Sunday, October 04, 2009

Babat Rumput Membuka Kebun Perdamaian Papua


Forum Cipayung Manokwari yang terdiri dari OKP GMNI, GMKI, PMII, dan PMKRI membuat kegiatan menarik. Mereka memborong buku Papua Road Map (YOI, 2009) karya saya dan teman-teman LIPI sebanyak 200 eksemplar dan membedahnya pada diskusi 28 September 2009. Selain menghadirkan saya sebagai ketua tim, diundang pula Sekjen PDP Thaha M. Alhamid, Ketua KNPI Provinsi Papua Barat, dan Asisten II Pemprov Papua Barat. Diskusi berlangsung penuh semangat meskipun ruang pertemuan Hotel Soribo terasa sangat panas karena cuaca di luar dan AC yang tidak memadai.

Pihak panitia mencanangkan sub-tema membangun sinergi masyarakat Papua untuk penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh. Pada diskusi itu saya menggarisbawahi empat akar masalah Papua dan pentingnya dialog untuk sinergi pembukaan lembaran baru hubungan politik Jakarta-Papua yang lebih sehat, bermartabat, dan adil. Thaha Alhamid mengingatkan masyarakat sipil Papua agar tidak hanya menuntut tetapi melalui jalurnya masing-masing memberi kontribusi bagi penguatan proses pradialog. Berbagai pendapat yang muncul secara umum mendukung dialog Jakarta-Papua dengan alasan yang berbeda-beda. Tidak ada pendapat yang secara frontal menolak gagasan dialog antara Jakarta dan Papua pada hari itu.

Pada hari yang sama di tempat yang berbeda di Jayapura, ada pernyataan aneh oleh Kerajaan Adat Papua (KAP) di bawah pimpinan Marthen Luther Wrait di headline Harian Bintang Papua. Mereka menyatakan, “Kami mau merdeka! Bukan Referendum!” dan sekaligus menuntut pembubaran Dewan Adat Papua (DAP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Tapi di bagian lain berita itu, unsur KAP lainnya menyatakan mendukung dialog Papua. Logika dalam argumentasi KAP tidak koheren dan alasan yang digunakan pun bertentangan satu sama lain. Ini kelompok dadakan dan tak dikenal. Tapi mengapa Bintang Papua meletakkan pernyataan mereka di headline. Mendistorsi wacana dialog? Mendelegitimasi DAP dan MRP? Atau menunjukkan keterpecahan di kalangan orang Papua?

Sewaktu di Manokwari saya mendapatkan berita bahwa pada 29 September unsur West Papua National Authority (WPNA) Manokwari di bawah pimpinan “Presiden Kongres Nasional” Pendeta Terry Yoku menyelenggarakan demo menuntut dialog internasional (baca: PBB). Menurut sumber saya di Manokwari, demo WPNA berlangsung aman dan tertib. Sejalan dengan acara itu, kata sumber itu, di Canberra Australia, Pimpinan WPNA, Jacob Rumbiak dan Herman Wanggai, yang didampingi oleh anggota parlemen dari Partai Hijau Kerry Nettle, akan menyerahkan draf dialog versi WPNA kepada Menteri Luar Negeri Australia dan selanjutnya diteruskan kepada Presiden SBY melalui Duta Besar RI.

Pada hari yang sama dengan demo WPNA, di Harian Bintang Papua, muncul pernyataan Danrem 171 Sorong Kol. Inf. Fransen Siahaan, “TNI siap berdialog dengan Keli Kwalik.” Siahaan menjamin bahwa Keli Kwalik dan pengikutnya akan aman dan tidak akan diapa-apakan. Pernyataan ini terkait dengan gangguan keamanan di wilayah Freeport Timika yang tak kunjung tuntas hingga hari ini. Biasanya dialog model TNI adalah pertemuan dengan unsur TPN/OPM, lalu diharapkan para gerilyawan menyerahkan diri dan senjatanya, pada saat yang sama diminta menyatakan insyaf kembali ke pangkuan NKRI. Akar masalah yang menyebabkan konflik kurang mendapatkan perhatian. Entah sudah berapa kali Kwalik mendengar himbauan semacam ini. Kecil kemungkinan akan ada reaksi darinya.

