Wednesday, June 24, 2009

"Nusaulan"


Kenapa kau tak mengundangku saat kau buka sasimu?
Bukannya kau berharap menyantap lola dan batulaga bakar bersamaku?

Katakan pada angin barat Nautilus agar lebih ramah pada perahuku.
Katakan pada ombak Arafuru agar menjauh dari perahuku.
Katakan pada om-om bahwa harta dan sirih pinang itu pasti aku akan bayar.

Ijinkan aku tetap merapat ke tanjungmu, mencium pasir putih pantaimu yang mendidih, menyusuri pantai dan menyelam di antara warna-warni karangmu.

Kita akan bersetubuh di dalam lubang batu di Pulau Paniki sambil mendengar cerita burung tentang tanah seberang yang dilanda perang dan tentang orang Samai yang selamatkan Buruway.

Mari, ulurkan tanganmu, peluk aku dalam rindu diammu...

Kaimana, Februari 2009

(Foto: Kampung Nusaulan, Distrik Buruway, Kabupaten Kaimana, 2009, oleh Muridan Widjojo)

Sunday, June 14, 2009

Republik Persipura "Merdeka"

Pada 10 Juni 2009 Jayapura benar-benar bergairah untuk berpesta. Kostum merah hitam dengan macam-macam variasi mendominasi. Suara terompet dan klakson mobil membahana di sepanjang jalan menuju stadion Mandala. Jalan menuju Dok IX sudah ditutup untuk mobil. Perempuan, laki-laki, tua-muda, papua-pendatang, Islam-Kristen semuanya berbondong-bondong menyaksikan peristiwa bersejarah pemberian piala juara Liga Super Indonesia (LSI) 2009 yang menandai supremasi tim Persipura kesayangan masyarakat Papua.

Pada pukul 13.00 waktu Papua waktu itu saya masih mewawancarai Wakil Gubernur Papua Alex Hesegem dengan didampingi Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Agus Alua. Wawancara tidak berlangsung lama karena hati dan pikiran kami sudah tertuju pada pertandingan Persipura melawan Sriwijaya FC. Kebanggaan pada tim Persipura tidak hanya milik warga umum tetapi juga milik hampir semua pejabat di Papua.

Alex Hesegem dan Agus Alua bersama-sama menuju stadion dengan pengawalan voorrijder. Saya memilih untuk bergabung dengan rombongan ALDP yang terdiri dari Pater John Jonga, Anum Siregar, Fadhal Alhamid, dan Asmirah. Ketika saya masuk stadion jam 15.00, semua tempat duduk sudah penuh. Warga yang tidak bertiket tetap diijinkan masuk stadion setelah semua pemilik tiket sudah masuk.

Pertandingan baru akan mulai jam 17.00 tetapi semua sudut stadion sudah penuh beberapa jam sebelumnya. Untuk mengendalikan perhatian massa di dalam, disajikan berbagai tarian massal yosfan, hiburan pesawat ringan yang berputar-putar di stadion, dan atraksi lainnya. Teriakan histeris bahagia merata di seluruh sudut. Nyanyian dan atraksi dari tribun "Liverpool" mengaduk-aduk adrenalin penonton. Ditambah lagi aksi Komandan Persipura Mania di tengah-tengah penonton yang mengundang tawa.

Pesta hari itu menjadi sempurna karena Persipura menunjukkan permainan cepat, agresif dan indah. Persipura mengalahkan Sriwijaya FC dengan angka telak 4-1. Gol dibuat oleh Beto, Jeremiah, dan dua kali oleh Boaz. Beto dan Jeremiah adalah pemain asing. Sedangkan Boaz adalah putra asli Papua yang pada saat itu jumlah gol yang telah dicetaknya menyamai top scorer Gonzales dari Persib. Tidak ada yang lebih membahagiakan warga Papua daripada prestasi ini. Selain hadiah piala dan uang sejumlah dua milyar, para pemain Persipura kebanjiran hadiah dari berbagai lapisan masyarakat lainnya untuk menunjukkan rasa bangga dan dukungan mereka.

