Tuesday, July 15, 2008

Tragedi LEMASA dan Amungme di Timika


Pada 1994 Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA) didirikan. Tom Beanal sang pemimpin ingin membangun jembatan politik dan budaya agar eksistensi Amungme sebagai ‘manusia’ diakui. Agar Amungme mampu bersatu dan memperjuangkan hak-haknya di dalam berhadapan dengan kekuatan raksasa PT Freeport Indonesia, represi aparat ABRI (militer) dan tekanan halus migrasi dari dalam maupun dari luar kawasan Papua...

Visi yang terbuka dan inklusif, membuat LEMASA berhasil tumbuh kuat hingga sekitar 1998-99 dengan kerjasama WALHI, YLBHI, ELSAM dan LSM Jakarta dan Jayapura lainnya. LEMASA melahirkan tokoh-tokoh muda seperti Yopi Kilangin, Benny Tsenawatme (alm.), Bosco Pogolamun, Paulus Kanongopme (alm.), Yohanes Pinimet, Yohanes Deikme, Thomas Uanmang, Mus Pigai dan lain lain. Kegiatan adat di tingkat kampung (nol naisorei) bergerak antusias. Inisiatif kredit mikro dan kios-kios kecil mulai tumbuh. Tambang galian C dikuasai. LEMASA hadir sebagai mediator konflik yang efektif. LEMASA hadir sebagai payung yang berwibawa bagi Amungme dan suku-suku lain. LEMASA memulihkan harga diri Amungme...


Berkat LEMASA, pelanggaran HAM Tembagapura 1994-1995 terpublikasi. Pada 1997 Bosco dan Paulus dari LEMASA pula yang pergi ke Bela dan Alama membongkar pelanggaran HAM. Dengan percaya diri, pada 1996 pemimpin LEMASA menolak dana 1 persen dari Freeport berdasarkan prinsip-prinsip mendasar tentang hak-hak Amungme dan Kamoro. Sang Torei Negel Tom Beanal waktu itu menuntut Freeport atas keterlibatannya dalam pelanggaran HAM di pengadilan Lousiana AS. Freeport dipaksa untuk mengakui kekuatan Amungme. Artinya, LEMASA sudah pernah membuat Amungme diakui dan dihargai. Sudah mengembalikan Amungme sebagai salah satu tuan di tanah sendiri.


Tapi LEMASA sebagai alat perjuangan meredup sejak akhir 1998 ketika Benny disibukkan proyek-proyek dari Freeport. Juga ketika Tom menerima posisi sebagai komisaris Freeport dan aktif sebagai Wakil Ketua Presidium Dewan Papua (PDP). Tidak hanya Benny dan Tom yang meninggalkan LEMASA, tetapi yang lain kemudian aktif mengelola dana kemitraan 1 persen dari Freeport di bawah payung Lembaga Pengembangan Masyarakat Irian Jaya (LPMI) pimpinan Meno Yopi Kilangin... Sebagian besar Amungme lalu lupa bahwa LEMASA adalah akar kekuatan yang harus dijaga dan ditumbuhkan...


LEMASA stagnan sejak kepemimpinan Paulus Kanongopme. Fungsi utama LEMASA sebagai representasi Amungme dan pelayan masyarakat Amungme dalam penyelesaian konflik tidak ada lagi. Paulus tidak memperhatikan kegiatan lembaga dan lebih sering berada di luar untuk urusan di luar lembaga. LEMASA pun ambruk pelan-pelan. Pada masa itu saya mencoba mengingatkan para tokoh muda Amungme untuk segera membuat Musdat baru mengatasi hal ini, tapi tidak ada tindak lanjut. Sejak 2004, setelah Paulus meninggal, LEMASA dikelola sementara oleh beberapa Amungme dan memang tidak ada perbaikan. Direktur LEMASA definitif harus menunggu Musyawarah Adat (Musdat).


Singkat cerita, pada Februari 2007 diselenggarakan Musdat LEMASA dengan biaya yang rencananya Rp 1 milyar dan membengkak Rp 1,5 milyar. Pada forum ini Amungme Naisorei (Dewan Adat Amungme) memilih direktur baru LEMASA Yan Onawame, yang merupakan pensiunan PNS Kehutanan. Dia tidak punya banyak catatan dalam perjuangan LEMASA sebelumnya. Pada masa ini dana untuk LEMASA berlimpah, sekitar Rp 4 milyar dari LPMAK dan Pemkab Mimika. Tetapi dana itu menjadi jebakan sosial. Kegiatan kelembagaan yang substansial tidak jalan. Para pengurusnya hanya sibuk dengan alokasi uang. Diperkirakan untuk honorarium diperlukan Rp 1,8 milyar per tahun dan yang lainnya digunakan secara tidak produktif bagi lembaga. Yan juga belakangan dituduh menggelapkan bantuan Rp 2 milyar dari pemerintah.