Pada 30 September di Jayapura kelompok WPNA yang dipimpin oleh pemimpin WPNA Serui Wilson Uruwaya (ingat kasus Mantembu, Serui) menyelenggarakan demo kecil-kecilan di depan toko sepatu Andhira di satu komplek Ruko di Abepura. Pengikutnya sekitar limabelasan pemuda. Kelompok ini, selain menuntut penegakan HAM dan demokrasi, pembebasan Tapol-Napol termasuk Bukhtar Tabuni dkk, juga menuntut dialog Jakarta-Papua dengan mediasi dari pihak internasional. Tidak banyak perhatian diberikan kepada demo ini. Mereka tidak menghalangi lalu lintas dan tertib berdemo di halaman ruko. Meskipun tidak heboh, pesannya tetap sampai ke publik melalui media cetak dan tidak ada penangkapan atau tindakan represi dari kepolisian.

Dari perjalanan saya yang beberapa hari saja ke Manokwari dan Jayapura ini saya mencatat berbagai respons publik di Papua terhadap gagasan dialog Jakarta-Papua. Sebagian besar mendukungnya secara penuh seperti yang ditunjukkan oleh Kelompok Cipayung dan kelompok moderat lainnya. Sebagian lagi mendukung dengan syarat bahwa dialog harus dilaksanakan dengan mediasi pihak ketiga dari kalangan komunitas internasional. Sikap ini ditunjukkan secara jelas, misalnya, oleh kelompok WPNA di bawah pimpinan utamanya Jacob Rumbiak yang sekarang berada di Australia. Menyangkut pihak ketiga sebagai mediator, WPNCL pimpinan John Otto Ondowame juga memiliki pendirian yang kurang lebih sama. Menyangkut pendirian KAP yang tidak jelas, belum perlu diperhitungkan sekarang mengingat ketidakjelasan asal usul kelompok ini serta seberapa besar konstituennya.

Secara keseluruhan, sebagai suatu bagian dari proses pra-dialog, keragaman pendapat ini merupakan sinyal yang positif. Dialog membuka ruang untuk bicara, negosiasi, dan pada akhirnya kompromi. Tapi perlu disadari tahap dialog masihlah jauh. Pihak Papua perlu bahu membahu agar jalan proses pradialog menuju dialog menjadi lebih mulus. Target pradialog adalah konsolidasi berbagai kelompok orang Papua di Papua, di Jakarta dan di luar negeri. Pradialog seperti orang bekerjasama membabat rumput sebelum buka kebun. Kita singkirkan tuar kayu dan aral melintang lainnya. Kita singkirkan pertentangan dan ego masing-masing kelompok. Kita bersama bertekad membuka kebun yakni membangun perdamaian dan keadilan melalui dialog.

Oleh karena itu dalam proses pradialog, perlu dijahit sebagian besar pikiran utama yang berkembang untuk menjadi agenda bersama. Elit dan rakyat Papua sama-sama diberi kesempatan untuk buka suara, mengutamakan persamaan cita-cita, dan tidak membesarkan ego dan kepentingan masing-masing. Banyak pemimpin Papua yang hebat, tetapi yang paling hebat adalah mereka yang mau mengakui kehebatan pemimpin yang lain. Dengan demikian ada kerendahan hati untuk saling mengakui kehebatan satu sama lain dan sudi bekerjasama membangun agenda dan kerja-kerja politik dialog secara konkrit.

Kedamaian dan keadilan di Papua hanya bisa diperoleh melalui dialog. Dialog tidak membunuh siapa pun. Dialog hanya menakutkan bagi mereka yang selama ini mengambil keuntungan dari kekacauan, kekerasan, ketidakjelasan, ketidakadilan dan status quo. Mereka yang anti-dialog adalah orang-orang yang menjadikan kekerasan dan ketidakadilan sebagai sumber mata pencaharian dan kekuasaan yang biasanya mengatasnamakan bangsa dan negara atau mengatasnamakan rakyat Papua, atau bahkan mengatasnamakan suku atau agama...

