Tuesday, April 13, 2010

Konsultasi Publik dan Fondasi Dialog Papua-Jakarta


Di dalam tahap pra-dialog Papua-Jakarta, Tim Jaringan Damai Papua (JDP) memandang penting tiga langkah untuk membangun dan memperluas konstituensi dialog. Pertama, mendekati dan meyakinkan pemerintah pusat, terutama Presiden RI dan jajaran di bawahnya, agar mengambil dialog sebagai kebijakan untuk penyelesaian konflik Papua-Jakarta; kedua, mendorong para elit dan pemimpin Papua terutama kelompok pro-kemerdekaan, untuk mulai mempersiapkan diri menghadapi dialog; ketiga merancang program konsultasi publik untuk memberikan kesempatan pada pemimpin Papua di tingkat akar rumput untuk memberikan masukan dan dukungan politik pada proses dialog.

Konsultasi ini merupakan upaya untuk meletakkan fondasi legitimasi bagi para pemimpin dan elit Papua yang selama ini terfragmentasi dalam berbagai faksi politik.


Konsultasi publik adalah bagian penting dari pelibatan pemimpin Papua di tingkat akar rumput. Konsultasi ini merupakan upaya untuk meletakkan fondasi legitimasi bagi para pemimpin dan elit Papua yang selama ini terfragmentasi dalam berbagai faksi politik. Konstituen politik mereka terbatas pada kelompok etnis tertentu, faksi politik tertentu, wilayah adat tertentu dan denominasi agama tertentu. Kalau tidak dilengkapi dengan konsultasi publik, upaya penyiapan representasi pemimpin Papua dalam dialog akan dengan mudah didelegitimasi. Konsultasi publik di tujuh wilayah adat Papua dan dua ibukota provinsi akan menolong pembentukan fondasi legitimasi bagi dialog dan representasi Papua yang nanti terbentuk.

Konsultasi publik dijadikan sebagai sarana untuk menjelaskan tawaran konsep dialog Papua-Jakarta. Kepada wakil-wakil masyarakat Papua akar rumput dijelaskan apa itu dialog Papua-Jakarta, mengapa perlu dialog dan bagaimana seharusnya proses yang benar dari suatu dialog itu dijalankan. Para pemimpin akar rumput Papua dibuat mengerti secara jelas konsep dialog yang benar dan diajak memikirkan secara sungguh-sungguh bagaimana dialog seharusnya dilakukan. Diharapkan juga, para pemimpin Papua dapat memberikan masukan tentang tempat, juru runding, mediator, tim ahli, dan yang terpenting agenda dialog. Masukan ini akan dikumpulkan dari sembilan wilayah dan dijadikan masukan bagi persiapan dialog. Kegiatan ini juga memastikan bahwa suara dari akar rumput tidak akan diabaikan dalam dialog nantinya.

Dengan metode ini, peserta mempunyai waktu yang cukup untuk berbicara. Pada saat yang sama masyarakat diharapkan untuk belajar menghargai pemimpin yang mewakilinya.


Para pemimpin Papua akar rumput diidentifikasi dari jalur adat, Gereja, politik, pemuda, mahasiswa, perempuan, dan lain-lain. Dipastikan oleh panitia lokal bahwa tidak ada kelompok dan tokoh yang terabaikan. Aparat pemerintah dan kelompok pro-pemerintah juga diundang. Jumlahnya sekitar 50 orang. Biasanya banyak warga lain yang juga mau hadir. Untuk itu disediakan kursi bagi peninjau atau pendengar. Yang punya hak bicara hanya 50 orang namun peninjau diperbolehkan menyampaikan pendapatnya melalui wakilnya di antara 50 peserta tersebut. Dengan metode ini, peserta mempunyai waktu yang cukup untuk berbicara. Pada saat yang sama masyarakat diharapkan untuk belajar menghargai pemimpin yang mewakilinya.

Sebagai materi untuk peserta konsultasi publik, JDP menyediakan tiga buku kecil. Pertama, buku saku tawaran konsep dialog Papua-Jakarta; kedua, buku ringkasan Papua Road Map karya LIPI; ketiga, buku dialog Jakarta-Papua karya Neles Tebay. Dengan tiga buku ini peserta diharapkan memperoleh pengetahuan yang cukup mengenai dialog dan akar masalah Papua yang dapat ditularkan kepada kerabat dan teman di kampung halaman masing-masing. Ketiga buku tersebut dicetak dengan kertas yang tahan air sehingga dapat disimpan di noken dan dibawa ke kebun atau ke hutan. Diharapkan, masyarakat mengerti konsep dialog dengan substansi yang sama. Setiap saat dengan buku saku, mereka dapat membaca berulang-ulang dan memperoleh pengertian yang mendalam.

Kegiatan ini direncanakan diadakan di sembilan kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat. Tim JDP bekerjasama dengan LSM lokal sebagai pelaksana kegiatan dan sekaligus perpanjangan tangan JDP untuk kampanye dialog Papua-Jakarta. Tim JDP memilih LSM yang memiliki reputasi publik yang positif dan relatif netral secara politik. Selain dengan LSM, JDP juga bekerjasama dengan lembaga Gereja setempat seperti SKP Keuskupan tertentu atau lembaga Gereja Protestan tertentu. JDP dapat dengan mudah membangun jaringan kerja dengan mitra lokal karena 25 fasilitator di dalam JDP terdiri dari aktivis yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan berasal dari berbagai wilayah tersebut.