Selanjutnya, cerita LEMASA kini dipenuhi dengan konflik internal. Yan Onawame dan pengurus di bawahnya dipecat oleh Torei Negel Tom Beanal. Alasan pemecatan intinya mengatakan bahwa Yan dianggap gagal sebagai direktur. Tom menunjuk pengurus baru sementara untuk selamatkan LEMASA. Di pihak Tom dkk dan wartawan bisa bertemu tapi entah dimana. Merasa disingkarkan oleh Tom, Yan menuntut balik sebesar Rp 1 trilyun. Sudah dapat diduga bahwa akan ada kejadian-kejadian lain yang memalukan Amungme.


Sekarang ini, jangan harap lagi LEMASA mampu melayani Amungme dan menjalankan fungsi seperti pada masa 1994-1998. Sejak 1999, peran LEMASA dalam penyelesaian konflik di Kabupaten Mimika hampir nol. Pemimpin Amungme selevel Tom Beanal dan Yopi Kilangin tidak akan muncul lagi jika arena kepemimpinan seperti LEMASA tidak berfungsi lagi. Tidak akan ada lagi orang Amungme yang mampu secara berwibawa berbicara dan bertindak atas nama masyarakat adat Amungme. Tidak ada lagi orang Me, Jawa, atau Bugis yang mengadu kepada LEMASA karena tanahnya diserobot oleh orang Dani, Me, atau yang lainnya.


Tidak ada lagi arena bagi orang Amungme untuk datang dan berkumpul bercerita sambil belajar, mengklarifikasi rumor, serta rumah bagi siapa saja yang ingin dilindungi hak-haknya berdasarkan adat. Tidak ada lagi Amungme yang kuat dan membuat orang-orang lain menganggukkan kepalanya... Atau masih ada generasi muda?


Amungme tidak lagi mampu berbicara dengan berwibawa di Amungsa. Siapa pemimpin Amungme yang sekarang sudah hidup ‘makmur’ mampu dan mau menyadari situasi ini dan berjuang untuk mengatasinya? (Foto: Tua-tua adat Amungme di Gereja Tiga Raja Timika, oleh Muridan Widjojo, 2004)

Monday, June 30, 2008

Kampanye Anti Penyiksaan di Papua

Pada 26 Juni 2008, Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP) dengan sponsor dari ICMC (International Catholic Migration Commission) dan IRCT (the International Rehabilitation Council for Torture Victims) menyelenggarakan aksi bagi bunga dan diskusi untuk kampanye anti penyiksaan. Pada pagi hari, sekitar 80 aktivis mahasiswa dan jejaring ALDP menyebar di sekitar Sentani, Abepura, dan kota Jayapura membagi 1,000 bunga dan 500 leaflet kepada para warga Kota dan Kabupaten Jayapura yang hendak menuju sekolah, kampus dan tempat kerja.


Ketua ALDP Anum Siregar berujar, “kami berharap mereka yang berangkat ke sekolah, kampus dan kantor akan membawa bunga dan leaflet dan mendiskusikannya di tempat masing-masing dengan rekan-rekannya. Selanjutnya bunga dan leaflet itu akan dibawa pulang dan dibicarakan di rumah masing-masing. Dengan demikian, jika ada seribu bunga dan seribu leaflet, setidaknya ada 5.000 orang akan mendengar atau mendapatkan informasi tentang kampanye anti penyiksaan.


Pada malam harinya ALDP menyelenggarakan diskusi di ‘studio alam’ buatan crew ALDP. Acara dimulai dengan pembukaan oleh Ketua ALDP. Sebelum dilanjutkan dengan refleksi dua korban penyiksaan: Hendrik Yomo, saksi kekerasan ABRI 1972 dari Puay dan Peneas Lokbere, korban Abepura 2000 dari Wamena, suasana dramatis dan haru dibangun. Tiba-tiba lampu padam. Seketika itu pendar-pendar limabelas obor dan limapuluh lilin memenuhi arena.


Koordinator program, Mey, membacakan puisi Wiji Thukul dan Enos Lokobal dengan suara lamat-lamat membelah sunyi. Ketika haru dan hening memukau, suara Hendrik dan Peneas masuk menceritakan pengalaman kekerasan, refleksi, dan harapan mereka. Pertunjukkan slide berikutnya dengan tema “Kisah Sang Lilin” menyempurnakan suasana. Slide ini menceritakan bagaimana tiga lilin yakni Damai, Iman, dan Cinta memutuskan untuk padam. Tapi lilin keempat, yakni lilin Harapan, dengan bantuan anak kecil, kembali menyalakan ketiga lilin yang sudah padam.


Acara pada malam itu juga diperkaya dengan diskusi dua pembicara: Koordinator KontraS Papua Harry Maturbongs SH dan Kepala Bidang Pembinaan Hukum Polda Papua AKBP Pasero SH, dengan moderator penyiar RRI Papua, Amir Siregar. Maturbongs menunjukkan bahwa meskipun Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui UU 5/1998 peraturan pelaksanaannya belum ada. Selain itu belum ada lembaga yang menangani korban penyiksaan. Pada praktik sehari-hari warga yang menjadi korban takut melapor ke polisi, terutama apabila pelaku penyiksaan adalah aparat TNI atau kepolisian dan korbannya adalah tersangka kasus tertentu.