(Foto: Bedah Buku Papua Road Map di Manokwari, oleh Muridan S. Widjojo)

Wednesday, September 02, 2009

Theo Hesegem: Sosok Pekerja HAM yang Gigih


Pada 1 September 2009 yang lalu, kawan lama dari Wamena, Theo Hesegem, yang sedang mengurus visa ke Hongkong, menemui saya. Dia selalu memanggil saya noe, yang artinya “kakak”. Pertemuan itu diisi dengan ceritera tanpa henti hingga akhirnya saya memintanya untuk menginap semalam di rumah saya di Cibinong. Kami berkenalan pertama kali di Wouma Wamena sekitar 15 tahun (1994) yang lalu di rumah Almarhum Yafet Yelemaken ketika saya membuat penelitian suku Dani Balim. Pada saat itu Theo yang masih belia sangat rajin membantu beberapa pekerjaan saya di lapangan.

Kini Theo (38 tahun) menjadi Ketua Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM (JAPH-HAM) Pegunungan Tengah, Papua, sejak 2004. Kegigihannya mengadvokasi korban pelanggaran HAM membuat dia sekarang menjadi salah satu aktivis HAM terkemuka di Papua. Sejumlah kasus sudah diinvestigasi dan diadvokasi, a.l. penyiksaan sampai mati Obeth Kossay pada 2007 oleh anggota Polres Jayawijaya dan penembakan kilat Opinus Tabuni oleh pelaku tak dikenal pada 2008. Setiap kasus yang dilaporkan kepadanya tanpa ragu ditelusuri langsung ke pihak polisi dan bahkan pihak militer. Tanpa ragu, dia sering mengkonfirmasi berita kekerasan yang diperolehnya langsung ke Kapolres, Dandim, atau bahkan Kapolda Papua.

Berbicara kepada media sebagai strategi advokasi dan kampanye HAM pun dilakukannya dengan relatif cerdas dan hati-hati. Dia bukan tipe aktivis HAM yang menuduh aparat keamanan sebagai pelaku pelanggaran HAM tanpa bukti-bukti yang memadai sekedar untuk popularitasnya. Dia selalu menjelaskan peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran HAM dengan bersandar pada fakta-fakta yang dikumpulkan, menyusunnya secara teratur, dan berbicara kepada publik maupun pejabat terkait secara tenang dan terarah. Kemampuan ini jarang dimiliki oleh aktivis Papua pada umumnya.

Di mata masyarakat pegunungan tengah, khususnya Lembah Balim, yang menjadi saksi kegigihannya, Theo dianggap sebagai pelindung HAM dan sekaligus harapan bagi masyarakat yang merasa hak-haknya dilanggar oleh aparat. Pegunungan Tengah adalah hot spot politik gerakan separatisme di Papua. Pembela HAM seperti Theo selalu menghadapi risiko berbenturan dengan oknum aparat keamanan yang arogan. Oleh karena itu, dia juga pernah menjadi klien PBI (Peace Brigade International) pada 2005. Dengan kesabarannya membangun komunikasi, Theo kini justru berhasil membangun hubungan konstruktif dengan Polres Jayawijaya dan Kodim 1702 Jayawijaya.

Theo itu tipe pemuda gunung yang mudah bergaul dan rendah hati. Selalu menghormati rekan-rekannya dan pandai mengembangkan jaringan. Di Papua dia bekerjasama secara baik dengan LBH Jayapura, KontraS Papua, ALDP, SKP, Foker LSM Papua, dan lain-lain. Di Jakarta dia termasuk aktivis Papua yang paling dipercaya di lingkaran Usman Hamid (KontraS) dan beberapa LSM lainnya. Lebih dari itu, dia juga berhasil membangun jaringan dengan LSM internasional semacam Amnesty International (AI), West Papua Netzwerk (Jerman), PBI, ICRC, dan para diplomat dari kedutaan-kedutaan yang ada di Jakarta terutama AS, Australia, dan negara-negara Uni Eropa.

Kerja kerasnya juga mulai mendapatkan pengakuan dari komunitas internasional. Pada Maret 2009, dia diundang oleh Pemerintah AS untuk melawat ke negeri itu selama tiga minggu. Di sana dia mendapatkan pengalaman berharga bertemu anggota Senat AS, Pejabat Deplu AS, Panglima Angkatan Bersenjata AS, dan sejumlah aktivis LSM internasional. Tidak lama setelah itu, dia mendapatkan kesempatan magang selama enam bulan di Asia Human Rights Commission (AHRC) yang berkantor di Hongkong. Pengalaman-pengalaman ini membuat Theo semakin mampu melihat soal HAM di Papua dalam konteks yang lebih luas.