Konsultasi publik pertama dilaksanakan di Wamena pada akhir Januari 2010. Selanjutnya kegiatan dilanjutkan di Timika, lalu ke Manokwari, Sorong, Biak, Enarotali, dan Merauke. Konsultasi publik di tujuh lokasi tersebut berhasil dilaksanakan dengan baik. Konsultasi publik ke delapan di Fakfak dan kesembilan di Jayapura akan segera menyusul masing-masing pada akhir April dan minggu kedua Mei 2010. Dengan segala kesulitan yang ada di lapangan, JDP berhasil memperoleh dukungan dari sebagian besar kalangan pemimpin akar rumput Papua. Utusan dari mereka yang berada di “hutan” juga hadir dan menyampaikan petisinya kepada JDP. Peran mitra lokal sangat besar dalam kesuksesan rangkaian kegiatan ini.

...fondasi legitimasi politik hubungan kekuasaan antara Negara Republik Indonesia dengan masyarakat Papua akar rumput sungguhlah rapuh. Rawan konflik dan kekerasan
.

Setelah tujuh kali konsultasi publik, saya menyadari betapa masyarakat akar rumput teralienasi dari proses perubahan dan percepatan pembangunan yang berlangsung selama Orde Baru dan bahkan selama UU Otsus dijalankan. Seperti ada jarak sosial budaya yang begitu jauh antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya. Yang mencolok dari percakapan di dalam konsultasi publik, fondasi legitimasi politik hubungan kekuasaan antara Negara Republik Indonesia dengan masyarakat Papua akar rumput sungguhlah rapuh. Rawan konflik dan kekerasan. Selain dukungan kepada dialog, konsultasi publik bisa menjadi cermin untuk refleksi bagi akar masalah-masalah yang masih mendominasi pikiran dan hati masyarakat akar rumput Papua.
(Gambar 1: Simbol Jaringan Damai Papua)
(Foto 1 Tengah: Fasilitator JDP pada saat konsultasi publik di Biak, 26/3/2010)
(Foto 2 Bawah: Pater Neles Tebay pada saat konsultasi publik di Enarotali, 29/3/2010)

Friday, March 19, 2010

PAPUA DALAM JEBAKAN PARADIGMA SEPARATISME


Konflik Jakarta-Papua yang sudah berlangsung selama 47 tahun (terhitung sejak 1963) menumbuhkan dan memapankan paradigma separatisme. Paradigma ini telah menjadi kerangka dan landasan berpikir bagi kedua belah pihak. Pada posisi yang ekstrim, segala kejadian yang terjadi di Papua dipahami dan ditanggapi dalam kerangka berpikir konflik separatisme.

Pihak Pemerintah Pusat (baca: Kemenko Polhukkam, Depdagri, dan BIN) Jakarta menempatkan tujuan pemberantasan separatisme demi mempertahankan integritas NKRI di atas semua kebijakan politik dan ekonomi lainnya. Kekerasan negara pada masa Orde Baru dianggap benar secara politik karena dianggap sebagai upaya memberantas separatisme. Ekses dari kekerasan negara yang dianggap melanggar HAM dianggap tidak lebih penting dari pemberantasan separatisme.

Pada masa Reformasi dan Otsus di Papua, praktik represi dan kekerasan negara juga masih mengatasnamakan pemberantasan separatisme. Pembunuhan Theys Eluay pada November 2001 jelas-jelas diakui di pengadilan bahwa pembunuhan itu dilakukan demi mencegah menguatnya gerakan pro-kemerdekaan Papua. Hal itu berlanjut terus pada kasus Abepura (2000), Wasior (2001), Wamena (2003), dan yang terakhir pembunuhan Kelly Kwalik.

Atas nama pemberantasan separatisme pula, pelanggaran UU “ditoleransi”. Misalnya, Inpres 1/2003 yang membagi Papua menjadi tiga provinsi nyata-nyata melanggar Pasal 76 UU 21/2001. Sebesar apa pun protes masyarakat dan kritik publik terhadap kebijakan tersebut, kebijakan tersebut dipertahankan habis-habisan oleh Depdagri dengan backup dari BIN dan Kemenko Polhukkam. Di kalangan internal mereka, alasannya jelas dan tidak pernah dibantah. Inpres Pemekaran 1/2003 adalah untuk mencegah kesatuan dan persatuan orang Papua pro-merdeka di Jayapura.

Dengan alasan membendung pengaruh asing dalam gerakan separatisme pula Papua diperlakukan sebagai daerah tertutup bagi peneliti dan wartawan asing. Fakta yang baik dan buruk menjadi kabur di Papua. Batas antara berita faktual dan rumor hasil imajinasi pelaku politik menjadi kabur. Berita resmi di surat kabar seringkali dikalahkan oleh rumor yang berkembang di kalangan masyarakat melalui sms atau bisik-bisik. Alhasil, dengan kecanggihan teknologi komunikasi telpon dan internet, representasi dan citra Papua keluar menjadi sulit diverifikasi. Kecurigaan tumbuh dengan sangat subur. Kasus-kasus kekerasan dari pihak negara atau dari pihak kelompok gerakan Papua tidak pernah terungkap tuntas.

Perangkat dan institusi penegakan hukum pun mengalami distorsi. Dalam banyak kasus politik Papua asumsi polisi, jaksa dan hakim didominasi oleh paradigma separatisme. Aksi politik mahasiswa dengan mudah dimasukkan dalam kotak separatisme. Sebelum peradilan dimulai, sikap penegak hukum sudah jelas menunjukkan apriori mereka terhadap tersangka atau terdakwa kasus politik. Contoh praktik peradilan aktivis mahasiswa Buchtar Tabuni dan kawan-kawan (2009) yang diadili dengan menggunakan pasal subversi menunjukkan hal itu. Kalau di luar Papua pasal-pasal yang dikenakan mungkin lebih ringan. Karena paradigma itu instrumen penegakan hukum juga cenderung disubordinasi dan dimanipulasi menjadi alat untuk membatasi dan membungkam ekspresi politik warga negara.

