Sunday, October 28, 2007

‘Perang Suku’: Sisa Tradisi Kekerasan Tribal?

‘Perang suku’ kembali pecah di wilayah Mimika, persisnya di sekitar Tembagapura, area pertambangan PT Freeport Indonesia. Sampai 17 Oktober 2007, korban jatuh 45 orang dan 4 orang tewas. Dua pihak, aliansi suku Dani-Damal dan Amungme belum mau berdamai. Alasannya jumlah korban di kedua pihak belum seimbang. Itu artinya pihak yang merasa kalah, akan terus mencoba berperang.

Menanggapi ini, pada 27 Oktober 2007, seorang warga suku Dani asal Kurima yang kebetulan menjadi Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem, meminta polisi agar menangkap pelaku ‘perang suku’ di Timika. Alasannya, pada 2006 lalu, setelah ‘perang suku’ dengan pelaku yang kurang lebih sama di Kwamki Lama Timika, pihak yang bertikai telah membuat perjanjian damai di hadapan pemda provinsi Papua dan pemda kabupaten setempat. “Perang harus dihentikan. Kita ini sudah hidup di negara modern,” kata Alex Hesegem di Jayapura.

Harus diakui tradisi kekerasan dalam bentuk ‘perang suku’ ada di mana-mana di tanah Papua. Dokumen VOC Belanda di abad ke 17 menunjukkan orang-orang di sekitar Fakfak (dulu Onin), Kaimana (dulu Kobiai), Raja Ampat, Biak, dan lain-lain sudah punya tradisi ‘perang suku’ dan bahkan menjual tawanan perangnya sebagai budak di pasar Seram Timur. Tapi ‘perang suku’ di daerah-daerah pantai ini sudah berhenti berkat pengaruh luar, sebagian oleh masuknya Islam dari Maluku, kemudian pasifikasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda, dan sivilisasi oleh kalangan zending dan missionaris sekitar awal abad ke 20.

Pengaruh luar datang lebih lambat di daerah pedalaman dan pegunungan. Baru setelah Perang Dunia II umumnya Gereja dan pemerintah Kolonial Belanda masuk. Persebaran suku-suku yang sangat luas dan sulit dijangkau, membuat banyak komunitas suku tidak tersentuh pengaruh pemerintahan modern atau pun Gereja.

Yang sudah tersentuh Gereja atau Pemerintah pun masih berkeras melanjutkan ‘perang suku’. Dani, Damal, dan Amungme adalah suku-suku yang sudah mengenal Gereja dan pemerintahan modern sejak 1950-an. Di Wamena sendiri, tempat asal kebanyakan suku Dani, perdamaian kolosal pernah terjadi pada 1993. Sejak itu pihak-pihak yang bertikai tidak pernah berperang lagi di Wamena. Tapi di daerah pegunungan lain kita masih sering mendengar berita ‘perang suku’.

Alex Hesegem adalah suara Papua baru yang ingin mengakhiri tradisi kekerasan tribal ini. Tapi kalau mau menjalankan perintah Alex Hesegem sebagai Wakil Gubernur, polisi harus cerdas membuat investigasi. Siapa yang harus bertanggungjawab? Penelitianku tentang perang suku di Wamena 1993 menunjukkan beberapa hal penting untuk mencari penanggungjawab.

Pertama, pahami sebab perang, bukan hanya pemicunya. Kedua, carilah siapa ‘tuan perang’. Orang inilah pengundang pihak-pihak se-suku atau se-klen atau ipar-ipar untuk terlibat perang. Dialah yang paling bertanggungjawab. Kedua, carilah ‘orang tengah’ yang biasanya berperan memimpin perang suku. Jumlahnya bisa lebih dari satu.

Ketiga, kalau mau bikin perdamaian, carilah dulu ‘orang belakang’ karena orang inilah yang memiliki otoritas ritual perang dan perdamaian. ‘Tuan perang’ dan ‘orang belakang’ biasanya tersembunyi dan dilindungi.

Tapi jangan naif juga. Khusus ‘perang suku’ di Mimika, sumber konflik Dani-Amungme juga harus dipahami. Amungme, selain orang Kamoro, adalah tuan tanah di Mimika. Orang Dani (dan suku-suku pegunungan lain seperti Mee, Nduga, dll.) adalah pendatang yang pelan-pelan mengokupasi tanah dan lahan Amungme. Jumlah orang Dani terus membesar melebihi Amungme. Dalam banyak hal Amungme selalu merasa terteror dengan tingkah laku mereka. ‘Perang suku’ antara mereka sudah pecah sejak paruh kedua 1990-an.

Sumber konflik antara mereka tidak hanya yang tradisional seperti perempuan, babi, perzinahan atau lainnya, tapi juga soal dana bantuan Freeport, pemekaran, Otsus, politik Papua Merdeka, atau bahkan pilkada. Itu artinya pihak luar seperti Freeport, pihak aparat keamanan, dan pemain pendatang sangat mungkin ikut berperan.

Nah lu? Pusing kan. Saudara-saudara kita yang tinggal di Kwamki Lama, Kwamki Baru, Banti, dan sekitarnya, pasti tahu siapa pemain luar Dani-Damal-Amungme yang aku maksudkan. Untuk polisi, selamat bekerja. Jangan pakai gebuk kalau mau dapat bukti dan menemukan penanggungjawabnya.

1 comment:

Anonymous said...

Salam sejahtera..!!

Prnah mneliti tentang "perang suku" di Wamena?! Wow,,that's great!!
Bolehkah nanti sekali tempo menggali informasi dan menimba ilmu serta pengalaman yang Anda peroleh dari penelitian tersebut?
Saya sangat senang membaca, mengamati, menganalisis sosial budaya masyarakat Papua. Saya takjub dg segala hal yg dimiliki oleh Pulau Kepala Burung itu..

Thanx.. Viva Forever!

Salam,
Devi
piyo_bluesmine@yahoo.com