Banyak orang pikir bahwa Theo yang berani berurusan langsung dengan aparat keamanan di tengah suasana konflik adalah seorang sarjana hukum. Tapi Theo sebenarnya seorang mantan sukarelawan penyuluh pertanian lapangan (PPL) yang lulus dari SPMA Wamena pada 1992. Yang mungkin berpengaruh adalah pengalamannya sebagai jurnalis koresponden Tabloid JUBI dan Suara Perempuan Papua. Selain itu, dia juga banyak belajar masalah HAM dengan mengikuti berbagai pelatihan, baik di Papua maupun di Jakarta. Theo berani dan gigih, bukan karena pendidikannya, tapi komitmennya untuk membela hak-hak masyarakatnya yang menurutnya selama ini diabaikan.

Kelebihan Theo dibanding sesama Papua asal Pegunungan Tengah adalah bahwa dia memiliki konsistensi dan ketekunan. Prestasi dan pengakuan yang sudah dicapainya tidak membuatnya terlalu cepat merasa paling hebat dibandingkan dengan yang lainnya. Dia selalu mengatakan bahwa dia selalu menghindari percakapan yang menjebaknya pada pernyataan politik. Dia hanya mau berbicara masalah HAM yang sedang ditanganinya. Politik hanya disinggungnya sejauh itu terkait dengan masalah-masalah HAM yang sedang ditanganinya.

“Saya sedih kalau lihat sarjana Papua yang sudah mendapatkan jabatan tapi tidak mau lihat masyarakatnya, atau bahkan orangtuanya, yang sedang mengalami penindasan...” demikian kata Theo. Tanah Papua sungguh membutuhkan lebih banyak lagi generasi muda seperti Theo Hesegem di berbagai bidang lainnya... Nagot wa...wa...wa...

(Foto: Theo bermain dengan si kecil Nelson Hesegem di muara Kali Uwe, Wamena, oleh Theo Hesegem)

Friday, August 28, 2009

Membaca Kekerasan antarwarga Papua


Pada mulanya hanyalah pertikaian antar-pemuda yakni pemuda lokal Sentani dan pemuda pendatang Papua asal pegunungan tengah di arena permainan bilyar Pasar Lama Sentani, Kabupaten Jayapura. Pertikaian itu dimulai dengan tuduhan Laringen Kogoya (20) terhadap Evan Felle (17) dan Ricky Felle (17) mengambil uangnya Rp 5.000. Akibatnya Laringen dianiaya oleh keduanya. Laringen segera lari mencari bantuan teman dan kerabat yang sesama dari gunung. Tanpa melihat duduk masalahnya, rombongan orang gunung ini menyerbu lokasi bilyar, mencoba menyerang rumah Ondoafi Felle, dan pagi harinya menyerang pemukiman sekitarnya (Kompas.com, 24 Agustus 2009).

Untungnya polisi dan TNI, dengan bantuan Pdt. Lipiyus Biniluk, berhasil mendamaikan kedua pihak yang bertikai. Korban dari masing-masing kelompok sudah dibawa ke rumah sakit. Satu orang dari pihak Gunung tertembak di paha. Para pimpinan dari masing-masing pihak sudah dipertemukan oleh polisi untuk menyelesaikan persoalan ini dengan cara damai. Bahkan kedua pihak juga membantu polisi dengan menyerahkan para pelaku kekerasan. Pada saat yang sama Ondoafi menuntut ganti rugi Rp 1 milyar sebagai ganti penyerangan yang dilakukan oleh kelompok Gunung.

Menarik untuk melihat solidaritas mekanis di kalangan orang Gunung (juga warga Papua lainnya) yang masih sangat kuat. Jika ada satu orang warga mereka meminta bantuan karena mendapatkan penyerangan, warga (teman atau kerabat sesuku) lainnya segera membela tanpa mempertanyakan duduk perkaranya. Salah atau benar pihak yang dibela, itu akan diurus belakangan. Parahnya lagi, kelompok penyerang biasanya tidak hanya mencari dan menyerang pelakunya secara khusus, tetapi juga teman, saudara, atau kampung pelakunya. Itu sebabnya rumah Ondoafi Felle dan pemukiman sekitarnya juga diserang.

