis daripada politis. Kalangan sejarawan tidak ada yang mempersoalkan isi buku itu tetapi Pemerintah Indonesia menentang proyek buku tersebut. Bahkan Prof Drooglever tidak diijinkan melakukan kegiatan penelitiannya di Indonesia. Sementara itu Pemerintah Belanda menyadari reaksi negatif pemerintah Indonesia, tidak menunjukkan apresiasinya terhadap buku tersebut.

Drooglever itu seorang profesor yang berpengalaman selama tiga dekade memimpin proyek pendokumentasian dekolonisasi Indonesia pada Institut Sejarah Belanda (Instituut voor Nederlands Geschiedenis) di Den Haag. Pada 1980-an dia berjasa mengembangkan proyek Indonesia-Belanda untuk kerjasama budaya kedua negara. Di dalam bukunya tentang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, dia berusaha secara detil menunjukkan proses sebelum, pada saat, dan sesudah Pepera. Kesimpulan umumnya, Pepera diwarnai oleh kecurangan dan kekerasan oleh militer Indonesia.

Yang mungkin mengejutkan adalah bahwa Drooglever pada paragraf akhir bab kesimpulan buku versi Inggrisnya The Act of Free Choice (Oxford: One World, 2010), menulis sebagai berikut:

“The possibilities for a better future for the inhabitants of western New Guinea can also be found in Indonesia’s interest in the area, for Indonesia not only has a tradition of military and authoritarian rule, but also of cultured interaction and efforts to provide good government. (hal. 764)

“Kemungkinan-kemungkinan masa depan Papua yang lebih baik dapat ditemukan dalam kepentingan Indonesia di daerah tersebut, sebab Indonesia tidak hanya memiliki tradisi militer dan pemerintah otoriter, tapi juga interaksi yang berbudaya dan upaya untuk membangun pemerintahan yang baik.”

Dari sini secara implisit dikatakan bahwa Drooglever dapat melihat separuh optimisme bahwa masih ada kemungkinan masa depan Papua yang lebih baik di dalam Indonesia. Pandangannya lebih jauh dapat dibaca lebih jauh berikut ini:

“A solution should be found that combines a better future for the Papuans with the proper regulation of the eastern border of Indonesia. It would, however, appear to be a difficult to combine an open window onto the pacific with a grumbling, misunderstood and maltreated population on the Indonesian side of the 141st meridian.” (hal. 764)

“Suatu jalan keluar yang mengombinasikan masa depan yang lebih baik bagi orang Papua dengan regulasi yang tepat terhadap perbatasan bagian timur Indonesia seharusnya ditemukan. Meskipun demikian tampaknya sulit mengombinasikan jendela keterbukaan ke Pasifik dengan penduduk yang selalu protes, disalahpahami dan diperlakukan dengan buruk di bagian garis bujur 1410 Indonesia.”

Pada kutipan di atas Drooglever berharap ada jalan keluar yang tepat yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tetapi pada sisi lain dia juga masih ragu karena dia masih melihat bahwa pemerintah Indonesia cenderung salah memahami sikap dan perilaku orang Papua dan memperlakukan dengan buruk orang Papua. Secara implisit, Drooglever melihat perbedaan dan kesenjangan aspek budaya antara Papua dengan Indonesia pada umumnya.

Pada bagian lain kesimpulan dia mengulangi harapannya bahwa Papua dan Indonesia masih bisa hidup bersama. Demikian kata profesor itu:

“Finally there is the consideration that the interests of Indonesia and the Papuans, because they are neighbours and have shared history, are interwoven in many respects. The two primary motives for establishing the administrative centres in 1898 were to secure the eastern border of the archipelago and to develop the Papuans and their country. These can still go together, by hook or by crook.” (hal. 764)

“Akhirnya terdapat pengertian bahwa kepentingan Indonesia dan Papua, karena mereka tetangga dan memiliki sejarah yang sama, terkait satu sama lain dalam banyak hal. Dua motif utama membangun pusat pemerintahan pada 1898 adalah untuk mengamankan perbatasan timur nusantara dan mengembangkan orang Papua dan tanah mereka. Ini semua masih bisa jalan bersama-sama apa pun dan bagaimana pun caranya.”

Kelihatannya Drooglever berusaha untuk berhati-hati memberikan pandangannya mengenai masa depan Papua. Tetapi secara berulang-ulang dan konsisten dia menyebutkan pentingnya memperbaiki kondisi orang Papua di dalam hubungannya pemerintah dan bangsa Indonesia.

Saya menduga, salah satu sebab optimisme Pieter Drooglever bahwa akan ada jalan keluar untuk masa depan Papua yang lebih baik karena beliau sudah membaca buku Papua Road Map yang versi pendek dalam bahasa Inggris. Secara eksplisit dia menyebutkan pada halaman terakhir kesimpulannya tentang Papua Road Map karya para peneliti LIPI dan kegiatan-kegiatan yang dilakukannya:

“In this respect, the activities of the LIPI, which tries to find a way out in its recently published Papua Road Map deserve our attention.” (hal. 764)

“Dalam kaitan dengan ini semua, kegiatan-kegiatan LIPI, yang berusaha menemukan suatu jalan keluar di dalam buku Papua Road Map yang baru terbit pantas mendapatkan perhatian kita.”

Saya memang sudah beberapa kali bertemu beliau. Ketika makan malam di rumah beliau pada awal Desember 2009, saya bercerita banyak dengan beliau tentang Papua Road Map dan kegiatan LIPI bersama tim Pater Neles Tebay di Papua. Beliau menunjukkan respons positifnya terhadap upaya penyelesaian damai yang kami lakukan di Papua... Terima kasih, Pieter!

Foto:
1) Sampul buku versi Inggris (atas)
2) Prof Pieter Drooglever berpidato pada acara HAPIN di Belanda 2009 oleh penulis (tengah)
3) Sampul buku versi Belanda (bawah)
4) Sampul buku Papua Road Map (paling bawah)