Satu-satunya cara yang efektif, jelas Maturbongs, adalah mendampingi tersangka selama penyelidikan dan penyidikan. AKBP Pasero sendiri menunjukkan bahwa sebenarnya secara normatif sudah ada sejumlah UU yang bisa digunakan oleh korban penyiksaan untuk menuntut secara hukum. Namun, UU itu sendiri belum bisa secara efektif dimanfaatkan oleh para korban. Misalnya, untuk hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi korban, diperlukan keputusan dari pengadilan HAM. Sedangkan belum pernah ada keputusan pengadilan HAM yang memenangkan korban dan menghukum pelakunya. Dari diskusi Maturbongs dan Pasero itu, diperoleh gambaran tentang halangan-halangan dan peluang bagi korban penyiksaan untuk memperoleh keadilan.


ALDP sejak 2004 memang mulai memberikan perhatian pada korban penyiksaan ini. Program Survival of Torture (SOT) ALDP di bawah koordinasi Merlin “Mey” Rumaikewi sejak 2006, program ini membuat forum yang disebut Kelompok Teman Bicara (KTB) di Kabupaten Jayapura yang tersebar di Demta, Puay, Ayapo, Yansu, Singgri, Krepang-Muaif, dan Nimbokrang serta di Waris, kabupaten Keerom. Dari KTB ini masyarakat dan ALDP bisa berbagi cerita dan memulai proses rekognisi dan rehabilitasi untuk menyembuhkan luka-luka kolektif yang mereka derita dalam diam sejak akhir 1960-an.


Acara malam Refleksi dan dukungan itu memang dipersembahkan kepada para korban. Hendrik Yomo dan Peneas Lokbere mewakili ribuan atau mungkin puluhan ribu orang Papua yang menjadi korban kekerasan, khususnya penyiksaan, oleh aparat negara (baca ABRI/TNI atau pun polisi) baik selama Orde Baru berkuasa maupun sejak masa Reformasi.


Pelaku menyakiti tubuh korban agar cita-cita yang bersemi di hati dan pikiran korban bisa dibunuh. Tapi ternyata penyiksaan tidak pernah bisa membunuh cita-cita. Penyiksaan hanya membuat luka di tubuh atau mencabut nyawa pemiliknya. Hasilnya adalah trauma dan dendam. Tidak hanya pada korban, tetapi juga anaknya, iparnya, bapaknya, ibunya, omnya, dan banyak orang lainnya yang mencintai dan pernah hidup bersama si korban. Hingga hari ini negara masih berhutang pada korban penyiksaan khususnya dan pelanggaran HAM pada umumnya.


Pada masa Reformasi, penyiksaan masih terus terjadi. Peneas adalah salah satu korbannya. Tapi karena banyak LSM dan organisasi masyarakat sipil lainnya sangat kritis terhadap hal ini, polisi, apalagi aparat TNI, juga menjadi ekstra hati-hati. Kata Maturbongs, ada pola baru, yakni penyiksaan secara psikis dengan cara mengancam, menakut-nakuti, atau pun ancaman verbal lainnya pada saat korban dalam keadaan tak berdaya. Penyiksaan psikis adalah yang paling sulit dibuktikan meskipun banyak korban sudah berjatuhan. Lukanya menetap secara imajiner di dalam hati dan pikiran. Tak ada tubuh yang terluka, tapi ketakutan dan kecemasan merongrong rohani.


Kekerasan, termasuk penyiksaan, adalah luka yang dirasakan lalu diceritakan secara khidmat kepada para sahabat dan kerabat di kampung-kampung di tengah malam. Diwariskan kepada anak-cucunya. Disebar dan ditanam di dalam hati dan pikiran komunitasnya. Dongeng dan lagu-lagu memberi rumah bagi ingatan kolektif tentang kekerasan. Dari situ bersemi suatu budaya teror yang berakar pada ketakutan, kemarahan dan ketidakberdayaan... Mungkinkah pembangunan dan demokrasi yang sehat dibangun di tengah-tengah masyarakat yang menderita budaya teror semacam ini? (Desain leaflet oleh Hardin Halidin)

Saturday, May 24, 2008

Joni Haluk: Merintis Kekuatan Pengusaha Asli Papua...


Joni Haluk yang lahir di kampung Pugima, Wamena, pada 1971 adalah anak Dani Balim yang biasa-biasa. Dia merantau ke Jayapura sejak SMA. Setelah lulus SMA, pada 1991-1992 dia mengaku kuliah di Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih tapi beberapa bulan saja. Dia lebih memilih bekerja di PT Nindya Karya di Mamberamo sebagai operator excavator. Pada 1994 dia pindah kerja di Freeport yang bergaji lebih tinggi. Namun empat tahun kemudian dia kecewa karena perbedaan perlakuan Freeport antara terhadap pekerja pendatang dengan pekerja lokal. Misalnya, pekerja pendatang mendapatkan fasilitas cuti dengan tiket pesawat sedangkan yang lokal tidak. Selain itu, dia merasa karir pekerja lokal tidak berkembang dibandingkan pendatang. Belum lagi gaji yang dirasakannya kecil, yaitu kurang dari Rp 2 juta. Oleh karena itu si Dani Joni Haluk bersama si Batak Yasmin Manurung bekerjasama menggalang protes yang diikuti dengan pemogokan.