Ada perasaan bahwa jika satu warga disakiti, warga yang lain juga merasa sakit. Oleh sebab itu apa pun duduk perkaranya tidak penting, yang utama adalah membela dulu. Begitu pula cara membalasnya, kalau kelompok penyerang tahu identitas asal, klen atau suku pelaku penganiayaan, maka mereka juga menganggap teman, saudara atau kerabat, atau bahkan tetangga pelaku juga ikut bertanggungjawab. Sehingga mereka juga menjadi sasaran penyerangan. Sudah banyak terjadi di Jayapura, misalnya, satu Bugis memukul satu Papua asal Sentani, akibatnya seluruh orang Bugis di sekitarnya menjadi sasaran pembalasan. Dengan cara berpikir seperti ini, perkelahian perseorangan di Papua dapat dengan mudah menjadi pertikaian massal.

Setelah korban berjatuhan dan pertikaian mereda, baru dibicarakan duduk perkaranya dan penyelesaian perkaranya. Di dalam adat orang gunung, jika pertikaian itu terjadi di dalam satu konfederasi (konflik internal), penyelesaian dilakukan dengan membayar denda. Kalau itu dengan musuh, ya perang suku. Pada jaman ini, definisi “musuh” sudah mulai luntur. Secara umum, kebiasaan untuk menuntut dan membayar denda berlaku di banyak tempat di Papua. Pada kasus ini Ondoafi Felle menuntut Rp 1 milyar dengan alasan menyerang ondoafi. Di Timika, kalau ada kekerasan hingga luka atau nyawa melayang dendanya juga mencapai ratusan juta atau hingga milyaran juga. Dengan denda, dan bukan hukuman badan, suatu pertikaian dianggap berakhir. Seakan-akan keadilan tradisional sudah ditegakkan.

Pertumbuhan kota dan perkembangan wilayah di Tanah Papua mendorong migrasi baik internal Papua maupun dari luar Papua. Interaksi antara warga lokal Papua dengan pendatang Papua dan non Papua juga semakin intensif. Persinggungan, konflik kepentingan, masalah penggunaan lahan, dan bahkan cekcok kecil di tempat hiburan selalu berpotensi menjadi alasan tindak kekerasan secara massal. Khusus untuk migrasi warga asli Papua pegunungan ke daerah dataran rendah dan pesisir yang menjadi pusat kabupaten atau kotamadya atau wilayah yang ekonominya berkembang mulai meningkat sekitar 1980-an. Wilayah pinggiran Nabire, Timika, dan Jayapura sudah diokupasi oleh banyak warga Papua asal pegunungan. Mereka bertahan hidup dengan menduduki “tanah kosong” dan membangun kebun dan kampung di sana.

Sudah banyak cerita konflik antara warga Papua pendatang asal pegunungan berkonflik tidak hanya dengan warga Papua asli atau warga setempat, tetapi juga warga pendatang non-Papua. Untuk itu memang diperlukan antisipasi untuk mencegah konflik dan kekerasan horisontal. Kalau tidak, banyak pihak bisa memanfaatkannya dengan mudah untuk kepentingan ekonomi tertentu atau politik tertentu berkaitan dengan Pilkada, Pileg, atau kepentingan politik lainnya. Betapa tidak mudah, cukup dengan memukul atau melukai satu orang saja dan pelakunya menyebut diri dari suku tertentu dan lari, maka pembalasan akan datang dengan sendirinya ke suku yang dimaksud. Ini ruang yang lebar untuk adu domba.

Di sini letak pentingnya peran Gereja dan organisasi masyarakat sipil untuk mengembangkan kepemimpinan lokal masing-masing dan membuat forum yang memberi ruang bagi setiap orang untuk klarifikasi dan pengaduan. Mekanisme itu dibutuhkan untuk mencegah setiap warga dan kelompoknya untuk main hakim sendiri. Setiap provokasi tindak kekerasan bisa segera dilokalisir menjadi urusan individu dan mencegah pelibatan kelompok yang lebih besar. Polisi biasanya sebagai tempat pengaduan terakhir ketika peristiwanya sudah meledak dan korban sudah jatuh. Dalam kasus Sentani tersebut di atas, kepolisian dan Gereja sudah menjalankan tugasnya dengan baik sebagai instrumen kuratif konflik horisontal.