Kewaspadaan yang eksesif dan stigma separatis yang dihasilkannya digunakan lebih jauh sebagai alat kontrol dan marjinalisasi kalangan oposisi Papua. Yang paling memprihatinkan dari semuanya, paradigma separatisme digunakan sebagai topeng bagi berbagai kegagalan negara dalam menjalankan kewajibannya, yakni pelayanan publik dan penciptaan rasa aman, terhadap warga negara Indonesia di Papua. Produk yang dominan dari paradigma separatisme adalah pelanggengan impunitas dan ketidakadilan.

“Penyakit” paradigma separatisme juga menjangkiti pemimpin dan masyarakat Papua, kebanyakan pemimpin dan elit masyarakat Papua yang pro-kemerdekaan Papua. Mereka hampir selalu menggiring pemahaman semua proses politik ke arah wacana tuntutan kemerdekaan Papua. Pemerintah dianggap secara sengaja dan terencana menyingkirkan atau memusnahkan orang asli Papua karena mereka separatis.

Pihak Papua, terutama kalangan TPN/OPM dan kalangan masyarakat dan elit Papua, baik yang pernah menjadi korban langsung kekerasan negara maupun yang terkait secara kekerabatan maupun historis dengan korban, merasa telah menjadi korban kekerasan negara baik secara simbolis maupun struktural. Akibatnya tumbuh budaya teror, yakni segala hal yang buruk, bencana penyakit, dan peristiwa kekerasan hampir selalu diyakini sebagai desain pihak lain (kebanyakan Jakarta) untuk membunuh, menyingkirkan, dan memusnahkan orang asli Papua. Produk dari budaya teror ini adalah ketidakpercayaan yang mendalam terhadap pemerintah pada umumnya.

Ketika jumlah penderita HIV/AIDS di kalangan orang asli Papua meningkat pesat, banyak wacana mengatakan bahwa penyakit itu sengaja dibawa oleh aparat Polri atau TNI melalui pekerja seks yang didatangkan dari luar Papua. Virus HIV/AIDS dilihat sebagai alat untuk membunuh orang asli Papua secara perlahan agar pada akhirnya musnah dari muka bumi ini. Tidak ada pertanyaan kritis yang mencoba memahami kompleksitas pola hubungan seks di kalangan orang asli Papua, transaksi seks bebas antara Papua dengan pendatang, kebiasaan seks tanpa kondom, hingga kebijakan pemerintah dalam penanggulangan penyebaran virus HIV/AIDS.

Kebanyakan orang menjadi tidak berminat untuk melihat fakta secara jeli dan kritis tapi hanya ingin membenarkan prasangkanya. Budaya teror ini mewujud dalam ketakutan dan kebencian terhadap aparat keamanan negara secara berlebihan. Segala hal yang dianggap datang dari Jakarta cenderung dicurigai secara berlebihan. Dari sini tumbuh pula mentalitas korban. Banyak warga Papua kehilangan kemampuan memahami persoalannya sendiri secara kritis, kehilangan kepercayaan diri, dan cenderung berharap bantuan pihak lain (dari luar Indonesia) dalam menyelesaikan masalahnya sendiri.

Segala hal yang berbau internasional dilihat sebagai pengharapan baru tertinggi. Dalam proses pelaksanaan konsultasi publik akhir-akhir ini serta berbagai lokakarya, kita banyak mendengar tuntutan warga Papua untuk diadakan dialog internasional, mediator internasional, masuknya pasukan perdamaian PBB ke Papua, dan sebagainya. Tanpa berpikir lebih jauh, apa yang internasional dianggap lebih baik dan dapat menyelesaikan masalah. Seringkali pemimpin Papua sendiri juga memanipulasi mitos tentang kekuatan internasional untuk tetap mendapatkan dukungan politik dan dana dari masyarakat.

Paradigma separatisme juga membuat orang Papua mengembangkan dan memperkuat mitos bahwa orang asli Papua pasti di dalam hatinya menyimpan aspirasi M dan orang non-Papua (baca: warga Indonesia dari luar Papua) pasti pro-NKRI dan dianggap “musuh”. Perhatikan pernyataan aktivis Papua dalam berbagai diskusi atau seminar. “Saya tidak percaya kamu karena kamu orang Indonesia yang bunuh-bunuh kami.” “Hanya orang Papua yang tahu Papua dan punya hati untuk membangun Papua.” Wacana itu terus hidup meskipun sudah banyak pemimpin Papua yang menindas warga Papua atau sebaliknya orang non-Papua yang berjasa banyak bagi orang Papua.

Paradigma itu pula yang menyuburkan ketakutan dan melihat seluruh sudut bumi ini diawasi dan dikontrol oleh intel atau aparat keamanan Indonesia. Perasaan ini kuat tertanam di kalangan warga atau pemimpin Papua yang merasa dirinya diawasi karena ikut dalam gerakan politik anti-Indonesia. Misalnya seseorang sakit dan tidak mau berobat ke Jakarta karena takut nanti rumah sakitnya disusupi intel dan disuntik racun ke dalam botol infusnya. Atau juga seorang aktivis yang mengalami kecelakaan motor dan mengembangkan rumor bahwa seorang intel mendorongnya masuk ke dalam selokan. Tidak ada pertanyaan kritis muncul di situ dan orang cenderung percaya begitu saja.