Pemogokan diikuti oleh pekerja non-staf dalam jumlah besar. Joni dan Yasmin mampu bertahan memimpin pemogokan hingga satu minggu meskipun tawaran jabatan baru di Freeport serta tekanan dan intimidasi. Karena tawaran manajemen pada satu sisi dan intimidasi pada sisi lainnya, satu demi satu para pimpinan mogok mengundurkan diri. Tinggal Joni dan Yasmin yang bertahan. Untungnya, Freeport akomodatif dan pemogokan berakhir di meja negosiasi. Sebagian besar tuntutan karyawan dipenuhi. Tapi Joni dan Yasmin bernasib lain. Keduanya dipaksa mengundurkan diri oleh pejabat Human Research and Development (HRD) Freeport Indonesia. Meskipun mencoba bertahan, dia akhirnya tidak tahan menerima perlakuan intimidatif yang dialami ketika kembali bekerja pada masa pasca negosiasi. Pada tahun yang sama dia akhirnya keluar dari Freeport.

Beberapa saat Joni menganggur. Lalu dia mendirikan PT Hawali, perusahaan kontraktor dan leveransir. Target utamanya adalah proyek-proyek pemerintah. Proyek pertama diperolehnya pada 1998, senilai Rp 7 juta saja. Jumlah itu terus naik secara bertahap. Joni tahu bahwa Pemerintah Kabupaten Mimika sudah memiliki ‘langganan’ perusahaan yang ternyata milik pendatang atau non-Papua. Menyadari peluang yang sulit, Joni menggunakan cara lain. Dia memobilisasi pengusaha dan massa orang asli Papua pada 2002 untuk menyatakan protes pada Pemkab Mimika. Beberapa proyek bangunan fisik milik Pemkab yang sedang dikerjakan, dirusak sebagai tanda intimidasi. Alasan Joni, beberapa proyek itu tidak diproses dengan benar karena proyek yang sedang dikerjakan itu sebenarnya DIPA-nya belum turun.

Intimidasi aksi massa Joni berhasil. DPRD dan Pemerintah Kabupaten Mimika merespons dengan memberi jatah proyek ‘pembinaan’ dengan nilai sekitar Rp 2,5 milyar untuk Joni dan pengusaha asli Papua lainnya. Di antara Joni dkk, ada yang membawa kabur uang proyek, ada yang selesai tetapi mutunya buruk, tetapi ada juga yang selesai dengan kualitas baik. Yang terakhir ini jumlahnya sekitar 5 dari total 70 pengusaha. Beberapa yang bagus itu di antaranya adalah Norman Karukukaro (Kamoro), Philipus Waker (Dani), dan Joni Haluk (Dani). Para pengusaha yang kinerjanya dianggap buruk oleh pemerintah kabupaten akan ‘dibina’. Namun jika tidak ada harapan, tidak akan diberi proyek lagi.

Selain bagi-bagi proyek, dibuat pula program ‘bapak angkat’ dengan dua model kerjasama. Pertama, satu pengusaha besar bersama dengan sejumlah pengusaha kecil asli Papua mendapatkan proyek bersama. Yang besar membina yang kecil dengan mendapatkan fee sekian persen dari penerima proyek. Kedua, satu pengusaha besar mendapat proyek besar dan sejumlah pengusaha asli Papua menerima proyek kecil. Dalam prosesnya, yang besar harus membantu segala kesulitan dan mengarahkan pekerjaan agar berhasil. Kesulitannya, yang besar lebih konsentrasi pada proyek-proyeknya, sedangkan pengusaha asli Papua juga cenderung resisten jika diingatkan atau diarahkan oleh staf dari perusahaan bapak angkat lainnya. Entah karena aksi massanya atau keberhasilan lobinya, pada 2004, perusahaan Joni, PT Hawali, kembali mendapat proyek pembangunan fisik besar pertama senilai Rp 600 juta. Tapi karena belum pengalaman, dia mengaku hanya mendapat untung Rp 27 juta saja. Dia menduga, stafnya melakukan kecurangan.

Dari aksi massanya 2002 itu, lahirlah Forum Pengusaha Putra Daerah (FPPD) dan Joni diangkat sebagai ketua. FPPD adalah ‘embrio’ dari Asosiasi Pengusaha Anak Adat Papua (ASPAP) yang kemudian didirikan pada 29 Mei 2005. Pada saat Sidang IV Dewan Adat Papua (DAP) di Sentani Indah Jayapura (26 Juni - 1 Juli 2006), ASPAP diubah menjadi Kamar Adat Pengusaha Papua (KAPP). Wacana dasar kelahiran KAPP adalah penilaian para pengusaha orang asli Papua bahwa selama 5-6 tahun implementasi Otsus, orang asli Papua belum pernah mendapatkan bantuan atau pun perlakuan khusus dalam mengembangkan bisnis. Jika harus mengikuti aturan main yang normal, mereka merasa akan selalu kalah. Menanggapi hal ini, pihak pemerintah berdalih bahwa bantuan untuk pengusaha asli Papua belum bisa dijadikan kebijakan karena belum ada perdasus atau perdasi yang mengaturnya. Meskipun masuk akal, alasan ini, menurut KAPP, tidak adil karena pada praktiknya dana Otsus sudah dicairkan dan dimanfaatkan. Dana-dana tersebut sebagian besar hanya dinikmati oleh pejabat atau elit Papua.