(Foto: Sesama Papua berbagi bunga, simbol antikekerasan, oleh Tim ALDP 2009)

Monday, August 17, 2009

Kekerasan Freeport: Pertaruhan Kredibilitas Pemerintah RI (2)


Kasus penembakan di wilayah Freeport masih jauh dari selesai meskipun penyelidikan sudah berlangsung lebih dari satu bulan, terhitung sejak penembakan pertama 11 Juli 2009. Pada 16 Agustus 2009, di tengah upaya polisi mengejar para pelakunya, penembakan kembali terjadi di wilayah Freeport. Lima karyawan yang sedang menumpang bus Freeport terluka.

Apakah aparat keamanan kita tidak mampu memulihkan keamanan di Freeport? Sejak berlarutnya penembakan beberapa minggu lalu, polisi yang sudah dibantu oleh Detasemen Khusus 88 diperkuat pula oleh pasukan bantuan dari TNI AD. Diperkirakan di sana sudah ada sekitar 1000 orang polisi dan prajurit TNI. Kenyataannya setelah lebih dari sebulan, pelaku tetap berani melakukan aksi dan aparat keamanan kita belum berhasil menangkap mereka.

Gangguan keamanan ini mengancam wibawa dan kredibilitas pemerintah Indonesia. Jika operasi gabungan polisi dan TNI saja tidak berhasil menghentikan penyerangan ini, itu berarti pihak pelaku memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan polisi dan TNI. Penangkapan sejumlah orang Amungme terbukti tidak berpengaruh pada penghentian aksi penembakan. Kapolri dan Panglima TNI seharusnya mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk mengakhiri gangguan keamanan ini dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Berlarutnya gangguan keamanan terhadap operasi tambang tembaga dan emas Freeport, pada satu sisi, membuat pihak Freeport merasa sangat dirugikan. Para manajer Freeport mulai gelisah dan mempertanyakan kemampuan dan efektifitas pengamanan oleh polisi. Tetapi di sisi lain, Freeport seharusnya juga meninjau kembali pola hubungan perusahaan itu dengan institusi keamanan yang selama ini terbangun.

Akibat lebih jauh dari kasus penembakan Freeport adalah tindakan yang mungkin dilakukan oleh pemerintah Australia dan Amerika Serikat (AS). Pihak Australia kehilangan nyawa satu warganya. Pihak AS tentu juga terganggu dengan situasi yang mengancam keamanan para warga AS yang bekerja di sana dan yang terutama juga mengancam keamanan investasi Freeport.

Jika saja kelambanan penanganan kasus Freeport memang betul karena kehebatan di pihak penyerang dan keterbatasan kemampuan di pihak polisi, kedua pemerintah negara tersebut tentu berkepentingan untuk “membantu” investigasi. Tetapi sejak awal upaya membantu secara teknis itu mendapatkan reaksi negatif dari kalangan nasionalis Indonesia yang tersinggung karena “kedaulatan” Indonesia dilanggar. Sikap tertutup kaum nasionalis ini akan semakin membuat banyak kalangan frustrasi.

Kelambanan penyelidikan dan ketidakpastian penyelesaian hukumnya bisa membuat pihak Australia kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah Indonesia dalam menegakkan hukum dan memberikan jaminan keamanan investasi. Yang menjadi lebih bahaya adalah jika kedua pemerintah negara tersebut mempercayai bahwa terdapat indikasi unsur aparat keamanan terlibat di dalamnya dan pemerintah Indonesia dianggap membiarkannya.

Tindakan balasan yang mungkin dilakukan adalah dengan menaikkan intensitas internasionalisasi masalah Papua melalui kelompok-kelompok non-pemerintah yang selama ini aktif membuat kampanye mendukung gerakan kemerdekaan Papua. Cara ini jelas efektif mengingat sensitifitas pemerintah Indonesia dalam kasus ini. Dalam kasus-kasus sebelumnya, sangat mudah “memeras” pemerintah Indonesia melalui isu-isu kemerdekaan Papua.