Pada hari-hari berikutnya, saya masih mendengar orang berdiskusi tentang Persipura, tentang pertandingan Piala Copa yang akan datang, tentang lawatan tim Manchester United, tentang Boaz yang akan dibeli oleh Persija seharga Rp 1,5 milyar, tentang banyak hal hingga bagian pribadi para pemain sampai dengan kebencian orang pada Ketua PSSI Nurdin Halid. Persipura menjadi percakapan yang menarik bagi semua orang, melampaui rumor tentang Manohara dan berita Siti Hajar TKI korban penganiayaan di Malaysia.

Pesta dan upacara rakyat Republik Persipura ini benar-benar menjadi oase bagi kebanyakan rakyat Papua yang sudah frustasi dengan kebuntuan Otsus. Persipura itu seperti cermin dan ikon sekaligus. Di dalam fenomena Persipura ada keyakinan bahwa orang asli Papua memiliki keunggulan. Ada penanda bahwa orang asli Papua telah menunjukkan supremasi. Ada kebersamaan mengatasi dikotomi papua-pendatang karena di dalamnya ada pemain asli Papua, pendatang, dan bahkan pemain asing. Di dalam fenomena itu orang asli Papua membuktikan sukses dalam arena yang mengunggulkan fairness dan sportivitas. Dua hal terakhir ini tidak dapat ditemukan oleh orang Papua dalam ‘pertandingan’ arena kebijakan Otsus.

Persipura menjadi pelopor dalam mengawali Papua Baru.
(Foto 1: Suasana di Stadion Mandala, 10 Juni 2009 oleh Anum Siregar; Foto 2: Poster yang dibuat oleh Thaha Alhamid untuk mendukung Persipura, Juni 2009, oleh Muridan Widjojo)

Sunday, May 17, 2009

Mendorong anak muda Papua belajar di luar negeri


Ketika saya mengambil PhD di Universitas Leiden, saya bertemu dengan dua perempuan Papua yang sedang belajar di sana. Satu belajar sosiologi di Institute of Sosical Sciences (ISS) Den Haag dan satunya lagi belajar linguistik di Universitas Leiden. Tidak terbayangkan kegembiraan saya bertemu mereka pada saat itu. Kalau benar-benar dipersiapkan, terutama kemampuan bahasa Inggrisnya, saya percaya mereka mampu dan berhasil seperti yang lain. Beberapa saat kemudian, saya dengar mereka sudah lulus dan kembali. Yang belajar linguistik kembali mengajar di Universitas Papua (UNIPA) Manokwari dan yang belajar sosiologi kembali ke Jayapura memperkuat lembaga P3W milik GKI.

Pada 2004, ketika Henk Niemeijer, Guru Besar Universitas Leiden Prof. Leonard Blussé, dan saya mencari beasiswa untuk 60 mahasiswa S2 sejarah, saya membayangkan suatu penciptaan generasi baru sejarawan Indonesia. Para kandidat di antaranya harus berasal dari Indonesia Timur, terutama Papua. Disepakati waktu itu bahwa jika dana beasiswa didapat, 50 persen di antara calon harus berasal dari Indonesia. Pada akhir 2005, dana diperoleh dari berbagai sumber terutama dari Pemerintah Belanda sebesar sekitar 2,5 juta euro. Program dimulai pada 2006 dengan nama ENCOMPASS dan sebagai host-nya di Indonesia adalah Universitas Gajah Mada dan Universitas Indonesia.

Saya menyempatkan diri keliling Makasar, Manado, Ternate, Tidore, dan terutama Papua. Di Papua saya berbicara dengan sejumlah dekan perguruan tinggi di Jayapura, juga dengan pemuka Gereja agar mereka mau mempersiapkan kader muda mereka untuk mengikuti program ini. Selain itu saya juga mendekati pribadi-pribadi yang menurut rekomendasi banyak orang memiliki kemampuan bahasa Inggris yang mumpuni dan siap untuk dilatih agar siap menghadapi proses seleksi. Dari instansi yang pernah saya hubungi, ternyata sampai hari ini 2009 tidak ada yang mengirim kader mereka ke Yogyakarta untuk mengikuti tes masuk. Tetapi sebenarnya berbagai usaha sudah dilakukan tetapi para calonnya belum berhasil memenuhi syarat bahasa Inggrisnya.