Wacana separatis atau kata “merdeka” juga menjadi alat yang dianggap efektif untuk menakut-nakuti pejabat di Jakarta dengan tujuan memenuhi ambisi politik para pejabat Papua. Misalnya, ketika tuntutan pencairan dana tertentu tidak atau belum dicairkan oleh lembaga di Jakarta, intimidasi dengan menggunakan kata “merdeka” mulai bermunculan. Contoh lain yang nyata adalah salah satu alasan dimenangkannya judicial review di Mahkamah Konstitusi menyangkut 11 anggota DPRP tambahan, yakni bahwa di dalam komposisi keanggotaan DPRP yang sekarang kelompok pro-NKRI tidak terwakili. Di balik itu, sederhana saja, para pengusul dari Barisan Merah Putih, mau mengambil jatah dari 11 kursi kalau berhasil.

Paradigma separatisme juga digunakan sebagai alat untuk berlindung dari jeratan hukum oleh pejabat Papua yang korup. Beberapa pejabat korup yang mulai disidik atau bahkan sudah disidangkan, mulai membuat pernyataan-pernyataan gaya “nasionalis-Indonesia” dengan banyak menyebut kata NKRI, mengecam kelompok pro-merdeka, atau mengungkit kembali jasa-jasanya “membela” NKRI.

Keseluruhan situasi terpapar di atas menjadi salah satu sebab penting kelumpuhan dan kebuntuan politik. Pihak Jakarta cenderung mencurigai dan menolak sebagian besar inisiatif penyelesaian masalah yang datang dari Papua dengan rumusan “NKRI harga mati”. Sebaliknya pihak Papua merasa terus menerus diperlakukan tidak adil dan diakhianati oleh Jakarta sehingga juga berkeras dengan rumusan reaksioner bahwa “Merdeka adalah juga harga mati”.

Kecurigaan di antara keduanya disuburkan oleh berbagai kebijakan dari Jakarta yang represif dan tidak ramah Papua. Sebagai reaksi, berbagai aksi dan pernyataan politik dari Papua semakin memperkuat paradigma separatisme tersebut di atas.

Pada akhirnya pada satu sisi paradigma separatisme menghasilkan kebijakan dan perilaku aparat pemerintah yang justru bertentangan dengan tujuan pemberantasan separatisme itu sendiri. Pada sisi lain, hal ini memperkuat keinginan, minimal menguatkan wacana separatisme, orang asli Papua untuk memisahkan diri.

(Foto: Poster unjuk rasa Lambert Pkikir, di Arso, 2009. Isinya meminta Pemerintah RI mengembalikan Tanah Papua ke PBB. Oleh Anum Siregar, 2009)

Saturday, March 13, 2010

Pieter Drooglever Mendukung Papua Road Map


Di mata orang Papua, Pieter Drooglever pernah menjadi simbol sekaligus harapan pelurusan sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia.

Peluncuran bukunya Een Daad van Vrije Keuze di Den Haag pada 2005 dihadiri oleh pemimpin-pemimpin utama perjuangan Papua Merdeka baik yang datang langsung dari Papua maupun yang bermukim di luar negeri. Di kampung-kampung Papua, orang berdoa dengan khusuk agar buku ini dapat mengantarkan Papua segera ke pintu kemerdekaan...

Memang, banyak orang Papua pro-merdeka pada masa itu berharap bahwa peluncuran buku itu akan mendorong lebih cepat perjuangan kemerdekaan Papua. Pada perkembangannya, buku tersebut lebih bermakna akademis daripada politis. Kalangan sejarawan tidak ada yang mempersoalkan isi buku itu tetapi Pemerintah Indonesia menentang proyek buku tersebut. Bahkan Prof Drooglever tidak diijinkan melakukan kegiatan penelitiannya di Indonesia. Sementara itu Pemerintah Belanda menyadari reaksi negatif pemerintah Indonesia, tidak menunjukkan apresiasinya terhadap buku tersebut.

Drooglever itu seorang profesor yang berpengalaman selama tiga dekade memimpin proyek pendokumentasian dekolonisasi Indonesia pada Institut Sejarah Belanda (Instituut voor Nederlands Geschiedenis) di Den Haag. Pada 1980-an dia berjasa mengembangkan proyek Indonesia-Belanda untuk kerjasama budaya kedua negara. Di dalam bukunya tentang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, dia berusaha secara detil menunjukkan proses sebelum, pada saat, dan sesudah Pepera. Kesimpulan umumnya, Pepera diwarnai oleh kecurangan dan kekerasan oleh militer Indonesia.

Yang mungkin mengejutkan adalah bahwa Drooglever pada paragraf akhir bab kesimpulan buku versi Inggrisnya The Act of Free Choice (Oxford: One World, 2010), menulis sebagai berikut:

“The possibilities for a better future for the inhabitants of western New Guinea can also be found in Indonesia’s interest in the area, for Indonesia not only has a tradition of military and authoritarian rule, but also of cultured interaction and efforts to provide good government. (hal. 764)

“Kemungkinan-kemungkinan masa depan Papua yang lebih baik dapat ditemukan dalam kepentingan Indonesia di daerah tersebut, sebab Indonesia tidak hanya memiliki tradisi militer dan pemerintah otoriter, tapi juga interaksi yang berbudaya dan upaya untuk membangun pemerintahan yang baik.”