Setelah KAPP berdiri, diselenggarakan konferensi pada 26-29 September 2006 di GOR Jayapura, untuk membuat payung hukum perlindungan keberadaan KAPP. Organisasi ini bertujuan “mengakomodir, melindungi dan memproteksi pengusaha anak adat Papua di bawah UU Otsus”. Menyadari pentingnya perdasi dan perdasus, maka program utama KAPP adalah menghasilkan raperdasi dan raperdasus berdasarkan UU No 21 tentang Otsus. Pembuatan draft akademik Raperdasus kemudian disusun dengan melibatkan DPRP dan MRP serta para pakar semacam Dr. Agus Sumule, Drs. Frans Apomfires, MSi., dan Anum Siregar, SH. Di konferensi tersebut, John Haluk terpilih sebagai ketua. Raker pun dibuat dan hasilnya diserahkan kepada pemerintah. Sayangnya, menurut Joni, Gubernur Papua kurang menanggapinya sehingga KAPP mengadakan demo di Jayapura.

Joni, melalui KAPP, berobsesi ingin mengangkat usaha mikro orang asli Papua. KAPP ingin membina mama-mama penjual sayur, pinang, dll, dengan cara diberi tempat jualan yang layak supaya tidak berjualan di pinggir saluran air atau jalan aspal. KAPP juga ingin membina usaha nelayan orang asli Papua. Pada prinsipnya, Joni merasa orang asli Papua belum diberi kesempatan yang cukup untuk berkembang. Dia menolak stereotipe bahwa orang asli Papua tidak mampu. Meskipun demikian, dia mengakui bahwa ada orang asli Papua yang kerja proyek asal-asalan dan tidak bertanggungjawab. Tetapi itu tidak boleh digunakan sebagai generalisasi dan alasan yang menghalangi pengusaha asli Papua untuk berkembang. Pasti di antara mereka, kata Joni, ada minimal lima yang terbaik.

Joni kenyatannya memang termasuk pengusaha kontraktor asli Papua yang relatif sukses. Rumahnya di Jalan Sosial Timika cukup bagus, terawat, dan bersih. Dia punya satu mobil pribadi keren, merknya KIA Sportage. Perusahaannya tergolong kelas menengah. Alat-alat berat seperti grader, bomat, dan excavator sudah dimiliki sendiri dari hasil akumulasi modalnya. BRI dan Bank Papua di Timika bahkan sudah percaya dengan kredibilitasnya. Dia bahkan mengaku selalu ditawari kredit oleh bank-bank tersebut. Operasional kantornya mencapai 50 juta sebulan. Gajinya sebagai direktur sebesar 11 Juta sebulan. Karyawannya berjumlah 15 orang. Aset perusahaannya sekarang sekitar Rp 5-6 milyar.

Perjuangan Joni perlu disikapi secara positif oleh pemerintah provinsi dan kabupaten. Kebijakan yang lebih terarah jangka menengah dan panjang harus dibuat. Tentu kebijakan ad hoc membagi proyek-proyek pemerintah bukanlah solusi menyeluruh. Apalagi hal itu dilakukan karena adanya intimidasi massa. Pemerintah harus melakukannya demi penguatan pengusaha asli Papua dengan atau tanpa aksi massa. Gaya intimidasi massa, kalau diteruskan hanya akan membuat mekanisme tata pemerintahan yang baik menjadi tidak jalan. Harus dibuat kebijakan yang lebih mendorong para pengusaha asli Papua mengembangkan profesionalisme. Kalau sudah ada sejumlah pengusaha asli Papua yang kuat dan mampu bersaing, bagi-bagi proyek bisa dihentikan.

Untuk Joni dan kawan-kawan, kalau mau menjadi pengusaha yang tangguh hendaknya tidak bergantung terus pada proyek-proyek pemberian pemerintah. Proyek-proyek itu hanya akan membuat ketergantungan pengusaha pada pemerintah. Joni dan kawan-kawan, melalui KAPP, perlu memikirkan pengembangan bisnis yang berbasis produksi dan penguasaan pasar-pasar potensial yang masih terbuka di Timika khususnya dan Papua pada umumnya. Bisnis itu, kalau di Timika misalnya, bisa mengembangkan produksi ikan asap, pembuatan kerupuk ikan atau udang, dan usaha-usaha lain yang bahan bakunya melimpah di Timika. Dengan demikian ikan atau hasil tangkapan laut nelayan Papua bisa mendapatkan nilai tambah dan yang terpenting menciptakan lapangan kerja baru.(Foto: Kantor dan Rumah Joni Haluk di Timika, oleh Muridan S. Widjojo)

Thursday, May 15, 2008

Demokrasi mulai tumbuh sehat di Mimika?