Beberapa tahun yang lalu, ketika mengunjungi Jayapura, saya juga menawari seorang perempuan asal Kabupaten Jayawijaya bernama RW. Dia seorang guru bahasa Inggris dan pernah belajar bahasa Inggris di Australia. Dia menyatakan tertarik untuk belajar ke Belanda. Oleh karena itu saya mencoba untuk membantunya mempersiapkan diri. Selain RW, saya juga menawari seorang perempuan lulusan Sastra Inggris Universitas Satya Wacana Salatiga bernama EH. Dia terlihat bersemangat dan saya minta dia mempersiapkan diri dan kalau perlu tinggal bersama keluarga saya di Jakarta agar mendapatkan bimbingan yang cukup. Seandainya salah satu dari mereka berhasil lolos ke Belanda, saya membayangkan anak perempuan gunung pertama yang memperoleh S2 di Leiden.

Tapi rupanya saya gagal. RW, setelah beberapa kali kontak, menghilang. Tidak ada kabar sama sekali. Ketika saya berkunjung ke Jayapura, secara kebetulan saya melihatnya di dalam mobil mewah Honda CRV. Kontan saya memanggilnya dan menanyakan kabarnya. Dengan malu-malu dia menemui saya dan mengatakan bahwa dia sudah menikah dengan seorang pejabat di Pegunungan Bintang. Hal yang sama juga terjadi pada EH. Menghilang tanpa kabar cukup lama. Ketika saya menemuinya secara tidak sengaja, dia mengatakan bahwa dia sedang mempersiapkan diri. Tapi sampai hari ini tidak ada kabar. Lagi-lagi saya gagal.

Saya belum putus asa. Saya juga menawari seorang anak muda Papua asal Biak yang bekerja di Departemen Luar Negeri (Deplu), namanya HD. Bahasa Inggrisnya dipastikan bagus. Setelah berdiskusi dengan saya, dia mengirimkan draft proposalnya lewat email. Rupanya bagus juga. Saya langsung memintanya untuk mendaftar ke UGM. Saya agak lega, dalam hati saya berkata, minimal ada satu yang akan ikut. Tapi ketika saya menjadi anggota komite seleksi ENCOMPASS 2008, saya tidak menemukan namanya di daftar kandidat. Yang masuk justru temannya yang juga kerja di Deplu dan kebetulan orang Jawa. Saya menjadi bingung. Ketika suatu hari saya menemuinya lagi, dia mengatakan bahwa dia ragu mendaftar karena tidak tega meninggalkan anak dan istrinya di Indonesia.

Upaya lain juga pernah saya lakukan. Seseorang dari Timika dikirim ke Denpasar untuk memperbaiki bahasa Inggrisnya. Setelah hampir dua tahun anak muda itu dikirim, hingga sekarang tidak ada kabarnya. Di Jayapura saya juga menyemangati berkali-kali anak-anak muda Papua yang kelihatan cerdas dan berbakat untuk mengambil kesempatan beasiswa ke Belanda. Sudah saya berikan nomor kontak dan ternyata tidak ada satu pun di antara mereka yang menindaklanjutinya. Sampai-sampai saya mengajak seorang dosen muda dari Tidore bernama AK untuk belajar bahasa di Bogor agar saya bisa ikuti perkembangannya. Setelah satu tahun belajar bahasa, dia hanya bisa mendapatkan score TOEFL 400 saja. Uangnya sudah habis. Sehingga saya berikan dia pekerjaan agar bisa beli tiket dan kembali ke Tidore.

Dari sini saya belajar bahwa kendala untuk pendidikan tinggi di Papua sangat kompleks. Pendidikan dasar di sana sebagian besar buruk. Anak-anak Papua yang memiliki kemampuan standard nasional biasanya tumbuh besar di perkotaan dengan orang tua yang sebagian besar juga terdidik. Tidak hanya yang terkait dengan unsur akademis seperti kemampuan bahasa Inggris, kecerdasan, serta proposal yang baik yang harus dipersiapkan, tetapi juga soal motivasi, minat yang kuat, masalah keluarga, faktor hubungan gender, dan lain-lain. Komunikasi dengan mereka, meskipun saya sudah berpengalaman meneliti Papua sejak 1993, saya tidak selalu berhasil, bahkan seringkali gagal.