Dari sini secara implisit dikatakan bahwa Drooglever dapat melihat separuh optimisme bahwa masih ada kemungkinan masa depan Papua yang lebih baik di dalam Indonesia. Pandangannya lebih jauh dapat dibaca lebih jauh berikut ini:

“A solution should be found that combines a better future for the Papuans with the proper regulation of the eastern border of Indonesia. It would, however, appear to be a difficult to combine an open window onto the pacific with a grumbling, misunderstood and maltreated population on the Indonesian side of the 141st meridian.” (hal. 764)

“Suatu jalan keluar yang mengombinasikan masa depan yang lebih baik bagi orang Papua dengan regulasi yang tepat terhadap perbatasan bagian timur Indonesia seharusnya ditemukan. Meskipun demikian tampaknya sulit mengombinasikan jendela keterbukaan ke Pasifik dengan penduduk yang selalu protes, disalahpahami dan diperlakukan dengan buruk di bagian garis bujur 1410 Indonesia.”

Pada kutipan di atas Drooglever berharap ada jalan keluar yang tepat yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tetapi pada sisi lain dia juga masih ragu karena dia masih melihat bahwa pemerintah Indonesia cenderung salah memahami sikap dan perilaku orang Papua dan memperlakukan dengan buruk orang Papua. Secara implisit, Drooglever melihat perbedaan dan kesenjangan aspek budaya antara Papua dengan Indonesia pada umumnya.

Pada bagian lain kesimpulan dia mengulangi harapannya bahwa Papua dan Indonesia masih bisa hidup bersama. Demikian kata profesor itu:

“Finally there is the consideration that the interests of Indonesia and the Papuans, because they are neighbours and have shared history, are interwoven in many respects. The two primary motives for establishing the administrative centres in 1898 were to secure the eastern border of the archipelago and to develop the Papuans and their country. These can still go together, by hook or by crook.” (hal. 764)

“Akhirnya terdapat pengertian bahwa kepentingan Indonesia dan Papua, karena mereka tetangga dan memiliki sejarah yang sama, terkait satu sama lain dalam banyak hal. Dua motif utama membangun pusat pemerintahan pada 1898 adalah untuk mengamankan perbatasan timur nusantara dan mengembangkan orang Papua dan tanah mereka. Ini semua masih bisa jalan bersama-sama apa pun dan bagaimana pun caranya.”

Kelihatannya Drooglever berusaha untuk berhati-hati memberikan pandangannya mengenai masa depan Papua. Tetapi secara berulang-ulang dan konsisten dia menyebutkan pentingnya memperbaiki kondisi orang Papua di dalam hubungannya pemerintah dan bangsa Indonesia.

Saya menduga, salah satu sebab optimisme Pieter Drooglever bahwa akan ada jalan keluar untuk masa depan Papua yang lebih baik karena beliau sudah membaca buku Papua Road Map yang versi pendek dalam bahasa Inggris. Secara eksplisit dia menyebutkan pada halaman terakhir kesimpulannya tentang Papua Road Map karya para peneliti LIPI dan kegiatan-kegiatan yang dilakukannya:

“In this respect, the activities of the LIPI, which tries to find a way out in its recently published Papua Road Map deserve our attention.” (hal. 764)

“Dalam kaitan dengan ini semua, kegiatan-kegiatan LIPI, yang berusaha menemukan suatu jalan keluar di dalam buku Papua Road Map yang baru terbit pantas mendapatkan perhatian kita.”

Saya memang sudah beberapa kali bertemu beliau. Ketika makan malam di rumah beliau pada awal Desember 2009, saya bercerita banyak dengan beliau tentang Papua Road Map dan kegiatan LIPI bersama tim Pater Neles Tebay di Papua. Beliau menunjukkan respons positifnya terhadap upaya penyelesaian damai yang kami lakukan di Papua... Terima kasih, Pieter!

Foto:
1) Sampul buku versi Inggris (atas)
2) Prof Pieter Drooglever berpidato pada acara HAPIN di Belanda 2009 oleh penulis (tengah)
3) Sampul buku versi Belanda (bawah)
4) Sampul buku Papua Road Map (paling bawah)

Wednesday, February 10, 2010

Benny Wenda dan Seminar Pepera di Oxford

Pada 6 February 2010 sejarawan Belanda Pieter Drooglever meluncurkan buku tentang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 edisi Bahasa Inggris di Oxford. Peluncuran buku itu dirayakan dengan seminar sehari bertemakan “Justice and Self-Determination in West Papua” yang diselenggarakan oleh kelompok ilmuwan Oxford Transitional Justice Research di gedung Social Legal Studies Centre, Manor Road. Salah satu pembicaranya adalah Benny Wenda.

Selain Benny, pembicara yang tampil adalah Prof Pieter Drooglever (Institute of Netherlands History), Dr Albert Kersten (University of Leiden), Jos Marey (tokoh Papua di Belanda), Benny Wenda (Free West Papua Campaign England), Dr Charles Foster (University of Oxford), Dr Agus Sumule (Penasihat Gubernur Papua), Budi Hernawan (Australian National University Canberra), Jennifer Robinson (Sekretaris International Lawyers for West Papua) dan Dr Muridan Widjojo (LIPI Jakarta).

Pieter Drooglever dan Albert Kersten memaparkan detil percaturan politik di sekitar pembuatan New York Agreement 1962 dan Penentuan Pendapat Rakyat 1969.


Pieter Drooglever dan Albert Kersten memaparkan detil percaturan politik di sekitar pembuatan New York Agreement 1962 dan Penentuan Pendapat Rakyat 1969. Jos Marey dan Benny Wenda menampilkan sejarah Papua, tangisan dan penderitaan orang Papua, dan mimpi serta keyakinan orang Papua akan datangnya kemerdekaan Papua. Secara tegas, Benny menuntut referendum untuk menentukan masa depan rakyat Papua. Senada dengan Benny, tapi dengan argumentasi yang lebih teoretis, Charles Foster meyakini bahwa kemerdekaan Papua bisa diperoleh dengan cara mengajukan review Pepera ke PBB.

