Saturday, October 28, 2006

Mitos Kekerasan di Papua

Seminar "Conflict, Violence, and Displacement in Papua" oleh Refugee Studies Centre (RSC)Oxford, 26 October 2006, dimulai dengan presentasi Dr. Jacques Bertrand, Associate Proffessor dari Toronto Canada, tentang persoalan Papua dari segi undang-undang. Dia menunjukkan banyak kerancuan dan ambiguitas dasar perundang-undangan yang mengatur pemerintahan di Papua. Setelah itu Liem Soie Liong, salah satu pendiri TAPOL London, mengajak peserta untuk melihat hubungan Indonesia dan Papua dari sisi yang lebih positif. Ia menekankan bahwa perubahan dan perkembangan demokrasi di Indonesia, terutama belajar dari Aceh, memberi harapan untuk penyelesaian masalah Papua. Dia memberi contoh komitmen Presiden SBY dalam menjalankan Otonomi Khusus Papua dan keberhasilan perdamaian di Aceh.
Sebagai pembicara ketiga, aku menekankan dua hal: masalah pemahaman kita tentang siklus kekerasan di Papua dan pentingnya memahami pelaku kekerasan non-negara di Papua. Pertama, pemahaman kita tentang kualitas dan intensitas kekerasan di Papua lebih didominasi oleh mitos kekerasan di Papua yang ditandai dengan angka korban yang berlebihan yang kemudian mendorong orang untuk mengangkat isu genosida. Para aktivis bahkan peneliti biasanya mengutip minimal 100.000 orang Papua sudah dibunuh dari 1963-2005. Angka ini, yang sebetulnya dianggap moderat, sangat sulit dibuktikan. Penelitian kami di LIPI menunjukkan data awal bahwa banyak angka korban yang digelembungkan. Dari korban 8 orang di Biak Barat misalnya menjadi 50 orang di buku Osborne. Contoh lain adalah pemboman 1977 yang katanya makan korban ribuan jiwa, ternyata kata saksi-saksi justru bom banyak jatuh di lahan kosong. Sedikit mengenai sasaran kampung-kampung yang kebanyakan sudah ditinggal oleh penghuninya ke hutan.
Kedua, kekerasan di Papua terus menerus berlangsung karena selain pelaku dari aktor negara, juga dari aktor non-negara. Keduanya perlu dipahami perannya secara kritis. Tidak hanya kekerasan aktor negara dan proksinya yang perlu dibahas, tetapi juga kekerasan aktor non-negara yang perlu ditanggapi. Kita harus belajar, setidaknya dari kasus Abepura 2000 dan 2006, di mana kekerasan sebenarnya juga dilakukan oleh aktor non-negara. Dengan memahami peran keduanya, upaya kampanye untuk menegakkan kedamaian dan keadilan di Papua menjadi lebih menyeluruh dan efektif. Pada sesi diskusiku, tanggapan umumnya kritis dan mendalam. Dr Peter Carey, peneliti senior Oxford ini, sangat mengerti situasi Indonesia sehingga dia dapat dengan efektif dan produktif memberi arah pada diskusi. Diskusi sesi kedua diisi Dr Richard Chauvel. Proffessor Victoria University ini membandingkan kasus pemberian Asylum kepada 43 orang pengungsi Papua di bawah pimpinan Herman Wanggai dengan kasus permintaan asylum oleh almarhum Willem Zonggonau. Menurutnya, nilai credentiality dari pengungsi di bawah pimpinan Wanggai dibandingkan dengan Zonggonau lebih rendah. Pembicara terakhir adalah Dr Stuart Kirsch, associate proffessor dari Michigan University. Antropolog satu ini bicara tentang representasi Papua di dunia. Dia menerangkan bagaimana orang Papua digambarkan oleh dunia luar melalui media. Meskipun menarik, tidak ada yang baru dari presentasinya.
Malam harinya semua pembicara dan beberapa staf RSC jalan-jalan melewati bangunan-bangunan yang berumur ratusan tahun ke High Street untuk minum dan ngobrol. Suasana Oxford menjelang malam cukup ramai dan menyenangkan. Setelah minum bir, kami melanjutkan acara ke Rumah Makan Thailand "Chiang Mai" di satu gang kecil. Tidak begitu besar tempatnya. Suasananya hangat. Semua sibuk ngobrol. Malam itu aku ngobrol lama dengan Richard dan Graham, seorang antropolog Afrika Selatan yang sedang mengambil postdoc di RSC.

2 comments:

Anonymous said...

HALLO NOW IM SAID FOR YOU. IF YOU LOVE WESTPAPUA PEOPLE WHAT YOU DOING NOW FOR WEST PAPUA PEOPLE?

Anonymous said...

Penting kah dengan masalah HAM di sini?!!? Kami di sini (khususnya "orang dalam") hanya ingin rasa aman!! Persetan dengan Hak Asasi manusia yang (seandainya orang-orang bodoh /para pengkritik pemerintah tahu) seharusnya diikuti dengan Hak-Hak kolektif suatu Negara/Bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri.
F**k Individual rights n bravo collective rights!