Kayaknya, pendekatan harus lebih intensif, bimbingan harus lebih memotivasi, dan ada dukungan dana dari pemerintah daerah, serta pengelolaan yang lebih sistematis untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas bahasa Inggris serta kesiapan akademis mereka. Terkait dengan proposal dan topik riset, seharusnya Universitas Cenderawasih dan Universitas Papua berperan lebih banyak. Sejauh yang saya tahu, Universitas Papua lebih progresif dalam hal ini. Mudah-mudahan kegagalan saya tidak dialami oleh yang lain, yang sudah berhasil mengirimkan sejumlah anak muda Papua untuk belajar ke luar negeri.
(Foto: Pelajar SD di Yamor Besar, Kaimana, 2008, oleh Jafar Werfete)

Friday, April 10, 2009

Gerakan Mahasiswa dan Pemilu di Papua


Menjelang Pemilu legislatif 9 April 2009, Tanah Papua digoyang oleh sejumlah peristiwa yang menarik perhatian media nasional. Diawali dengan penggerebekan kantor Dewan Adat Papua (DAP) di Jayapura pada 3 April 2009. Setelah itu Nabire menyusul rusuh pada 6 April. Pada 8 April penyerangan lima tukang ojek pendatang, tiga di antaranya tewas. Tidak berhenti di situ, pada hari H Pemilu, Polsek Abepura diserang oleh massa sekitar 75 orang dan 1 orang tewas. Gedung rektorat Universitas Cenderawasih pun dibakar. Lebih parah lagi, ada upaya pemboman jembatan Muara Tami, dekat perbatasan Indonesia-Papua Nugini.

Lapisan baru kelompok perlawanan ini dapat dikatakan militan. Mereka terdiri dari dan dipimpin sebagian besar oleh mahasiswa Papua asal pegunungan tengah baik yang berstatus mahasiswa di Papua maupun di luar Papua. Strategi aksinya mengutamakan demonstrasi dan serangan fisik jika diperlukan. Pola-pola aksi dan bahasa politiknya banyak dipengaruhi oleh Gerakan Mahasiswa (GM) 1998 dari kelompok militan. Dalam demo, kelompok ini tidak ragu-ragu untuk berbenturan dengan dan bahkan menyerang aparat keamanan. Bedanya dengan GM 1998, kelompok ini jelas-jelas mengusung agenda kemerdekaan Papua.

Dibandingkan dengan kelompok konvensional pro-kemerdekaan Papua, misalnya gerilyawan Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Presidium Dewan Papua (PDP), atau kelompok lainnya di luar negeri, kelompok ini memiliki “kelebihan”. Koordinasi aksinya sangat cepat, terpadu, dinamis, dan jangkauannya sangat luas. Koordinasi internasional, nasional, dan regional berlangsung terpadu dan serentak. Penggunaan teknologi komunikasi, seperti SMS, internet (email, website) sangat intensif. Kampanye dilakukan dengan agresif. Mereka memadukan strategi gerakan mahasiswa perkotaan dengan strategi gerilyawan OPM.

Jika kekerasan GM 98 dilakukan secara selektif dalam konteks Rezim Orde Baru dengan aparatnya yang masih beringas dan opresif, kekerasan kelompok Papua ini dilakukan pada saat polisi cenderung lebih persuasif. Bahkan di TV nasional kita melihat seorang mahasiswa Papua di Yogya memukul polisi dan yang lain memanah tanpa alasan jelas. Pengeboman jembatan Muara Tami juga tidak efektif secara politis, malah membuat mereka akan dilabel “teroris”. Yang terburuk dan tidak simpatik adalah pembakaran kantor rektorat Uncen. Kekerasan-kekerasan ini tidak bernilai politis dan justru membuat gerakan itu tidak mendapatkan dukungan publik di Papua, Indonesia, apalagi internasional.