Budi Hernawan mengajukan topik penyiksaan dan logika di balik tindakan kekerasan aparat negara. Menurut Budi segala kekerasan, termasuk penyiksaan, dijustifikasi dan dilestarikan secara kuat oleh konstruksi penguasa tentang kedaulatan negara. Jennifer Robinson menguraikan hambatan dan bahkan kegagalan penegakan HAM di Papua. Agus Sumule mencoba menunjukkan wajah lain yang lebih optimis yakni hasil-hasil positif pelaksanaan Otsus Papua yang selama ini dianggap gagal. Saya sendiri mengungkapkan kebuntuan politik di Papua, kebutuhan akan pentingnya Dialog Papua-Jakarta, sekaligus menceritakan pengalaman mempersiapkan dialog Papua-Jakarta.

“kamu orang Indonesia tidak berhak bicara tentang orang Papua.”


Benny Wenda yang mendapat giliran bicara pada sesi kedua datang agak siang bersama rombongan sekitar 8 orang termasuk anak dan istrinya. Anak buahnya segera memasang foto-foto kekerasan, poster tuntutan referendum dan anti-Indonesia, dan tidak ketinggalan bendera Bintang Kejora. Salah satu anggotanya sibuk membuat rekaman foto dan video dari kegiatan hari itu. Benny tidak bergabung dengan pembicara lain di depan. Namun ketika mendapat giliran tampil, Benny maju ke depan dengan satu pengawal sebelah kanan memegang Bintang Kejora dan dua di sebelah kiri masing-masing memegang poster tuntutan referendum dan tolak Indonesia.

Pada saat Agus dan saya selesai berbicara, sesi pertanyaan dibuka. Selain para peserta lain, beberapa anak buah Benny Wenda angkat tangan. Dengan nada emosi mereka menyatakan bahwa mereka tidak percaya pada Indonesia. Sambil menunjuk saya dan Agus, seorang dari mereka mengatakan, “kamu orang Indonesia tidak berhak bicara tentang orang Papua.” Kepada Agus, mereka katakan bahwa Otsus adalah tipuan pemerintah Indonesia. Mereka juga marah kepada panitia yang ternyata mengundang orang Indonesia dan membahas Otsus. Mereka hanya mau mendengar pembahasan tentang review Pepera di PBB.

Selama ini, di Jaringan Papua Damai (JDP), dari 25 orang fasilitator, 22 fasilitator adalah para pemimpin muda terbaik orang asli Papua yang berasal dari berbagai faksi politik, berbagai denominasi Gereja, berbagai LSM, dan termasuk organisasi Muslim Papua.


Kepada saya dikatakan bahwa gara-gara tipuan ajakan dialog, Kelly Kwalik telah dibunuh oleh aparat Indonesia. Pada saat saya menjawab, saya hanya katakan bahwa upaya dialog adalah kehendak sebagian besar rakyat dan pemimpin Papua. Selama ini, di Jaringan Papua Damai (JDP), dari 25 orang fasilitator, 22 fasilitator adalah para pemimpin muda terbaik orang asli Papua yang berasal dari berbagai faksi politik, berbagai denominasi Gereja, berbagai LSM, dan termasuk organisasi Muslim Papua. Kami peneliti, dosen dan aktivis Papua lainnya hanyalah fasilitator yang membantu mempersiapkan dialog Papua-Jakarta.

...upaya dialog adalah kehendak sebagian besar rakyat dan pemimpin Papua.


Seusai acara, kami minum kopi atau anggur bersama dengan peserta dan penyelenggara. Benny tidak berbaur dengan peserta lain. Sebelumnya saya berharap bisa berbicara dengan Benny Wenda. Bahkan saya sudah menitipkan pesan ke beberapa orang terhormat dari Belanda dan Inggris untuk membantu saya memberitahu Benny agar mau berbicara dengan saya. Tapi dari orang-orang itu dikatakan bahwa Benny tidak memberikan respons positif. Oleh karena itu saya tidak memaksakan diri untuk berbicara dengannya. Dengan anak buah Benny yang sudah kenal saya, di antaranya Oridek Ap (anak Arnold Ap) dari Belanda, saya sempat bersalaman.

Setelah tiba kembali ke Jakarta, saya membaca pernyataan kelompok Benny Wenda yang memasang video rekaman mereka di internet. Demikian pernyataannya, “Video ini, menunjukkan bagaimana agen NKRI (Mudiran, Agus Sumule, Budi Hermawan, dkk) dipermalukan dalam seminar kemarin lalu. Team Dialog dan "Road Map Papua" ternyata tidak dapat bernafas lega karena mendapat perlawanan yang sangat serius dari Free West Papua Campaign UK. Mereka pulang dengan tidak terhormat karena penipuan mereka telah diketahui oleh peserta seminar yang sangat mengerti sekali atas kejahatan NKRI yang selama ini sedang terjadi di Papua.”

Masalah Papua bukan masalah rasial, ini masalah kemanusiaan
.


Pernyataan di atas ditanggapi dengan serius oleh mantan wartawan Kompas Octavianus Mote yang sekarang bermukim di AS. Mote menganggap pernyataan tersebut rasialis dan tidak rasional. Selanjutnya dia membela Budi Hernawan. “Bruder Budi adalah pekerja kemanusian sudah membuktikan diri membela kemanusian dan bukan macam engkau yang menyebarkan fitnah emosional tanpa dasar. Masalah Papua bukan masalah rasial, ini masalah kemanusian. Dia seorang rohaniawan katolik yang tidak akan membiarkan dombanya dibantai...”

