Thursday, February 14, 2008

Pemekaran Meluaskan Medan Korupsi (Bagian 2)

Pada artikel bagian 1 sebelumnya, saya membahas pemekaran dari aspek pelaku, argumentasi dan orientasi politik elit-elit di Jakarta. Pada bagian 2 ini, saya memahami pemekaran dari sudut pandang pelaku, argumentasi lokal dan lingkungan sosial politik tanah Papua.

Menurut Francis Kati yang menulis di website Uncen (6/12/2007) pemekaran kabupaten-kabupaten baru di Tanah Papua adalah merupakan impian para koruptor dan calon koruptor. Menurut saya, kesimpulan ini tidak hanya berlaku bagi pemekaran kabupaten tetapi juga pemekaran provinsi. Perlu ditambahkan pula bahwa para pelopor pemekaran ini adalah elit-elit lokal yang menggunakan koneksinya dengan elit-elit di Jakarta dan memanipulasi massa rakyat setempat untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaannya.

Coba simak siapa para pelopor pemekaran-pemekaran ini. Pada kasus Irian Jaya Barat, elit lokal itu adalah Bram Ataruri dan Jimmy Idjie yang memiliki hubungan dekat dengan elit PDIP dan Kepala BIN waktu itu yaitu Hendropriyono. Calon provinsi Papua Tengah dimotori oleh beberapa pejabat pemkab dan Bupati Nabire sendiri Drs. Anselmus Petrus Youw yang masa jabatannya akan berakhir (Cepos, 17/1/2007). Papua Barat Daya dimotori oleh mantan Sekda Papua yang pernah gagal menjadi gubernur pemekaran Irian Jaya Tengah Dortheus Asmuruf, mantan aktivis Presidium Dewan Papua (PDP) Don Flassy, dan David Obaidiri (Cepos, 15/1/2007). Papua Selatan dimotori oleh Bupati Merauke dua periode John G. Gebze yang masa jabatannya juga akan berakhir.

Dalam upaya memperoleh dukungan publik, alasan utama para pelopor pemekaran adalah memperpendek rentang kendali pemerintahan dan meningkatkan pelayanan publik. Pada kenyataannya tujuan pelayanan publik itu tidak pernah diperhatikan. Yang terjadi persis seperti kata Francis Kati yakni memperpendek rentang kendali korupsi, atau dengan kata lain meluaskan medan dan mempermudah korupsi.

Dengan membuat provinsi dan kabupaten baru, peluang baru jabatan gubernur bagi bupati-bupati yang sudah habis masa jabatannya terbuka. Dengan kabupaten-kabupaten baru para elit lokal Papua memiliki kesempatan untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Peluang untuk menjadi anggota DPR provinsi dan kabupaten serta peluang menduduki jabatan-jabatan birokrasi seperti kepala dinas, kepala biro dan kepala bagian juga terbuka. Bagi para pengangguran, pemekaran membuka peluang untuk menjadi pegawai negeri sipil. Bagi aparat keamanan, ada peluang untuk membuat struktur teritorial semacam Kodim baru, Polda baru, atau Polres baru.

Pemekaran tentunya menciptakan proyek-proyek infrastruktur: gedung-gedung kantor dan fasilitas pemerintah lainnya. Semua ini adalah proyek yang dinantikan karena peluang untuk korupsinya terbuka lebar. Akibat logisnya, sebagian besar anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk pelayanan masyarakat malah untuk pembangunan fasilitas provinsi dan kabupaten yang baru. Dalam jangka pendek, anggaran pelayanan publik pasti akan terserap ke sana.

Produk dari pemekaran adalah tumbuhnya rumah-rumah mewah yang tersebar di kota-kota di tanah Papua dan bahkan di luar Papua yang merupakan milik para pejabat Papua dari provinsi dan kabupaten lama maupun yang baru hasil pemekaran. Mobil-mobil mewah edisi terbaru yang memenuhi jalan-jalan di Jayapura adalah juga milik para pejabat-pejabat baru itu. Korupsi di Papua dilakukan dengan sangat kasar dan terlalu mudah untuk membongkarnya bagi KPK. Hanya saja belum ada langkah signifikan ke arah sana.

Pemekaran hasilnya sangat merugikan masyarakat. Tetapi para pejabat Papua sangat pandai dalam membagi sebagian hasil korupsinya terutama kepada konstituennya yang biasanya berasal dari suku atau klennya. Orang-orang yang mendapatkan bagian korupsi inilah yang siap untuk berdemo ke Jakarta atau ke Jayapura mengatasnamakan masyarakatnya. Dalam menjalankan kekuasaannya, sebagian besar pejabat di Papua lebih bertindak sebagai big man atau bobot atau kepala suku dalam pengertian tradisional daripada berperilaku sebagai pejabat moderen. Uang negara disalahgunakan untuk memperkaya diri sendiri dan menjaga loyalitas konstituennya (McGibbon, 2004).

Pemekaran juga mempertajam segregasi etnis di kalangan orang asli Papua. Banyak proposal kabupaten baru dibuat oleh individu-individu dari kelompok suku atau etnis yang kalah bersaing di provinsi atau kabupaten yang lama. Dengan pemekaran persaingan ketat tidak diperlukan lagi karena biasanya kabupaten baru diisi oleh elit-elit lokalnya sendiri dan tertutup bagi kelompok etnis Papua lainnya. Bahkan di tingkat distrik pun permusuhan tradisional antarklen juga mendorong pemekaran distrik baru. Jika diberi peluang terus, fragmentasi di kalangan orang asli Papua akan semakin menguat seiring dengan berkembangbiaknya pemekaran.

Sementara elit Papua disibukkan oleh jabatan baru dan uang korupsi, pelayanan publik terabaikan. Yang tidak banyak disadari adalah bahwa peluang dominasi pendatang juga semakin besar. Sektor produksi, perdagangan dan jasa di daerah pemekaran pasti hanya dapat diisi oleh para pendatang yang lebih siap. Pos-pos pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan dan keahlian segera dikuasai oleh pendatang. Banyak orang asli Papua, baik para elitnya maupun masyarakatnya, kecuali menjarah uang negara, pasti tidak akan diuntungkan dalam situasi seperti ini.

Di dalam pemekaran tidak ada obsesi pembangunan dalam arti sebenarnya. Para pejabat Papua beranggapan bahwa uang negara yang dijarahnya tidak akan pernah habis, seperti halnya persediaan sagu di hutan atau ikan di laut. Di dalam pemekaran ini tidak ada obsesi perlindungan dan pemberdayaan orang asli Papua. Jika anda membiarkan pemekaran terus berlangsung, lupakan cita-cita untuk menyejahterakan orang asli Papua. Yang terjadi hanyalah elit Papua memanipulasi sesama orang asli Papua. Sementara itu peluang untuk maju dan berkuasa dalam jangka menengah dan panjang tetap di tangan pendatang.

1 comment:

Anonymous said...

pemekaran memang meluaskan korupsi itu terjadi di berbagai suku dan agama di kabupaten merauke, contoh 1 sekretaris desa di desa waninggap miraf distrik tanah miring sp v membeli 1 unit mobil dalam jangka waktu 1 tahun menjabat sebagai sekdes , rt di kampung gudang arang, kelurahan maro menjual beras miskin/raskin kepada para pedagang di pasar dan dana di duga dana beasiswa untuk mahasiswa asmat yang berada di p.jawa di sikat oleh beberapa oknum pns kab.asmat yang mengirim beasiswa tersebut.