Massa yang biasanya digerakkan biasanya kalangan pemuda atau mahasiswa yang sebagian besarnya adalah berasal dari daerah pegunungan, beberapa saja berasal dari daerah dataran rendah atau pantai Tanah Papua. Dugaan saya, massa yang militan ini lahir setelah Gejolak Sosial 1977 di Pegunungan Tengah dan memiliki memori kolektif buruk tentang kekerasan negara dan cenderung anti-pemerintah. Mereka tumbuh dengan ingatan kekerasan itu sehingga di dalam dirinya tumbuh identitas korban dan diliputi oleh dendam. Di tengah massa semacam ini, provokasi kekerasan dari siapa pun mudah dilakukan dan sulit dikendalikan.

Kelompok ini menganggap sebagian besar pemimpin Papua adalah pengkhianat rakyat Papua. Pemimpin-pemimpin seperti Theys Eluay, Tom Beanal, Otto Ondawame, Jacob Rumbiak, Nicholaas Jouwe, dan lain-lain dikritik keras. Bahkan Sekjen PDP Thaha Muhammad Alhamid yang dikenal aktif dan diplomatis dalam perjuangannya, pun kadang-kadang dikecam. Yang menjadi kekecualian adalah aktivis Papua Merdeka Benny Wenda yang lari ke Oxford Inggris. Lelaki asal Kabupaten Jayawijaya ini lebih banyak dipuji sebagai pemimpin yang konsisten berjuang, terutama setelah berhasil membuat Internastional Parliamentarians for West Papua (IPWP) dan International Lawyers for West Papua (ILWP). Sebagaimana karakter kepemimpinan Papua, kelompok ini cenderung sangat otonom dari para pemimpin Papua yang lain.

Menonjolnya pemimpin mahasiswa Papua dari kalangan Pegunungan Tengah bukanlah perkembangan yang terpisah dari perubahan-perubahan di Papua. Tidak hanya gerakan mahasiswa pro-merdeka yang tumbuh, di sektor pendidikan dan politik formal, juga terjadi peningkatan partisipasi orang asli Papua asal Pegunungan Tengah. Perkembangan ini dapat dikaitkan dengan jumlah penduduk asli pegunungan yang paling besar di lingkungan penduduk asli Papua. Sebagian besar dari mereka masih miskin tetapi memiliki daya juang paling tinggi. Mereka sejak akhir 1980-an bermigrasi ke kota-kota di Tanah Papua, misalnya ke Jayapura, Timika, Nabire, dan lain-lain. Banyak dari mereka kemudian meningkatkan kualitas pendidikannya. Tidak hanya kuliah di Jayapura dan Manokwari, tetapi juga di luar Tanah Papua seperti Manado, Makassar, Semarang, Jakarta, Yogyakarta, dan lain-lain. Secara umum, memang sedang terjadi kebangkitan orang asli Papua asal pegunungan, apalagi pada lima hingga sepuluh tahun mendatang.

Insiden sekitar Pemilu di Tanah Papua tentu tidak signifikan untuk mengguncang Indonesia yang begitu luas wilayahnya dan begitu besar penduduknya. Tetapi perlu dicatat bahwa 1) orang pegunungan akan menjadi dominan di dalam perpolitikan di Papua tidak lama lagi; 2) bahwa masih ada akar masalah yang belum dituntaskan antara Jakarta dan Papua sehingga muncul kelompok baru perlawanan melawan pemerintah seperti yang sekarang ini muncul...
(Foto: Suasana menjelang Pemilu Legislatif di Kaimana, Papua)

Saturday, April 04, 2009

Seminar Pemilu dan Marjinalisasi orang Papua di Kaimana


Pada 28 Maret 2009 yang lalu diadakan pelantikan Pengurus Majelis Muslim Papua (MMP) wilayah Kaimana. Untuk memeriahkan acara tersebut, panitia juga menyelenggarakan seminar sehari dengan tema “Pemilu dan Demokrasi di Papua”. Untuk acara ini diundanglah dua ahli politik dari LIPI, yaitu Prof Dr Syamsudin Haris dan Prof Dr Ikrar Nusa Bhakti. Selain mereka berbicara pula Amiruddin al Rahab (Elsam Jakarta), Anum Siregar (Sekjen MMP dan direktur ALDP Jayapura), Moh Thaha Alhamid (Sekjen Presidium Dewan Papua) dan saya sendiri.