Tentang Agus Sumule dia katakan, “Agus Sumule adalah seorang Dosen Universitas Negeri Cendrawasih yang sudah diangkat sebagai anak negeri Papua. Karya pengabdiannya bukan saja terbukti dari mereka yang dia ajar, tetapi begitu banyak tulisan yang muncul di koran dan buku. Kalau saudara tidak rasialis, saudara akan tahu mengakui kebenaran, Agus adalah seorang guru yang sekalipun secara etnis nampak bukan papua tapi dia besar di Enarotali, makan nota bersama orang Mee dan selama ini menjadi suara orang papua.”

As co-organizer of the meeting I feel obliged to apologise for the incident. It is being made even worse by the phantastic public utterings now being distributed by their organization.


Prof Pieter Drooglever nampaknya juga merasa tidak nyaman dengan perilaku anak buah Benny Wenda dan tulisan yang disebar di internet oleh Free West Papua Campaign UK yang menjelekkan para pembicara dalam seminar tersebut. Oleh karena itu dia mengirim email kepada Agus Sumule, Budi Hernawan, dan saya sendiri untuk meminta maaf. Demikian kutipan tulisan beliau, “Though one may understand the feelings they gave vent to, one certainly cannot approve the way they did, especially so by their completely unjustified and simply insulting personal attacks. As co-organizer of the meeting I feel obliged to apologise for the incident. It is being made even worse by the phantastic public utterings now being distributed by their organization.”

Dari pengalaman ini saya sebagai fasilitator Jaringan Damai Papua (JDP) berharap kepada saudara-saudara Papua, terlepas apa pun aspirasi politik kita, janganlah merendahkan upaya untuk berdialog. Mau perang, referendum, merdeka atau pun otsus di dalam NKRI,pada akhirnya harus diakhiri dengan dialog untuk penyelesaian masalah bersama. Sebaiknya sikap yang rasialis dan menggeneralisasi kebencian pada kelompok tertentu dapat diakhiri. Dengan dialog lah penyelesaian konflik dan perbedaan kepentingan dapat dicapai dengan tetap menjaga martabat dan kehormatan masing-masing. Kita semua, termasuk Benny Wenda dan kawan-kawan, dapat belajar dari pengalaman di Oxford untuk saling menghormati.

Keterangan foto:
Atas: Sampul buku karya Pieter Drooglever
Tengah: Pembicara Sesi I Dr Albert Kersten, Prof Pieter Drooglever, dan moderator Prof Anne Booth
Tengah: Benny Wenda sedang membacakan pernyataan politik
Bawah: Di halaman Brasenose College Oxford, Dr Agus Sumule, Muridan Widjojo, dan Budi Hernawan

Sunday, January 17, 2010

Negotiating the past and looking to the future

Published by Inside Indonesia 98: Oct-Dec 2010

Meaningful dialogue about the future of Papua requires that Indonesians and Papuans honestly address the past



History is one of the main sources of conflict in Papua. The Act of Free Choice in 1969 remains the subject of dispute, both because of the way it was carried out and because of its outcome. Over the last 40 years, conflict over the history of the Act has contributed to the hardening of the positions held by the conflicting parties: the government in Jakarta and the Papuan people. The Jakarta government views the Act of Free Choice as ending all uncertainty about Papua’s status as a part of Indonesia, while most Papuans view the Act as illegal and as beginning a period of suffering and subjugation. These differing views of history have contributed significantly to creating a cycle of violence, to ongoing human rights abuses, the failure of development, marginalisation of and discrimination towards Papuans. More importantly, it has created a high wall of mutual misunderstanding and distrust that divides Jakarta and Papua.

Levels of violence in Papua have increased markedly in the past year, prompting a number of moderate Papuan leaders and a handful of intellectuals and activists in Jakarta to search for ways to bridge the differences between Jakarta and Papua. They promote dialogue as a tool to resolve the Papua conflict comprehensively. Their efforts raise critical questions: to what extent can sensitive historical issues surrounding the integration of Papua into Indonesia become part of the agenda for dialogue? What will it take to find common ground and truth acceptable to both parties?

Competing constructions of history

The interpretation of history propounded by pro-independence Papuan intellectuals and leaders is diverse: one faction believes that Papua proclaimed its independence on 1 December 1961, while another considers that the proclamation occurred on 1 July 1971. Despite such differences, they agree on a number of elements. All use pieces of the history of Papua’s integration into Indonesia, mainly the Act of Free Choice, to question the political status of Papua as a part of Indonesia. They point to the force used in the implementation of the Act and say that Papuans have never been properly consulted about their political status. Consequently, they argue that the Act of Free Choice should be reviewed by the UN. They expect that the UN, if it uses simple logic and looks back carefully at Papua’s history, would agree to pro-independence arguments and eventually endorse the independence of Papua.

At the other end of the spectrum, the Indonesian government believes that Papua, which was part of the Netherlands East Indies, has been an inseparable part of the Indonesian nation-state since the Proclamation of Independence in 1945. The government view is that conflict with the Dutch over the decolonisation of Papua lasted until the Act of Free Choice in 1969 and was the last chapter in Indonesia’s struggle against colonialism. Since 1 May 1963, when the ‘New York Agreement’ (reached with the Dutch in 1962) transferred authority over Papua to the Indonesian government, the Indonesian government has claimed full political authority over Papua.

As a consequence, government officials say Indonesia was well within its rights to select 1026 Papuan representatives to participate in the Act of Free Choice. Indonesia made this choice, they say, because of the difficult geography of Papua and to allow for the Indonesian political culture of forging consensus by mutual deliberation (musyawarah). According to Indonesia, the result is enshrined in UN Resolution No 2504 (XXIV) which endorses the transfer of sovereignty over Papua to Indonesia. Therefore, Indonesia will do anything in its power, including the use of armed force, to defend itself against threats to its sovereignty and territorial integrity in Papua.