Pada 9 Mei 2008 Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Mimika Anna Balla mengundang saya untuk menjadi salah satu panelis dalam acara debat publik calon bupati dan wakil bupati Mimika di Kota Timika pada 14 Mei 2008. Tentu saja saya dengan senang menerimanya. Acara semacam ini baru yang pertama di Papua untuk Pilkada tingkat kabupaten/kota. Apalagi acaranya disiarkan secara live oleh Metro TV Papua.

Saya tiba di Timika 13 Mei pagi. Tiga panelis lainnya juga sudah tiba, yaitu Prof. Dr. Basri Hassan dan Dr. Hendri Mahulete. Keduanya dosen di Universitas Cenderawasih. Yang ketiga adalah mantan Wakil Gubernur Papua masa Jaap Solossa, yaitu Drh. Constan Karma. Setelah makan siang, kami para panelis melakukan koordinasi dengan pihak Metro TV Papua. Bersama dengan penyiar terkenal TVRI Usi Karundeng yang akan menjadi moderator debat publik, kami berdiskusi tentang masalah-masalah Mimika agar Usi menjadi paham dengan isu-isu strategis di Mimika.

Debat publik diadakan pada 14 Mei 2008 jam 10.00 pagi. Para calon bupati (cabup) dan wakil bupati (cawabup) ada empat pasang: 1) Yan Yoteni-Paulus Pakage, 2) Hans Magal-Sutoyo, 3) Klemen Tinal-Abdul Muis, dan 4) Yopi Kilangin-Yohanis Helyanan. Cabup No 1 Yoteni secara umum tidak meyakinkan. Pidatonya cenderung umum dan tidak konkrit. Ini bisa dipahami karena pengalamannya sebatas organisasi olah raga dan karyawan biasa Freeport. Sedangkan Cabup No 2 Magal berbicara lantang meyakinkan, tapi memang dia terlalu muda (32 tahun) dan miskin pengalaman. Pengalaman utamanya hanya di lingkungan gerakan mahasiswa. Mungkin lima tahun lagi setelah aktif di lembaga legislatif dia akan lebih matang dan siap untuk menjadi bupati.

Cabup No 3 Tinal sebagai incumbent cukup mengherankan karena visi misi dan program kerjanya tidak realistis, misalnya membuat transportasi trem seperti di Belanda. Kalangan kritis di Mimika mengatakan pembangunan kurang berhasil saat dia menjadi bupati. Justru infrastruktur Kota Mimika, seperti jalan dan drainase, membaik secara signifikan berkat kerja Pejabat Bupati Alo Rafra selama dua tahun terakhir. Di Timika, cabup No 3 ini dikenal memiliki modal uang yang paling besar untuk kampanye. Sedangkan Cabup No 4 Kilangin adalah bekas pastor dan memiliki pengalaman panjang di dunia Gereja Katolik, lembaga adat, gerakan pro-demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan lembaga pengembangan masyarakat. Pendapat sejumlah orang yang saya temui, pasangan Kilangin-Helyanan memiliki peluang menang paling besar. Beberapa orang lain mengatakan Hans Magal juga berpeluang karena berpasangan dengan H. Sutoyo dari PKS representasi kelompok Islam pendatang.

Menarik untuk dicatat bahwa semua calon bupatinya adalah orang asli Papua meskipun UU No 32 tentang Pemerintahan Daerah memungkinkan pendatang menjadi calon bupati. Ini menunjukkan konsensus politik yang penuh pengertian di Papua, dan Mimika khususnya, bahwa orang asli Papua diakui memiliki kesempatan terbesar untuk menjadi pemimpin. Ini juga berarti bahwa pemimpin Papua memiliki kesempatan untuk menentukan masa depan politik dan ekonomi di Papua. Para pendatang rupanya sudah cukup tahu diri dengan mencalonkan diri sebatas sebagai wakil bupati. Ini juga sekaligus menunjukkan bahwa sebenarnya pendatang juga memiliki kekuatan politik yang juga menentukan di Papua. Saling pengertian secara politik ini mesti terus dipelihara.

Siapa pun yang akan menang pada 19 Mei nanti, kita mengharapkan proses yang damai sampai tahap pengumuman pemenangnya. Yang kalah diharapkan tidak mencoba mendelegitimasi hasilnya apalagi bertindak vandalistis. Untuk tahap ini, kita harus menghargai keberhasilan KPU Mimika membuat tradisi baru di Papua yaitu debat publik yang disiarkan secara live oleh TV dan radio ke antero Papua. Suasana dalam debat itu meskipun serius dan menegangkan, terasa menyenangkan karena diselingi suasana ramah dan lucu. Panelis pun berusaha membuat kandidat bisa menampilkan yang terbaik dari masing-masing. Moderator Usi Karundeng juga sukses mengatur jalannya acara dan menjaga suasana hati publik dengan simpatik. Acara berakhir dengan salaman dan senyum lebar tanpa insiden yang memalukan atau yang bernuansa kekerasan.