Pada pagi hari acara pelantikan dilakukan hingga jam 11.00 setelah itu langsung dilanjutkan dengan seminar. Haris berbicara tentang pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan segala persoalannya. Tema ini ditanggapi oleh Ikrar, Anum, dan Amiruddin. Sedangkan saya sendiri mengangkat tema hubungan pemilu dengan perbaikan masalah mendasar Papua dalam hal pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan marjinalisasi orang asli Papua. Tema ini juga ditanggapi oleh Thaha yang berbicara panjang tentang problem pemilu di papua dan pembangunan di masa Otsus.

Tanggapan kalangan pimpinan di Kaimana sangat positif. Bupati, Kapolres, dan Dandim Kaimana mengikuti acara dari awal hingga akhir. Tidak ketinggalan pula Ketua DPRD Kabupaten Kaimana dan anggota-anggota DPRD yang lain. Sekretaris Daerah Kabupaten Kaimana sendiri bertindak sebagai moderator seminar. Di tengah-tengah hadirin saya menyaksikan Ketua Bappeda dan pejabat penting kabupaten. Menariknya semuanya mengikuti acara dari awal hingga penutupan yang dilakukan oleh Bupati Kaimana Hasan Achmad Aituarauw. Ini menarik karena menurut pengalaman saya di Jayapura, para pejabat pemerintah daerah biasanya tidak tertarik mengikuti diskusi seminar. Biasanya mereka hadir pada pembukaan saja dan kemudian menghilang dengan kesibukan masing-masing.

Pertanyaan dan komentar yang muncul dari peserta sangat antusias. Thaha Alhamid mengungkapkan persoalan Daftar Pemilih Tetap yang jumlahnya sama dengan jumlah penduduk di seluruh Tanah Papua yaitu sekitar tiga juta jiwa. Ini berarti ada kesalahan serius dalam pendataannya. Melihat persiapan yang ada di Papua, Thaha mengkhawatirkan konflik-konflik yang akan muncul setelah pemilu digelar dan penghitungan suara dimulai. Thaha menyayangkan bahwa tidak ada pihak yang sungguh-sungguh mempersoalkannya dari awal tapi nanti kalau merasa dirugikan baru mulai protes dan membuat keributan.

Tema marjinalisasi orang asli Papua juga mendapatkan perhatian besar dari peserta. Thaha Alhamid membacakan surat dan mengeritik pernyataan dari pimpinan adat di Kaimana yang menuntut bahwa hasil pemilu legislatif di Kaimana harus seratus persen diberikan kepada putra daerah asli Kaimana. Menurutnya, tuntutan ini tidak masuk akal. Pemilu menurutnya harus demokratis dan tidak mempersoalkan putra daerah atau bukan. Yang terpenting baginya adalah kapasitas dan komitmen caleg-caleg yang terpilih untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Saya sendiri menyampaikan kritik secara umum terhadap pertanyaan mengenai apakah mungkin marjinalisasi diatasi dan apakah mungkin Papua memisahkan diri dari Republik Indonesia. Untuk pertanyaan ini, saya mengatakan bahwa apa pun aspirasi dan tujuan politik setiap warga negara sah-sah saja untuk dinyatakan. Yang terpenting setiap aspirasi dan cita-cita yang dianggap baik harus diperjuangkan bersama-sama dengan cara damai dan demokratis. Setiap orang harus bekerja, berorganisasi, dan mengembangkan agenda dan melakukan kerja-kerja politik yang konkrit. Bukan hanya dengan demo dan tuntutan verbal.

Acara berlangsung hingga pukul 17.00 dan ditutup oleh Bupati Hasan Achmad. Menariknya, Bupati membuat pidato penutupan dengan sangat teratur. Tanpa disadari beliau sebenarnya membuat catatan seminar yang komprehensif. Tema-tema yang muncul selama seminar dibahasnya dengan cerdas dan runtut. Dia menunjukkan kepada hadirin bahwa pemerintah Kabupaten Kaimana dengan segala keterbatasannya telah melakukan banyak hal untuk menjawab persoalan-persoalan mendasar seperti masalah pendidikan dasar, pelayanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan secara marjinalisasi orang asli Papua.
(Foto: Bupati Kaimana Hasan Achmad Aituarauw, oleh Muridan Widjojo/Jafar Werfete, 2009)