What ends up being expressed is the anger of the powerless on one side and the arrogance of the powerful on the other

The contrasts in the historical perspectives held in Jakarta and Papua are obvious. But is it possible to fashion a historical truth which is acceptable to both sides? In the context of the Papua conflict, each party tends to employ the past selectively in order to suit its political goals. What ends up being expressed is the anger of the powerless on one side and the arrogance of the powerful on the other. Works of professional historians have only contributed in a limited way to breaking down this binary; they tend to have little effect on firmly held nationalist convictions. Both the marginalised and the powerful retain their versions of history as the truth.

In practice, forging accepted historical facts is a process that is always determined by power relations and interests. The decolonisation of West New Guinea and the political processes which followed it, especially the New York Agreement and the Act of Free Choice, should be understood as political struggles. The players were not only Indonesia and Papua, but also the Dutch, the US, and the Soviet Union. The Cold War and the competition between global powers favoured the Indonesian Republic: the threat that Indonesia might turn to the Soviet Union ensured that Indonesia’s interests were prioritised to ensure that threat did not materialise. Unfortunately, Papuan leaders were in a weak bargaining position and were not given the opportunity to press their interests during the negotiations. The Act of Free Choice was a product of that one-sided contest.

Now, 40 years on, and even as the Indonesian political system grows more democratic, the validity of the Act of Free Choice remains a subject of dispute. For Papuan leaders the key issue is whether the history of the Act of Free Choice can be used to alter the status of Papua and bring about independence. By pointing to the flaws in the way that Papua was integrated into Indonesia, they hope, Indonesian sovereignty over Papua may be discredited or even negated. Obviously, the Indonesian government will never tolerate efforts in this direction. Fears among Indonesians about threats to Indonesian sovereignty are overwhelming, even if they are sometimes hard to explain to Papuans and to outsiders. But because independence is a non-negotiable subject, those raising it are confronted with violence, arrest and human rights abuse.

Peaceful settlement

In the 2001 Law on Special Autonomy for Papua, the Indonesian national parliament does address the issue of history. Article 46 of the law requires the government to establish a Truth and Reconciliation Commission, one of the tasks of which would be to clarify the historical record. There is a catch, however: the Commission is supposed to clarify the historical record with a view to strengthening the integrity of Indonesia. In other words it is not to be employed as a tool to question the political status of Papua.

However, since the law was enacted, this article has been ignored. No Truth and Reconciliation Commission has been established, and there has been no official effort to reopen the historical record even to this very limited extent. Even worse, many of the other crucial provisions of the special autonomy law which try to address the roots of conflict in Papua have been undermined in practice, and conflict has not subsided.

The failure of special autonomy has driven many parties to reconsider the possibilities of opening a process of dialogue to break the political impasse in Papua. A number of researchers from the Indonesian Institute of Sciences (LIPI), collaborating with NGOs and government officials, have striven to gain support for dialogue from important political figures and high officials within the Indonesian government. The proposed dialogue would involve representatives of Papuan pro-independence groups and delegates of the central government, and would be open-ended, covering all issues including the demand of independence and the revision of special autonomy law.Those advocating dialogue in Jakarta have in fact received a sympathetic hearing from many individuals within the parliament and government (except from certain intelligence and security-related bodies).

In Papua, some Catholic priests under the leadership of Dr Neles Tebay of the STFT Fajar Timur (Philosophical and Theological College) in Jayapura, collaborating with other denominations, local NGOs, student leaders, and Adat (customary) groups, have built an understanding with various local actors, including representatives of the armed pro-independence groups, about the necessity of dialogue as a more realistic method to further the interests of the Papuan majority. People are now talking about the possibility of a compromise on the issue of independence. But crucial questions remain. Papuans question the political will of Jakarta, especially given the failure of many aspects of special autonomy. Deep mistrust of Jakarta prevails.

Compensating for the past

President Susilo Bambang Yudhoyono has a chance to launch a dialogue that might help to resolve the Papua conflict, adding to his achievement in bringing about peace in Aceh. But negotiations cannot sidestep the issue of Papuan history. History is important because it is related to the interests and identity of people today and in the future. History should be transformed into a positive and constructive tool to help resolve current troubles. History should not be treated as a fixed position involving absolute truth and determining collective identity. Rather, history should be treated as a negotiable construction involving acceptance and compromise, and providing benefits for both parties rather than being the monopoly of just one side. Otherwise, history in Papua will perpetuate an endless cycle of violence.

Rather than having completely conflicting interpretations of the past, as is currently the case, it should be feasible for both sides to agree to pieces of historical truth. Doing so would allow past mistakes to be repaired and long-held grievances to be addressed. In particular, the government should be prepared to recognise Papuans’ memory of suffering and deliver dignified apologies for past wrongdoings – as it has done recently in the case of East Timor and Aceh. This should include re-examining the events surrounding the Act of Free Choice, and the government should have the confidence to do so without fearing that its entire claim to sovereignty in Papua will unravel.

In the eyes of Papuans, of course, official apologies will not be enough to restore justice. The government should also employ Papuan traditional ideas of justice, in which conflict is traditionally resolved by negotiation leading to payments and concessions to the wronged party. Both parties need to think hard about what kind of concessions and compensation is needed to build a new relationship between Jakarta and Papua.

(Foto: Muridan Widjojo was in discussion with Oridek Ap in The Hague, November 2009, taken by Tri L. Astraatmadja)