Keberhasilan debat publik ini terselenggara secara damai sangat membesarkan hati karena Timika sebelumnya telah mencatat berbagai peristiwa kekerasan mulai dari kekerasan antaretnis Papua, antara pendatang dengan Papua, hingga kekerasan antara aparat keamanan dengan orang asli Papua, bahkan antaraparat keamanan sendiri. Katakanlah mulai dari temuan pelanggaran HAM 1994 dan 1997, kekerasan massal merusak fasilitas Freeport 1996, konflik antarkelompok suku pada 1997 dan 2006, hingga insiden kecil lainnya yang bernuansa ketegangan antaretnis Papua dengan pendatang. Bahkan ketegangan antarumat beragama pun sempat muncul di sini.

Praktek Pilkada di Mimika menunjukkan bahwa demokrasi mulai terlembaga dengan baik di Papua. Diskriminasi politik pun berkurang secara signifikan. Orang Papua, baik yang pernah dilabel separatis oleh pihak keamanan atau pun yang dilabel pro-NKRI, semuanya punya kesempatan untuk maju sebagai bupati atau calon bupati. Pihak pemerintah tidak bisa lagi mengintervensi KPU. Selama kandidat memenuhi persyaratan menurut undang-undang, semuanya berhak maju dalam pilkada. Cerita tentang intervensi TNI atau Pemerintah Pusat terhadap calon bupati atau walikota adalah ceritera masa lalu. Satu-satunya intervensi paling mungkin adalah kantor pusat partai-partai politik peserta pemilu namun itu pun suara pengurus partai setempat masih menentukan.

Semoga demokrasi yang sudah bersemi terus tumbuh di Papua. Dari demokrasi yang prosedural hingga meningkat kualitasnya menjadi demokrasi yang substansial...(Foto para calon bupati dan wakil bupati dibuat oleh Seman/Nanda, Timika 2008)

Saturday, May 03, 2008

Memikirkan Perwakilan Komnas HAM Papua


Pada awal Januari 2008, saya diberitahu oleh Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh bahwa saya dan Kawan Amiruddin dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Jakarta diminta membantu di dalam Tim Evaluasi dan Tim Seleksi Anggota Perwakilan Komnas Ham Papua 2008-2011. Berdasarkan permintaan itu saya mulai mempelajari keadaan perwakilan dan mencoba membuat catatan.

Perwakilan Komnas HAM Papua baru periode 2004-2007 sudah berakhir. Ternyata kepengurusan lembaga ini tidak berfungsi dengan layak. Sebab pertama adalah konflik internal antara ketua dan anggota. Setelah ketua lama, Freddy Toam, digantikan Albert Rumbekwan, situasi tidak membaik. Pak Ketua sendiri mengaku tidak dipatuhi oleh anggotanya. Sumber konfliknya, salah satunya, adalah masalah keuangan.

Sebab kedua adalah masalah organisasi. Kantor Perwakilan tidak memiliki staf keuangan yang handal sehingga dana yang sedikit dari Komnas HAM Jakarta dan bantuan Pemerintah Provinsi Papua yang jumlahnya cukup besar (sekitar Rp 1 Milyar) tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Berbagai rumor tentang korupsi merebak di kalangan LSM dan wartawan di Jayapura. Mekanisme internal penanganan pengaduan pun tidak ditata sehingga setiap anggota bekerja sendiri-sendiri.

Sebab ketiga adalah kualitas individu para anggota perwakilan. Pengetahuan HAM dan hukum sebagian anggota sangat minimal sehingga membuat pernyataan ke publik yang tidak proporsional dan menjatuhkan wibawa Komnas HAM. Sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa anggotanya tidak mampu menggunakan komputer sehingga laporan-laporan rutin untuk pertanggungjawaban kegiatan pun terkendala secara serius. Parahnya, ada juga anggota yang menyalahgunakan posisinya untuk ‘memeras’ pihak tertentu.

Tentu tidak adil kalau semua kegagalan itu semata-mata karena ketidakmampuan kantor perwakilan. Komnas HAM Pusat di Jakarta juga mempunyai kontribusi dalam kegagalan itu. Pertama, dana yang kecil dari Jakarta membuat kantor perwakilan tidak bisa bergerak. Transportasi dan biaya perjalanan sangat mahal di Papua dan ini menghambat kegiatan monitoring anggota perwakilan. Gaji atau honor yang diterima juga sangat kecil. Akibatnya para anggota perwakilan sibuk mencari bantuan dana ke Pemerintah Provinsi.

Kedua, kelemahan organisasi kantor perwakilan juga disebabkan oleh kegagalan Komnas HAM Jakarta untuk memberikan kesempatan dan fasilitas pelatihan yang memadai. Komnas HAM memang mengirim seseorang untuk memberikan pelatihan laporan keuangan. Namun yang bersangkutan hanya datang ke kantor untuk install program dan segera pergi. Sebagian besar waktu oknum tersebut justru digunakan untuk jalan-jalan di Jayapura.