Ironisnya, Papua dan ancaman disintegrasinya secara nyata belumlah dianggap serius oleh pemerintah pusat. Apalagi soal keamanan di Freeport yang selama ini menjadi komoditi banyak pihak di Jakarta maupun di Papua. Ketidakseriusan itu setidaknya jelas terlihat dalam pidato Presiden SBY menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus 2009. Menurut analisis Kompas, tidak ada satu pun kata papua disebut di dalamnya, jangan harap membahasnya.

Kalau pemerintah Indonesia, dengan aparat keamanan yang ada sekarang, merasa tidak mampu menyelesaikan ancaman keamanan di wilayah Freeport, seharusnya bisa mengembangkan kerjasama dengan pihak pemerintah AS dan Australia untuk setidaknya bantuan teknis.

Yang paling mengerikan adalah jika kredibilitas pemerintah Indonesia dan kepentingan nasional yang lebih besar di Papua dikorbankan demi melindungi kelompok tertentu karena kepentingan yang sama dan solidaritas korps di kalangan aparat keamanan atau pun angkatan bersenjata. Jika itu yang terjadi, kita semakin yakin bahwa paradigma separatisme dan siklus kekerasan di Papua memang sedang dirawat.

(Foto: Pengamanan PT Freeport Diperketat. Gambar diunduh dari http://www.jakartapress.com pada 17 Agustus 2009)

Tuesday, July 28, 2009

Kekerasan Freeport: Satu Piring dengan Banyak Sendok (1)


Sejak 11 Juli 2009, penyerangan oleh kelompok tak dikenal terhadap karyawan di Mile 51-53 terjadi di dalam areal kontrak karya PT Freeport Indonesia (Freeport). Penembakan terjadi secara sporadis dalam kurun waktu dua minggu. Polisi sudah dibantu Detasemen Khusus (Densus) 88 dan beberapa kompi pasukan TNI AD. Sejauh ini polisi baru menetapkan tujuh warga sipil dari suku Amungme sebagai tersangka. Menurut polisi, mereka ditangkap karena diduga terlibat dalam rangkaian penyerangan tersebut (pembakaran bus dan membantu penyerangan). Pelaku utama penembakan belum diketahui apalagi ditangkap.

Sejak awal pihak Kodam Trikora sudah menuduh OPM sebagai pelaku pada saat polisi baru turun di TKP. Karena tanpa dasar, tuduhan ini hilang dengan sendirinya. Poengky Indarti dari Imparsial mencurigai kalangan tentara (TNI AD). Bahkan anggota Komisi III DPR RI Suripto mengatakan bahwa kemungkinan pelakunya adalah anggota Kopassus yang desersi. Atas tuduhan ini, Pangdam Trikora sudah membantahnya. Polisi sendiri belum pernah secara eksplisit menyatakan bahwa pelakunya adalah OPM.

Fakta-fakta yang dapat dibaca adalah sebagai berikut. Pelaku menembak korban dengan berondongan peluru. Itu berarti mereka memiliki banyak persediaan peluru. Skenario penembakan diatur dengan baik, baik lokasinya yang menurun dan berbelok, pagi subuh, maupun jadwal yang pas. Meskipun polisi sudah menurunkan tim investigasi, penembakan masih terjadi. Pelaku masih berkeliaran di sekitar lokasi. Menariknya, senjata salah satu korban polisi tidak diambil oleh pelakunya.

Sebagian besar fakta di atas tidak cocok dengan kebiasaan OPM. Pertama, OPM tidak menyerang dengan memberondong, agar hemat peluru. Satu peluru harus berarti satu nyawa. Kedua, OPM biasanya menyerang mendadak dan setelah itu kabur, bukan menunggu semalaman dan tetap bertahan di tempat setelah polisi datang. Ketiga, tentara OPM dalam penyerangan terhadap aparat negara memprioritaskan perampasan senjata, bukan dengan membunuh dan meninggalkan senjata begitu saja.

Jika benar terbukti kemudian bahwa pelakunya adalah OPM, maka harus disimpulkan bahwa terjadi perubahan signifikan di dalam kapasitas perang TPN/OPM. Itu berarti bahwa OPM sudah memiliki kemampuan mengguncang stabilitas politik dan keamanan di Papua. Polisi harus meningkatkan kemampuannya. Freeport dengan sendirinya dalam keadaan terancam. Tapi, siapa percaya OPM sehebat itu? Kalau OPM sudah sehebat itu, politik dan keamanan Papua pasti sudah berantakan dan korban yang jatuh pasti lebih banyak dari itu. Jika targetnya politik, operasinya pasti tidak hanya di areal Freeport.

