Monday, July 06, 2009

Aktivis Bukhtar Tabuni dan Paradigma Separatisme


Pada Jumat 3 Juli 2009 yang lalu, Bukhtar Tabuni divonis tiga tahun penjara oleh PN Jayapura. Vonis ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa sepuluh tahun penjara yang mengunakan pasal ‘karet’ 106, 110, 160 KUHP. Selama penahanan dan proses pengadilan, menurut pengacaranya, Bukhtar mengalami penyiksaan dan bahkan pernah dipukul sesaat sebelum pengadilan dimulai. Kasusnya menjadi perhatian, tidak hanya LSM nasional dan kalangan pemerintah pusat tetapi juga komunitas pekerja HAM internasional.

Pantaskah Bukhtar dituntut dengan pasal makar?

Begini, pada Oktober 2008 lalu Bukhtar menjadi ketua panitia demo Komite Nasional Papua Barat (KNPB) untuk mendukung pendirian International Parliamentarians for West papua (IPWP). Sesuai dengan pasal 11 UU 9/1998, sebelum demo, surat pemberitahuan sudah dikirimkan ke Polres Jayapura. Menurut pasal 13 UU tersebut, polisi harus mengeluarkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP). Sampai di sini terlihat bahwa Bukhtar Tabuni patuh pada hukum yang berlaku.

Tapi STTP tidak dikeluarkan dan demo tetap berlangsung. Selama demo berlangsung polisi pun tidak berupaya membubarkan. Demonya sendiri berlangsung tanpa insiden kekerasan. Aman-aman saja, meskipun penjagaan polisi sangat ketat. Tidak lama setelah itu Bukhtar Tabuni, Sebi Sambom, dkk, ditangkap. Menurut polisi, beberapa peserta demo mengeluarkan tulisan yang bernada “separatis”.

Tidak jelas apakah polisi mendapat tekanan atau kah karena perasaan nasionalisme yang berlebihan. Yang pasti polisi dan jaksa berusaha keras menjerat Bukhtar Tabuni dengan pasal makar. Selama persidangan, penjagaan polisi terhadapnya termasuk super ketat. Seakan-akan lelaki muda kurus dan kecil ini orang yang berbahaya bagi banyak orang. Dengan menggunakan pasal makar, anak muda ini seakan-akan dianggap sebagai musuh negara.

Para aktivis HAM nasional dan internasional percaya bahwa perlakuan terhadap Bukhtar Tabuni dkk adalah bukti perlakuan diskriminatif penegak hukum terhadap orang asli Papua. Banyak demo di luar Papua dengan cara yang kurang lebih sama tidak mendapatkan hukuman apa-apa. Bahkan, menurut pengacara Bukhtar Tabuni, Anum Siregar, SH., demo ormas tertentu yang menuntut negara Islam pun tidak pernah ditangkap atau dihukum. Seharusnya demo Bukhtar Tabuni diletakkan dalam kerangka kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945.

Pengadilan Bukhtar Tabuni merupakan pengulangan dari banyak peristiwa politik dan hukum di Papua. Ingat pengadilan sejumlah anak muda untuk kasus 16 Maret 2006. Atau kasus yang dijalani oleh Filep Karma, Yusak Pakage dkk. Pada kedua kasus yang belakangan disebut ini hukumannya jauh lebih berat. Bahkan ada yang di atas 10 tahun penjara.

Suka atau tidak suka, kasus Bukhtar Tabuni menunjukkan bahwa hukum Indonesia dimanipulasi oleh negara sebagai alat represif bagi kalangan aktivis Papua yang berseberangan pendapat dengan pendapat mainstream negara. Dengan kata lain, demokratisasi yang progresif di Indonesia tidak berlaku atau dikecualikan untuk Papua. Negara melakukan diskriminasi terhadap orang asli Papua dalam menjalankan hak-hak sosial politiknya.

Mengapa orang asli Papua mengalami diskriminasi politik?

Apakah karena orang asli Papua berkulit hitam, berambut keriting, dan ber-ras Melanesia? Menurut analisis saya, bukan karena faktor-faktor rasis tersebut di atas. Tetapi lebih karena hubungan Papua dan Jakarta selama lebih 40 tahun ini didominasi oleh paradigma konflik separatisme versus NKRI. Segala perlawanan politik yang dilakukan oleh orang asli Papua diletakkan dalam kerangka konflik separatisme. Oleh karena itu para pelakunya yang orang asli Papua pun diberi label atau stigma separatis. Dalam praktek hukum pun, pasal karet makar dengan mudah digunakan meskipun fakta-fakta hukum tidak mendukung.

Akibat lebih jauh, protes yang tidak jelas-jelas menuntut kemerdekaan pun tetap dipahami sebagai bagian atau terkait dengan kegiatan separatisme. Para aparatur negara terpenjara pikirannya oleh paradigma ini. Pada sisi lain kebanyakan orang Papua pun ikut-ikutan terjebak pada paradigma separatisme ini. Banyak kalangan atau individu di Papua, dari masyarakat sipil atau pun pejabat negara, ketika sudah merasa frustasi dengan soal publik, negara, dan Jakarta, mereka dengan mudah menyebut kata ‘merdeka’.

Terlepas dari manipulasi kata ‘merdeka’ dan ‘NKRI’, paradigma konflik separatisme versus NKRI telah menyandera proses demokratisasi dan pembangunan di Papua. Soal-soal mendasar, yang menjadi akar konflik Papua, misalnya pelanggaran HAM, marjinalisasi orang asli Papua, kegagalan pembangunan dan pemahaman sejarah yang kontradiktif, dianggap sensitif dan dihindari karena bersinggungan dengan tabu-tabu politik bagi penganut paradigma konflik separatisme.

Jika paradigma ini berhasil dilestarikan oleh para spoiler demokrasi dan perdamaian di Papua, yang menjadi korban tidak hanya orang asli Papua, tetapi juga masa depan republik ini. Integrasi politik, integritas republik, dan kualitas demokrasinya akan selalu tercoreng tidak hanya di mata dunia tetapi juga di mata warga negaranya sendiri.

(Foto: Peringatan Hari Anti Penyiksaan "Keadilan Tanpa Diskriminasi" 26 Juni 2009 di LP Abepura. Dari kiri Muridan Widjojo, Bukhtar Tabuni, Sebi Sambom, dan Kepala LP Abepura Antonius Arubaya, foto diambil oleh Tim ALDP Jayapura)

4 comments:

aryodanusiri said...

Dan, kok gw waktu ga ketemu ya buku roadmap elo di gramedia matraman?

muridanwidjojo said...

keterlaluan tuh Obor!

Bernard Agapa said...

sampai kapan Para elite Politik, Jendral-Jendral akan sadar, hingga papua di jadikan ladang bisnis lokal maupun internasional sehingga mencipkan paradigma separatisme?

Mungkin jika sampai saya mati pun Papua belum bisa aman dan damai k apa?
Lebih baik.. saya mati dengan berbuat benar... FREE WEST PAPUA...

Untukmu Bukthar" Seluruh rakyat Papua mendoakanmu dan surga menantimu jika engkau mati demi Tanah Papua" Amin...
GOD BLESS

Minahasa Sastra said...

Dan ini membuat isu separatisme mulai merebak ke daerah-daerah lain.