Ketiga, Komnas HAM sebenarnya tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap jalannya organisasi perwakilan. Persoalan demi persoalan menumpuk tanpa diketahui dan diatasi dengan cepat. Komunikasi menjadi tidak terjaga secara efektif. Pihak perwakilan cenderung menyalahkan Jakarta dan Jakarta juga melakukan hal yang sama.

Dalam pertemuan publik untuk membicarakan Perwakilan Komnas HAM Papua di Komisi F pada 22 Februari 2008 semua kritik yang terlontar di atas juga disampaikan di dalam forum ini. Ada yang menuntut pembubaran kantor perwakilan dan mengusulkan Komda HAM Papua. Kelompok Allo Renwarin dari Elsham justru meminta pemutusan hubungan dengan Jakarta dan mengusulkan agar Papua membuat sendiri komisi HAM yang independen. Pihak Komnas HAM yang diwakili oleh Wakil Ketua Ibu Hesti Armiwulan dan Komisioner Stanley dan Komisi F DPRP yang diwakili oleh Ketua Weynand Watori menyimpulkan bahwa proses seleksi perwakilan tetap akan dilakukan. Sementara itu usulan lainnya tidak dihalangi jika ada yang mau mewujudkannya.

Sementara proses persiapan seleksi berjalan, kelompok Allo Renwarin mengajak Rika Korain (SKP), Yusan Yeblo (aktivis SPP), Sofyan Yoman (Ketua Sinode Gereja Baptis), Albert Rumbekwan (mantan Ketua Perwakilan Komnas HAM Papua), dan lain-lain menulis surat kepada Ketua Komnas HAM Jakarta untuk menghentikan proses seleksi yang dinilai tertutup dan tidak melibatkan para pejuang HAM di Papua. Lebih jauh lagi, surat ini juga meminta agar Komnas HAM tidak melibatkan “orang-orang dari Jakarta yang kapasitas dan komitmennya terhadap penegakan HAM diragukan”.

Dalam banyak hal surat tersebut berisi hal-hal yang substansial dan penting untuk diperhatikan oleh Tim Seleksi Perwakilan Komnas HAM. Banyak hal di dalamnya berisi catatan-catatan yang penting untuk perbaikan perwakilan Komnas HAM di masa depan. Hanya saja tuntutan untuk menghentikan proses seleksi agak berlebihan mengingat proses yang dilakukan sudah terbuka dan melibatkan banyak pihak. Sebagian dari penandatangan surat tersebut sebenarnya sudah diundang pada pertemuan di Komisi F tetapi tidak hadir, kecuali Allo Renwarin dan Albert Rumbekwan.

Surat itu juga menyebut “orang-orang dari Jakarta yang kapasitas dan komitmennya terhadap penegakan HAM diragukan.” Tanpa kesulitan, saya tahu pasti bahwa yang dimaksud adalah saya dan Amiruddin. Mungkin bagi mereka, pendidikan S3 dan pengalaman saya selama 15 tahun menekuni penelitian antropologi, politik lokal, dan konflik Papua mulai dari Wamena, Mimika, Jayapura, Biak, Raja Ampat, Kaimana, Fakfak dan daerah lainnya hingga Bintuni belum cukup meyakinkan. Mungkin standar mereka terlalu tinggi untuk saya. Penilaian terhadap saya itu sebenarnya bisa benar bisa juga salah, bergantung sejauh mana orang-orang itu mengenal saya.

Tapi saya tidak setuju dengan penolakan mereka terhadap Kawan Amiruddin. Seharusnya mereka lebih adil menilai Amiruddin. Aktivis Elsam ini sejak pertengahan 1990-an mempertaruhkan nyawanya bersama aktivis dan korban HAM Papua dalam perjuangan HAM. Sejarah perjuangan HAM Tembagapura 1994, Bella Alama 1997, hingga investigasi dugaan pelanggaran HAM Wamena 2003 tidak bisa dipisahkan dari peran Amiruddin yang sangat penting. Seharusnya sesama pejuang HAM, para penulis surat itu menghargai kontribusi Amiruddin untuk penegakan HAM di Papua.

Kini batas waktu pendaftaran calon anggota Perwakilan Komnas HAM diundur hingga akhir Mei 2008. Di dalam Tim Seleksi bukannya tidak ada masalah. Selain kesibukan tingkat tinggi para anggota timnya, persoalan dana seleksi juga masalah besar. Komnas HAM terpaksa harus korek anggaran dari sana dan sini sementara kepastian bantuan dari Pemprov juga tidak jelas. Meskipun demikian Tim Seleksi tetap berusaha agar proses berjalan baik.

Perwakilan Komnas HAM Papua yang berfungsi baik dan berwibawa di mata para pelanggar dan korban pelanggaran HAM adalah cita-cita kita semua. Ada baiknya kita, yang menginginkan penegakan hukum dan HAM berjalan baik di Papua, bisa saling menghargai dan mendukung satu sama lain. Pertengkaran sesama aktivis untuk soal-soal pribadi yang infantil hanya akan menghambat pekerjaan yang jauh lebih penting dan substansial. (Foto Muridan S. Widjojo: Pertemuan Tim Seleksi dengan Ketua Komisi F.)