Mungkinkah pelakunya dari unsur aparat? Seperti disebut di atas, anggota Komisi III DPR RI Suripto menduga pelakunya anggota Kopassus desersi. Di Papua sendiri sudah sejak lama tersebar rumor bahwa dua bulan sebelum penembakan telah masuk dua pleton “pasukan” tak dikenal ke areal Timika melalui Port Site Amamapare milik Freeport. Selain itu, dirasakan oleh masyarakat di berbagai kota rawan di Papua, baik oleh pendatang maupun orang asli Papua, ada banyak orang-orang aneh mencurigakan yang ditengarai sebagai intel menyamar sebagai tukang bakso, tukang semir, pedagang keliling, wartawan, dan sebagainya.

Kecurigaan itu menguat setelah dalam Kerusuhan Abepura 2006 seorang anggota intel dari AURI tewas diserang massa demonstran. Beberapa anggota intel yang di lokasi juga diserang. Pertanyaan dapat diajukan. Apa perlunya intel TNI AU berada di lokasi demo? Apakah ia menjalankan tugas resmi atau inisiatif pribadinya? Sebenarnya berapa banyak intel ada di Papua? Bagaimana jika mereka ini terlibat dalam kekerasan seperti di Timika? Bagaimana pertanggungjawaban negara jika orang-orang ini melakukan pelanggaran hukum, mengacaukan keamanan, dan bahkan melakukan pelanggaran HAM?

Kembali ke kasus Freeport, kemungkinan pelakunya tidak berasal atau terkait dengan satu entitas saja, tetapi beberapa macam. Dari pembagian tugas, kemungkinan ini dapat dipikirkan. Bisa saja kelompok masyarakat sipil (baik yang terkait OPM maupun tidak, baik karyawan Freeport maupun bukan) bersama kelompok oknum dari aparat bersama-sama menjalankan operasi. Untuk penguasaan lokasi, hutan sekitar, pemahaman pola kegiatan di areal tambang, dan skenario pelarian dapat dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil yang mengenal wilayah itu. Untuk persiapan logistik dan persenjataan, pelaku penembakan, serta back up jika ada serangan balasan dapat dilakukan oleh oknum-oknum aparat yang memang sudah terlatih.

Kepentingan dan tujuan bersama di antara para pelaku potensial adalah “pemerasan” terhadap Freeport. Kerusuhan 1996 di Timika diikuti oleh dua hal penting. Masyarakat mendapatkan dana kemitraan (1%) sekitar US $ 35-50 juta per tahun dan TNI/Polri konon mendapatkan dana keamanan sekitar US $ 7,5-8 juta per tahun dari Freeport. Selain itu antara kelompok masyarakat sipil, TNI dan Polri juga memiliki sejarah konflik di Timika.

Perlu dicatat pula bahwa pada 2002 penembakan serupa terjadi di mile 62-63 areal Freeport. Setelah itu sejak 2006 polisi mengambil alih tanggungjawab keamanan dari tangan TNI, yang berarti hilangnya sumber pendapatan ekstra prajurit dan perwira TNI. Bisnis tambang emas tailings oleh masyarakat yang penambangnya sudah mencapai sekitar 6.000 hingga 7.000 orang dengan hasil keseluruhan sekitar 5-7 kg emas/hari merupakan arena persaingan yang perlu diperhitungkan juga.

Kini kita serahkan sepenuhnya penegakan hukum kepada polisi sambil mencermati apakah polisi melakukan tugasnya dengan jujur, obyektif dan imparsial. Presiden RI, Panglima TNI dan Kapolri harus mendukung polisi untuk menjalankan tugasnya dengan penuh. Pesan terpenting yang harus disampaikan adalah bahwa tidak ada satu pun elemen masyarakat dan negara yang dapat menikmati kekebalan hukum. (Bersambung...)

(Foto: Polisi di Kwamki Lama Timika sedang mengamankan Pilkada Bupati 2008, oleh Muridan Widjojo)